Epilog
Saat menggarap lembar-lembar terakhir ini, awal 2006, aku menulisnya di rumah Ustazah Yoyoh Yusroh, kawasan Depok Timur. Suatu area yang kental nuansa agamisnya, rencananya memang akan dijadikan sebagai Pusat Kajian Islam atau Islamic Centre.
Ceritanya panjang, tapi kalau kuringkas tanpa harus banyak melukai lagi, mungkin seperti inilah kronologisnya. Sebelum berangkat ke tanah suci, suami sudah pernah mengungkapkan keinginannya untuk berpoligami. Tentu saja sebagai seorang muslimah, aku tak boleh menentang poligami. Sebab sudah tersurat secara jelas di dalam Al Quran tentang hal ini.
“Suami boleh berpoligami asalkan bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya,” berkata pembimbing liqo saat curhatan kepadanya.
“Iya, saya juga sudah ikhlas, insya Allah, Ustazah,” sahutku.
“Jadi gak ada masalah, bukan?”
“Tentang adil itu, Ustazah… Apakah suami yang selama puluhan tahun memperistriku, tanpa pernah mau memberiku nafkah itu… Sudah patutkah dikatakan sebagai lelaki yang adil?”
“Teteh cinta… yang berhak menyatakan adil dan tidaknya seseorang itu bukan kita melainkan Allah Swt…”
“Eh, iya, memang demikian, Ustazah…”
Aku menundukkan kepala, perasaanku dikecamuk antara malu dengan ketakberdayaan untuk mendudukkan diriku pada posisi selayaknya. Ajaib, mengapa aku merasa langsung digiring dalam suatu situasi yang dilematis? Sebagai muslimah aku telah menerima keharusan ini. Namun sebagai perempuan biasa, aku merasa tidak bisa menerimanya, tidak! Ini terlalu tidak adil, sungguh!
Ups… Lambat-laun situasi batin ini malah berubah mendudukkanku pada posisi sebagai terpidana. Wuaduh, niscaya otakku mulai kacau!
Perdebatan dan diskusi tentang poligami selalu menjadi topik hangat di kalangan ibu-ibu. Kutahu di kalangan teman-teman tarbiyah, ada banyak istri yang mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi. Tapi baru satu-dua saja suami yang mengambil kesempatan itu. Selebihnya, banyak suami justru merasa takut, ngeri, untuk menunaikan keluasan yang ditawarkan oleh sang istri.
“Bodoh sekali merasa sedih tak beralasan!” kumarahi diriku sendiri. “Biarlah, hadapi saja! Yang akan terjadi biarkan saja… terjadilah!”
Dari kisuh-misuh batin itulah, selama suami menunaikan ibadah hajinya, kulahirkan dari jari-jemariku ini sebuah novel yang “perempuan banget”, dan kuberi dia judul Meretas Ungu (Gema Insani, 2005). Inilah novel pertamaku yang dikemas dengan hardcover, novel termahal yang pernah kuciptakan.
Sambutan pembaca termasuk luar biasa untuk novel satu ini. Ternyata bukan saja dari kalangan ibu-ibu, perempuan dewasa, melainkan juga dari tingkatan ABG dan remaja.
“Umi… saya sudah baca Meretas Ungu-nya, duuuuh, sedih banget,” cetus seorang ABG saat aku diundang ke ponpes Husnul Khotimah, Kuningan.
“Mengapa… bukankah buku itu buat orang dewasa, Neng?” tanyaku terheran-heran, tak mengira ada anak baru gede menyukai novel bertema poligami.
“Iya sih… tapi ceritanya bikin gregetan. Soalnya persis banget dengan keadaan orang tua saya, Umi…”
Waktu diundang ke Mesir dan Singapura, novel ini pun mendapat sambutan hangat. Teman-teman di negeri jiran khusus memesannya melaluiku, dan mereka tak keberatan menambahkan beberapa ringgit dari harga seharusnya. Demikian pula ibu-ibu muslimah di Holland , mereka yang tergabung dalam komunitas Salamaa, tidak keberatan menambah 3-4 euro per eksemplarnya.
Sebulan, dua bulan… aku tunggu saat-saat dia berani mengambil keputusan itu. Ternyata bulan demi bulan lewat tanpa persinggungan tentang poligami. Waktu kutanyakan secara langsung, tanpa ditutup-tutupi, meskipun kurasai ada yang giris dalam dadaku, dia menjawab begini;
“Sekarang aku ingin lebih pasrah, tak mau macam-macamlah…”
“Tak mau macam-macam, ya?” sindirku menahan tawa. “Jadi, agaknya selama ini kamu sering macam-macam. Bagaikan seorang bocah nakal, sekarang datang kepada ibunya, dan bilang… Mau menjadi anak baik-baik?”
Kami sempat terkekeh-kekeh bareng, pasti dengan persepsi yang berbeda. Sebab kemudian kuketahui pula bahwa dia mulai mengisengi seorang perempuan. Kurasa ini juga seperti perselingkuhan, meskipun hanya melalui sms, pesan singkat dengan ponsel dan pulsa yang pernah kubelikan saat dia hendak berhaji.
Tapi bukan hal seperti itu yang membuatku mengambil sebuah keputusan. Ada satu peristiwa yang membuat kami; aku, Haekal, Butet dan Seli sempat kocar-kacir, belingsatan!
Aku sedang menulis di ruang tengah saat itu, sementara dia meminta Haekal menemuinya di teras. Ya, di situlah dia melontarkan perkataan yang sangat mengejutkan, melukai sekaligus membuat kami syok berat.
Lamat-lamat kudengar suaranya yang khas, “Pernah gak kamu berpikir, ada kemiripan kamu dengan saya?”
Haekal terdiam, pasti tak paham apa yang dimaksud bapaknya. Melihat keseriusan kedua lelaki dewasa itu, serentak kuhentikan aktivitasku dengan laptop. Kucermati gerak-gerik mereka melalui tirai. Kepala anakku menunduk dalam-dalam, duduk dengan posisi bahu yang terkulai lemah sekali. Sementara ayahnya dengan segala kepongahannya, kulihat terus saja menceracau.
“Kamu bukan anakku!” cetusnya langsung menohok kepada Haekal, tak ada hujan tak ada angin, pernyataannya membadai begitu saja.
Kulihat anakku masih belum nyambung dengan pernyataan sikap ayahnya. Tapi dia mulai mengangkat wajahnya dan mencari-cari jawaban melalui wajah persegi itu.
“Kalau Butet…”
“Hanya dia anakku!”
“Ooh…” Anakku terperangah, kemudian bertanya. “Kalau bukan Papa ayahku, lantas siapa bapakku?”
Lelaki itu bangkit, berdiri dan sambil berlalu dia berkata keras, “Tanyakan saja sama ibu kamu siapa bapakmu!”
Tepat, berselisihan jalan denganku yang langsung tergerak menuju teras, tak tahan melihat anakku yang terkesima.
Selama ini, lebih dari duapuluh lima tahun usia pernikahan kami (dikurangi dengan masa talak satu sekitar 2,5 tahun) pernyataan serupa acapkali dilontarkan. Bukan kepada siapa-siapa melainkan hanya kepada diriku. Bahkan sejak anakku masih dalam kandungan, begitu terlahir…
Entah beberapa kali aku diharuskan bersumpah, di bawah kesaksian kitabullah. Entah berapa kali pula kumintai dia untuk membuktikan kebenaran ini melalui tes DNA. Biasanya dia akan segera menyangkalnya, mengatakan bahwa tak perlu tes-tesan segala, lantas… tanpa meminta maaf, dia menganggap semuanya selesai begitu saja…
Namun, kutahu baru sekaranglah dia langsung bersikap sangat kasar, tak bisa mengendalikan emosinya lagi terhadap anakku. Seakan-akan ada iblis yang telah mengangkangi jiwanya, hatinya dan pikirannya, sehingga dia sama sekali menafikan tuntunan akal sehat. Tuntunan syariat yang seharusnya dipegang teguh, terutama oleh orang yang telah menunaikan rukun Islam ke-5.
“Ini karena Mama selalu toleransi, memaafkan terus. Jadi saja selamanya Papa melecehkan Mama!” kecam Butet saat kami memutuskan hijrah hari itu juga.
“Mama merasa… ayahmu itu memang agak sakit, stres barangkali, mungkin juga paranoid…”
Aku masih membelanya, tak bisa kubayangkan seandainya dia telah terbebas dari penyakitnya ini. Adakah dia akan merasa menyesal, kesepian, kehilangan semua anggota keluarganya?
“Gak, Mama, dia bilang sehat-sehat saja,” tukas Haekal, kulihat dia masih syok.
Namun kutahu, dia telah berusaha keras supaya tidak memperlihatkan kepedihan hatinya dengan bersikap tegar, sabar, elegan dan bertanggung jawab.
***
Berhari-hari kami mengungsi di rumah besanku di Kukusan. Kegelisahan, perasaan tertekan, kesedihan yang nyaris tak tertanggungkan sangat kentara melingkupi sosok-sosok yang kusayangi.
Mereka bertiga; Haekal, Seli dan Butet kulihat betapa sering mendiskusikan situasi serba mendadak ini. Haekal dan Seli langsung wara-wiri mencari rumah kontrakan. Butet meskipun banyak mnenangis sampai matanya bintitan, berusaha keras menghibur hatiku dengan joke-joke segarnya.
Aku lebih banyak beristigfar, berzikir dan berdoa panjang pada malam-malam yang senyap, di antara sholat lail… Toh aku pun tetaplah menulis, menulis dan menulis. Sebab ada setoran naskah yang harus kuselesaikan dalam waktu dekat. Ini tiketku untuk pergi ke tanah suci, Mekkah, tahun 2006. Anugerah Ilahi itu dikucurkan melalui travel Ar-Rayyan, Dirut penerbit Khairul Bayyan, Bapak H. Edi Setiawan.
“Anak-anak,” kataku setelah empat hari keluar dari rumah, mengungsi di sebuah kamar, rumah milik keluarga menantuku. “Mama sudah dijadwal seminar kepenulisan di Universitas Brawijaya, Malang dan Surabaya . Bolehkah Mama memenuhinya atau harus dibatalkan?”
“Yeee… jangan, Mama, lanjutkan saja!” berkata Butet dengan gaya sok tuanya. “Life must go on… Lagian lumayan kan Ma honornya buat belanja, hehe…”
“Iya, Bu… pergilah, kami gak apa-apa, insya Allah,” dukung Seli sambil mengusap-usap permukaan perutnya yang mulai kentara membukit.
“Abang?” kulirik putraku yang sering kupergoki menatap hampa ke kejauhan.
“Terserah Mama sajalah. Buat Ekal sih yang penting Mama menyukainya… Yah, pendeknya having fun sajalah, Ma!” sahutnya tetap menyemangati.
Perasaan keibuanku tak bisa didustai, putraku ini masih sangat syok, menghadapi situasi yang tak pernah terbayangkan bahkan dalam mimpinya sekalipun. Pernyataan ayahnya yang tak mengakuinya sebagai anaknya itu, menumbuhkan diskusi serius yang berujung pada pembuktian kebenaran; tes DNA!
Kutahan segala kepedihan hati saat meninggalkan mereka di rumah besan. Tak sepeser pun uang kutinggalkan untuk mereka, sebab isi kocekku memang ngepas. Salah satu alasan terkuat, kupenuhi undangan seminar ini, lumayan untuk menambah belanja.
Selama muhibah kepenulisanku kali ini, sesungguhnya pikiran dan perasaanku belibet tak karuan. Seandainya ada yang memperhatikanku, niscaya dia akan menangkap keanehan perilaku diriku. Selain mata bintitan, acapkali melamun, menggeragap, aku pun sering mengisak dalam diam.
Ketika pesawat yang akan menerbangkanku dari bandara Soekarno-Hatta ke Juanda, aku sempat berbisik kepada Penciptaku.
“Ya Tuhan, seandainya aku memang bersalah dalam hal ini, berilah pertanda dari-Mu… Tuhanku, bumi dan langit ciptaan-Mu menjadi saksiku… Biarkanlah pesawatnya jatuh, biarkanlah semua penumpang selamat, kecuali diriku yang terlempar… Demikian pertanda jika diriku ini bersalah!”
Aku merasa Tuhan pun telah menjawab doa dalam ketakberdayaanku ini. Aku tiba dengan selamat, dijemput panitia, langsung menuju Togamas, gelar acara jumpa penulis, banyak menjawab pertanyaan peserta, diliput media, diwawancarai lima-enam wartawan…
Selesai di Surabaya, sudah ditunggu oleh penjemput dari Malang . Rehat beberapa jam, terbangun dinihari, mulai tenang setelah sholat lail. Begitu sarapan, dikerumuni akhwat penghuni kos-kosan Az Zahro, aku pun melayani joke-joke mereka sambil menanda tangani puluhan buku Langit Jingga Hatiku.
Kembali ke Jakarta pukul tujuh malam, keluar dari kawasan Cengkareng sekitar pukul sembilan. Tiba di rumah besan, membawa satu kardus oleh-oleh pemberian Haikal Hira Habibillah dan kawan-kawan, disambut anak-anak dengan gembira.
“Sudah ada rumah dekat-dekat sini, Bu,” ujar Seli kembali menyeretku ke inti masalah kami bersama, kebutuhan yang sangat mendesak, sebuah tempat tinggal.
“Lima jutaan setahun… Yang di Griya Asri itu sih kemahalan, Ma, terlalu besar buat kita. Dia minta untuk dua tahun 26 jete,” lapor Haekal, kucermati wajahnya masih juga dinuansa kebingungan, kebimbangan dan keresahan.
Ikhwal Butet lain lagi urusannya, aku merasa dia sudah memutuskan untuk tetap tinggal dengan bapaknya. Alasannya agar terjamin hidupnya, kesejahteraan demi pendidikan.
“Biar Butet gak menjadi beban Mama, gak menyusahkan Mama,” tulisnya di dalam laptop, kurasa dia sengaja memajang filenya itu di deskop supaya terbaca oleh diriku.
Aku sudah pasrah lilahi taala, biarlah anak-anak memutuskan sendiri pilihan hidupnya. Toh, jika kelak mati pun, aku hanya akan pulang, berjalan, melakoni takdirku seorang diri.
“Tenang, ya Nak, tenang dulu…”
Aku sudah menghitung budget yang kumiliki, totalnya empat juta, dan bila dipakai untuk mengontrak rumah… dari mana untuk makan sehari-hari?
Saat itulah melalui sms, aku curhatan dengan beberapa teman dekat, termasuk sahabat karib di liqo yang telah cukup lama tidak kuhadiri.
Sebab jadwal seminar dan promosi buku yang sangat padat, ternyata, di sinilah terjadi kemusykilan dan keajaiban yang bagiku merupakan anugerah Ilahi.
Bermula dari pesan singkat Ustazah Hj. Yoyoh Yusroh, mengundangku untuk jumpa di kantornya, gedung DPR, Nusantara Bhakti 2.
Mbak Yayu, istri Presiden PKS Tifatul Sembiring (saat itu) yang telah menyampaikan pesanku kepada beliau.
Beberapa bulan berselang Ustazah Yoyoh telah mengamanahi kami (aku, Anneke Puteri dan kawan-kawan) wakaf sebidang tanah di Depok Timur untuk gedung Taman Baca. Proposalnya siang itu kuserahkan kepada Umi Umar, demikian teman-teman tarbiyah memanggilnya.
“Boleh saya curhatan, Umi,” ujarku usai urusan proposal.
Kusadari bahwa ini spekulasian, selain hanya terkait urusan pribadi, bisa jadi sebagai sikap lancang terhadap seorang anggota MPR/DPR.
Duuuh… Maafkan daku, Umi cinta!
“Oh, boleh… Ada yang bisa saya bantu, Teteh?”
Aku merasai aura keramahan, kebersahajaan dan ketulusan memancar dari sosok yang telah banyak menjadi anutan kaumku perempuan. Dalam sekejap aku merasa dapat memercayai sosok ini, maka kutitipkan sebagian beban nestapaku. Air mataku berderaian membasahi pipi-pipiku yang pucat dan wajah yang lelah kurang tidur.
Beberapa detik berlalu, aku menanti dalam debar harap, dan membuang jauh-jauh gengsi, segala tetek bengeknya itu. Ternyata sosok keibuan ini telah menghadiahiku satu hal. Bahwa aku dan anak boleh menempati rumahnya yang kosong. Saat itu juga Umi Umar langsung menelepon Mbak May, selama ini yang diamanahi memegang kunci rumahnya.
“Silakan, Teh.. kapan pun Teteh siap, boleh menempati rumahnya.”
“Duh… Umi… bagaimana saya mengucapkan terima kasih,” tergagap mulutku bahna haru.
Umi Umar menggenggam kedua tanganku, mengalirkan semangat dan kekuatannya melalui jari-jemarinya.
“Kita ini bersaudara, Teteh… saya paham masalah Teteh. Banyak sekali ibu-ibu, istri yang mengalami hal seperti ini.”
Siang itu betapa banyak pelajaran berharga yang bisa kupetik. Pertemuan dengan seorang ibu yang memiliki karier luar biasa, sebuah keluarga sakinah, ibu dari 13 anak yang penuh welas asih…
“Ini dia ruang sidang komisi delapan…”
“Pernah saya menulis lakon anggota dewan. Setingnya, yah, syukurlah gak jauh-jauh amat. Jadi merasa tenang, gak ngebohongin pembaca…”
Bahkan beliau dengan tulus masih meluangkan waktu, bersama Pak Budi, mengantarku dan dua adik sampai kawasan Kalibata.
“Jazakillah, Umi… sampai jumpa…” ujarku lirih sebelum kami berpisah, sementara mataku terus-menerus membasah.
“Iya, Teteh, sampai jumpa… Istiqomah selalu, ya Teh, assalamualaikum…”
Sebuah beban telah terangkat dari bahu-bahuku, segera kukabari hal ini kepada anak-anak. Petang itu pun kami langsung boyongan ke rumah besar, berlantai tiga, bersebelahan dengan sebuah mesjid. Inilah kawasan Yayasan Ibu Harapan.
Untuk pertama kalinya Haekal menjadi imam pada sholat maghrib kami. Kupandangi sosoknya dan aku melihat kedewasaan yang bertanggung jawab. Kuingat kata-kata terakhirnya saat meninggalkan rumah di kampung Cikumpa.
“Seumur hidup aku berjuang keras untuk menghilangkan segala kemiripan yang ada di antara diriku dengan Papa. Superego, sombong, ketakpedulian, keras kepala… Biarlah aku gak mewarisi semuanya itu, gak bakalan rugi!”
Malam itulah kami mulai bisa tidur dengan nyenyak kembali. Meskipun bergeletakan di lantai, hanya beralaskan sprei bekas membalun buku-buku kami.
***
Esok harinya saat aku bersiap pergi liqo, anak-anak memintaku untuk membantu pindahan. Meskipun sebelumnya telah diwanti-wanti Haekal, bahwa aku hanya sampai di mulut gang saja.
“Mama hanya menyemangati, oke… Mom?” pinta Butet.
“Otreeeh deeeh!” sahutku mulai terpancing bercanda.
“Jadi… Butet sekarang mau ikut siapa?” tanya Seli.
“Yeah… Butet mah bisa fleksibel, Teh Seli…”
“Apaan tuh fleksibel?” tanya abangnya ingin tahu.
“Yeah, gampang adaptasi… Intinya sih kayak kanan oke kiri oke… Wuahahaha…” gelaknya membahana.
“Kacau nih anak!” dijitak kepalanya oleh abangnya dia ngekeh-ngekeh saja.
Alhamdulillah… tawa dan canda mulai muncul kembali, pikirku terharu sekali. Nah, saat tengah berkemas itulah tiba-tiba ada sms aneh yang masuk.
“Teh ada waktu tanggal 12-22 April?”
“Maaf, ini tentang apa ya Dek?”
“Teteh punya paspor?”
“Punyalah, kan pernah ke Mesir.”
“Mau ikutan umroh, Teh?”
“Waaa… umroh dengan apa, Dek? Teteh lagi jadi gelandangan, tunawisma nih.”
“Maaf, Teh Pipiet, kami mengundang umroh gratis, mendoakan bersama di sana , travel kami yang baru Travel Cordova. Kalau bisa hari ini paspor dibawa ke kantor…”
Beberapa saat kubaca berulang kali, ini pasti orang iseng, pikirku. Ah, tapi buat apa Mbak Sari mengisengi diriku. Kukenal sosoknya di liqoh yang dikepalai oleh Ustazah Retno. Setiap kali buku terbaruku terbit, niscaya Mbak Sari akan memborongnya, bahkan selalu membelinya dengan harga berlipat-lipat.
“Ini… alooow! Mbak Sari, mohon dijelaskan, apa maksudnya, ya?” Akhirnya aku langsung meneleponnya.
Jawabannya memang sama dengan isi smsnya. Aku akan diumrohkan gratis oleh Travel Cordova milik suami Mbak Sari, yakni Bapak Faisal Sukmawinata. Subhanallah!
Ini jaminan dari Allah, sesuai dengan ayat sucinya bahwa di antara kesulitan selalu ada kemudahan. Maka nikmat-Nya mana lagi yang engkau dustakan, wahai hamba yang lemah? Aku tertunduk menahan malu, haru dalam sebuah lautan nikmat-Nya yang tak teperi. Lungkrah tubuhku untuk segera bersujud syukur di atas hamparan sejadah, sebab ada yang menggelitik di benakku.
“Ya Rob… patutkah hamba menerima anugerah-Mu ini? Betapa hamba selama ini sering tak tahu diri, lalai dan khilaf. Ya Rob… Bila ini takdir hamba, biarkanlah hamba memenuhi panggilan-Mu… Ampuni hamba, ampuni, ampuni…”
Tujuan penulisan buku ini bermula dari keinginan untuk menemani kaum perempuan, para istri, ibu-ibu yang pernah atau telah melewati lakon yang mirip dengan diriku.
“Kalian tidak sendirian, tidak pernah sendirian… Mari, kita berbagi dan saling menguatkan, saling menyemangati… Niscaya ada solusi untuk kita!”
Seyogyanya biarkanlah lakon ini hanya menimpa diriku, jangan sampai menimpa orang lain, terutama yang melukai dan berlumur kepedihan. Bahkan keputusan demi keputusan yang kuambil, mungkin tak perlu diteladani, karena kondisi kita niscaya berbeda.
Petiklah yang baik-baik dan ada hikmahnya. Sebaliknya buang jauh-jauh sisi gelap yang mungkin bisa menyesatkan.
Wallohualam bissawab.
Posting Komentar