by Pipiet Senja on Thursday, December 30, 2010 at 6:37am
Sumedang, menjelang bulan Ramadhan.
Panti asuhan Az-Zahra di lembah Tampomas, Cibeureum. Suasana muram menyergap semua penghuninya. Termasuk para pengasuh yang dipimpin oleh El Syifa Maryam. Staf pengasuh mereka adalah Hayati, Azimah, Sulis, Yus dan Fuad.
Mereka masih bertahan tinggal di Az-Zahra, sedangkan lima lainnya sudah sejak dua tahun silam tinggal di luar. Selain sudah berumah tangga, pihak Az-Zahra memang tak mampu lagi menampung mereka.
“Hari ini sejarah dua tahun silam terpaksa harus terulang,” suara Syifa terdengar parau, matanya berkaca-kaca. “Saat pertama kali kita harus melepas anak-anak… Tapi kali ini jelas jauh lebih parah keadaannya, ya, Aa, Teteh?”
Ia sedang mengadakan rapat dengan lima stafnya di ruang kerjanya yang amat sahaja. Sebuah ruang ukuran empat kali empat, sebuah rak berisi dokumen dan buku, sebuah meja, komputer tua dan telepon. Potret ibunda tercinta menempel di dinding, masih memperlihatkan seulas senyum tegarnya.
Hati Syifa sesaat bagai tersayat, mengingat semangat jihad Ummi yang selalu dipompakan kepada dirinya sejak kanak-kanak. Amanah yang dibebankan Ummi terhadap dirinya, manakala ia merasa belum siap sama sekali.
Dua tahun yang lalu ia harus memimpin Az-Zahra, panti asuhan yang dikelola mendiang ibunya di kota. Gedung itu kemudian disita Bank, akibat dianggunkan oleh mantan staf Ummi yang minggat membawa serta uang kas. Mereka lalu hijrah ke bangunan baru, hibah dari seorang sahabat Syifa, letaknya di luar kota.
"Tapi kita harus tetap saling menguatkan…” tukas Hayati.
Syifa mengiyakan dan nyaris tak mampu menyembunyikan tangisnya lagi.
“Masalahnya saya tak bisa menyampaikannya sendiri… Anak-anak itu… Ya Allah…”
Ia kini terduduk sambil menekurkan kepalanya dalam-dalam, menatap meja di antara sela-sela jemarinya. Bahu-bahunya terguncang. Ia menangis juga di hadapan ketiga gadis dan dua pria di ruangan itu. Tanpa perlu merasa malu lagi. Inilah ketakberdayaanku, jeritnya di hati.
Sesaat ruangan menjadi hening. Ketiga gadis seketika mengikuti jejaknya, menangis dalam diam. Yus dan Fuad menjadi rikuh dan serba salah.
“Biarlah kami yang melakukannya, Dik Syifa,” akhirnya Fuad mengatakan hal yang ingin diucapkan rekannya.
“Ya, semoga anak-anak itu bisa memahami situasi yang kita hadapi kini,” tambah Yus.
Kedua pria berumur duapuluhtujuhan itu bangkit, pamitan untuk melaksanakan tugas. Azimah dan Sulis cepat-cepat mengikuti jejak mereka. Tinggal Hayati yang masih menemani Syifa. Keduanya berusaha melanjutkan pembicaraan serius. Hayati adalah kepercayaannya dan tangan kanannya, tanpa gadis itu Syifa selalu merasa tergagap-gagap mengelola Az-Zahra.
Hayatilah yang telah membimbing dan menyemangatinya dalam merintis, dan bangkit kembali sejak Az-Zahra ditinggalkan oleh pendirinya. Dalam dua tahun ini, mereka telah berusaha keras untuk bertahan. Memanfaatkan dana yang masih mereka miliki, hingga lembar terakhir…
Beberapa saat kemudian…
“Mana daftarnya, Teteh?” lirih Syifa.
“Ini…” gadis berumur tigapuluhan itu menyodorkan kertas ke tangan Syifa.
Sepasang mata indah langsung terbelalak lebar. “Mengapa harus sebanyak ini, Teteh?”
Sesungguhnya ia tak perlu mempertanyakanya lagi. Sebab ia sudah tahu persis, bagaimana situasi yang tengah mereka hadapi. Kesulitan keuangan yang kian membelit, dana yang tak pernah bertambah. Sementara pemasukan hampir tak seberapa. Para donatur… entah ke mana!
Ada getir yang harus ditelannya, menebarkan rasa tak nyaman di tenggorokannya. Syifa meraih kertas itu dan ingin melumat-lumatnya, tapi ia tahu percuma saja. Mereka memang sudah dicap tak mampu, bahkan sejak dua tahun yang silam. Kalaupun masih bertahan hingga hari ini, berkat uang ketat, hingga mampu bertahan dalam sisa keuangan yang mereka miliki.
Hayati memandangi gadis muda itu dengan sorot mata cemas. Ia belum pernah melihatnya begini rapuh dan gamang. Bahkan tidak serapuh ini, ketika dulu menghadapi musibah kepergian ibunda tercinta akibat tabrak lari.
“Ini berarti lebih dari tujuhpuluhlima persen, Teteh…” lirih Syifa.
“Tinggal sepuluh anak saja yang akan tinggal, Dik. Kita kan sudah membahas ini sejak dua bulan lalu. Kita tak bisa menunda-nundanya lagi. Ini juga demi kebaikan anak-anak itu sendiri,” Hayati mengingatkannya.
“Ya, aku tahu itu,” ujar Syifa lesu dan getir sekali.
“Semuanya akan ditampung di pesantren Al-Munawarroh, milik Ustazah Hasanah di Pagelaran.”
Syifa menengadahkan wajahnya, menatap anak angkat mendiang ibunya.
“Apa sudah disampaikan tujuan kita secara detail kepada Ustazah Hasanah?”
“Tentu saja. Kita hanya menitipkan mereka untuk sementara waktu, itu sudah diterima pihak Al-Munawarroh. Suatu saat bila keadaan keuangan kita membaik, mereka akan diambil kembali… Teteh rasa, kita harus merelakan hal ini. Lagi pula, Ustazah Hasanah itu bukan siapa-siapa. Beliau sahabat Ummi, bahkan sudah seperti saudara saja.”
“Baiklah,” Syifa tiba-tiba bangkit dan menyambar tasnya.
“Mau ke mana, Dik?”
“Aku akan mampir di Al-Munawarroh sepulang dari Gunung Puyuh…”
“Ziarah lagi?” Hayati menatapnya cemas. Syifa mengangguk pelan.
Rasanya semakin sering saja gadis itu pergi ke makam ibunya di Gunung Puyuh. Meskipun ia memberi alasan hanya untuk mencari ketenangan, atau sekadar melepas rasa kangen terhadap sang bunda. Justru itu yang membuat hati Hayati cemas.
Macam-macam khayal sempat mencemari benak Hayati. Bagaimana kalau Syifa sampai melakukan hal-hal yang tak terkendali, menyalahi syariat Islam? Meminta-minta di makam Ummi?
Syifa tersenyum dan menggeleng mendengar kecemasannya. Hayati mengantarnya sampai pintu gerbang.
“Jangan khawatir, aku tidak melakukan itu,” katanya menenangkan.
Tapi Hayati masih juga cemas. “Biar kutemani, ya Dik?”
Syifa geleng kepala cepat.
“Nggak usah, Teteh. Aku cuma sebentar kok. Lebih baik Teteh ikut memperkuat mereka… beri pengertian kepada anak-anak,” pinta Syifa.
Di pintu gerbang itu Hayati melepas kepergian Syifa. Hingga lenyap di tikungan jalan. Ia tidak tahu kalau ada yang sedang mengawasi gerak-geriknya.
Seorang lelaki berperawakan tinggi besar, bertampang sangar, mode rambut aneh dan bertato kalajengking di pangkal-pangkal lengannya. Ia menaiki sebuah motor Harley Davidson, diam-diam sembunyi di balik kerimbunan pepohonan.
***
Gunung Puyuh, sebuah pemakaman umum yang terkenal di kota Sumedang. Cahaya mentari mulai merangkak pada siang yang cerah itu, ketika gadis berjilbab lebar menuruni undakan tangga keluar kawasan pemakaman.
Seorang perempuan tua menyapanya dengan santun. Gadis itu bercakap-cakap sebentar, menitipkan kebersihan makam bunda tercinta. Kemudian memberikan beberapa lembar uang kepada perempuan sederhana itu.
“Insya Allah, Bibi akan melaksanakan amanah Neng… hatur nuhun, Neng, hatur nuhun,” katanya melepas kepergian gadis itu.
Syifa melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak menuju jalan raya. Ia menanti angkutan kota beberapa saat. Ia tak tahu kalau gerak-geriknya sejak tadi ada yang memperhatikan. Si tato kalajengking dari atas Harley-nya, kali ini ia membonceng seorang cewek.
“Alun-alun! Alun-alun!” teriak kernet.
Ketika Syifa akan naik, serombongan anak SD menyerbu dan rame-rame menaiki angkot. Syifa mengalah, membiarkan anak-anak itu menyesaki angkot. Beberapa saat ia kembali menanti angkot yang lewat. Dan ketika angkot datang lagi-lagi rombongan anak SD menyerbunya, hingga Syifa mengalah kembali.
Beberapa saat gadis itu masih menanti angkot lain. Ketika ada delman melintas, entah mengapa akhirnya ia memutuskan untuk menaikinya.
“Ka Pagelaran, nya Mang…”1
“Mangga, Neng, mangga calik…”2 sambut Mang Delman tertawa senang.
Delman pun membelah jantung kota Sumedang, derap langkah kuda terdengar berketipak-ketipak dengan suara klenengannya yang khas. Syifa duduk sambil menunduk. Pikirannya masih melayang ke masalah anak-anak yang harus meninggalkan Az-Zahra.
Seketika ia teringat kepada para sahabatnya, rekan-rekan seperjuangan semasa kuliah di Bandung. Mereka pernah menyemangatinya saat menghadapi musibah, ditinggal Ummi secara tragis. Mereka ikut mengevakuasi anak-anak ke tempat baru, pemberian Fathur.
Mungkin ada baiknya aku mengetuk hati mereka, gumamnya membatin. Mardo dan Ajeng, masihkah di Tanah Batak? Surat mereka yang terakhir sekitar enam bulan lalu. Ketiga anak angkat mereka yang dibawa dari Az-Zahra dua tahun lalu, Euis polio, Titi tuli dan Ninis terbelakang mental.
Mereka mengabarkan kesehatan Ninis yang semakin memburuk. Mereka sudah membawanya berobat ke mana-mana. Akhirnya mereka harus merelakan kepergian Ninis untuk menghadap Sang Khalik.
“Mungkin demikian yang terbaik bagi anak malang itu,” kata Ajeng terisak-isak di telepon. “Kami mohon pengertianmu, jangan salahkan kami… Mohon ampuni kelalaian kami, maafkan…”
“Astaghfirulahal adziiim… jangan berkata begitu, Ajeng. Tak ada yang menyalahkan kalian. Ini sudah kehendak-Nya, insya Allah, pintu surga telah menanti Ninis,” hiburnya kala itu.
Syifa tentu saja memahami kesulitan pasangan itu dalam membesarkan ketiga anak cacat. Apakah karena itu pula mereka kemudian memutuskan, lebih memusatkan perhatian kepada Euis dan Titi? Tidak terpikir untuk mempunyai keturunan sendiri?
Ah, betapa kangen Syifa bertemu mereka, pasangan berhati luhur itu.
***
Catatan; Masih ada stok terbatas Harga 60 ribu ongkir jabotabek 10 rb/luar Jawa 15 ribu
Semoga ada produser yang berminat mengangkat novel ini ke layar lebar, amiiiin#doamanini
1 “Ke Pagelaran, ya Mang…”
2 “Silakan, Neng, silakan duduk…”
Posting Komentar