Bandara Schipol, suatu siang. Musim semi yang lembut.
Indung baru saja turun dari pesawat KLM yang membawanya dari Tanah Air. Beberapa saat ia tertegun-tegun, tapi kemudian tergopoh mengikuti antrean para penumpang menuju pintu kedatangan.
“Inilah bumi Holand yang telah mencerabut Anggi dari akarnya!” gumamnya di hati. “Di mana anakku yang telah lama tak mencium tanganku itu?”
Sepasang matanya yang masih awas dilayangkan ke kerumunan para penjemput. Tentu saja hanya para bule, tapi… Ups!
“Nduuuung! Nduuung! Kami di siniii!”
Seorang wanita bertubuh mungil berumur 40-an, melambaikan tangan ke arahnya. Di sebelahnya seorang pria bule bertubuh tinggi besar, mengacung-acungkan karton bertuliskan spidol merah berbunyi; “Selamat Datang, Indung!”
Dan mata Indung pun bersirobok dengan seorang anak muda berseragam militer Kerajaan Belanda. Hendry, tentu dialah cucuku, bisik hati Indung. Air matanya seketika merebak, menetesi pipi-pipinya yang lelah akibat jetlag. Berapa lama sesungguhnya ia tak bertemu mereka?
Hampir duapuluh tahun. Ya Robb, anak itu sudah menjadi seorang militer. Tampak tangguh dan… mirip sekali ayahnya!
Perempuan 65-an itu harus melewati petugas imigrasi. Beberapa orang kemudian memeriksa dan memperhatikan penampilannya secara seksama.
“Moslem, yeah…?” tanya petugas memperhatikan paspornya, dengan potret berkerudung. Sepasang matanya menatap tajam dan curiga.
“Apaaa…?” Indung tak tahu harus berkata apa menangkis tatapan curiga itu. Hatinya mulai kebat-kebit. Ada apa rupanya dengan busana Muslimah dan jilbabku, pikirnya terheran-heran. Hendry berhasil menyelinap ke dalam dan segera turun tangan, bantu mempercepat proses pemeriksaannya. Seragam militer anak muda itu agaknya cukup berpengaruh dan disegani.
Betapa ingin Indung mengetahui pangkat cucunya. Apakah sama dengan pangkat mendiang suaminya, yang kini sudah bersemayam di Taman Makam Pahlawan Cikutra? Tapi ia segera sibuk menghadapi Anggi, dipeluk cium sepenuh kangen.
“Ini suamiku, Ndung… Martin van Moorsel,” kata Anggi dalam nada bangga untuk pertama kali memperkenalkan suami keduanya.
“Ehh, ya, ya… Sudah, terima kasih,” ujar Indung merasa risih ketika menantu bulenya hendak memeluknya. Lelaki Belanda itu tak tersinggung, hanya tertawa-tawa renyah. Apa yang membuatnya merasa lucu, pikir Indung.
“Oma sudah pergi ke Mekkah, ya… kata Butet di email,” cetus Hendry.
Anak ini memang kerap chatting dan email-ria dengan para sepupunya di Tanah Air. Indung tahu hal itu. Di rumahnya kini ada Butet, cucu dari putri sulungnya, yang sedang mengulik ilmu di ITB jurusan teknik informatika. Dari cucu yang suka mengaku sudah akhwat inilah, Indung diberi tahu perihal dunia maya.
“Iya betul, sekarang Oma sudah dipanggil Oma Hajjah sama Butet dan sepupu-sepupumu di Indonesia,” jelas Indung.
Sebetulnya dengan menekankan kehajiannya, perempuan sepuh itu ingin anak menantu memahaminya. Bahwa ia harus makan dan minum secara kaffah. Menantunya seorang penganut Kristiani. Hingga saat ini Indung tak pernah bisa memahami jalan pikiran Anggi, bagaimana bisa menjalani pernikahan dengan pria lain agama. Baginya tetap saja haram hukumnya.
Itulah yang dulu pernah membuatnya tak mau mengakui Anggi lagi sebagai keturunannya. Ketika mendapat anugerah-Nya, diongkosi pergi ziarah ke Tanah Suci oleh salah seorang putrinya, ia pun menyadari kekeliruannya. Pemutusan tali silaturakhmi yang telah dilakukannya secara sepihak, sungguh sangat berdosa.
Hubungan secara manusia biarlah tetap terpelihara. Bila secara aqidah barulah kita harus tetap berpegang teguh. Bahwa semua agama sama, itu tidak benar, demikian kata guru mengajinya.
“Ayo, Oma, mobilnya menunggu di sana,” ajak Hendry yang merasa langsung akrab saja dengan sang nenek.
“Ya, ya… di mana rumah kalian?”
“Blaricum, Ndung,” sahut Anggi.
***
Indung menyimak kembali kisah hidup Anggi dari mulut pelakonnya sendiri. Merasa dikejar-kejar oleh keluarga mantan suaminya, Anggi memutuskan hengkang dari Jakarta menuju Belanda. Sambil membawa anak balita, Anggi tertipu oleh seorang pria Belanda. Sempat disekap selama sebulan di apartemennya, diperlakukan secara keji…
“Tuhan mengasihi kami, Ndung. Pada suatu pagi buta di bulan Desember yang dingin beku, ketika kami ditinggalkan di apartemen itu… Aku berhasil mengeluarkan anakku, kami turun dari balkon di lantai tiga… Tak ada arah tujuan, kami berjalan menempuh badai salju…”
“Duuh, anak-cucuku,” erang Indung gemetar.
“Sampailah kami di sebuah kapel tua… Pendeta itu, ayah Martin, dia sangat baik memperlakukan kami, Ndung. Beliau membawa kami ke kota ini, memperkenalkanku dengan putra bungsunya yang masih lajang… Martin jatuh cinta kepadaku... Aku memutuskan menerima lamarannya, Ndung…”
Anggi menyusut air matanya. Indung pun terisak-isak, membayangkan segala penderitaan yang pernah dilalui putri dan cucunya di masa lalu. Inilah lakon hidup seorang wanita muda yang pernah sangat berambisi.
Ia sempat dipersunting direkturnya sebagai istri muda yang ternyata hanya mengincar kemudaannya, rahimnya yang sehat untuk melahirkan keturunan. Setelah dikaruniai seorang anak, sang direktur menceraikannya begitu saja. Bahkan menuntut Anggi agar menyerahkan Hendry kepadanya.
Beberapa bulan setelah raib bak ditelan bumi negeri Kincir Angin, barulah Anggi mengabari keluarga. Bahwa ia telah menikah lagi dengan putra seorang pendeta, menjadi warganegara Belanda.
Sejak itu di dalam keluarga besarnya, Indung hanya mendengar hujatan dan sesalan terhadap Anggi. Bahkan ia sendiri kadang menyesalinya di depan anak-anak. Acapkali mereka secara khusus menyelengarakan pengajian, meminta ibu-ibu untuk ikut mendoakan putrinya. Agar Anggi kembali kepada keislamannya.
“Maafkan dia, Ndung, sudahlah… maafkan putri kita,” pesan suaminya sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Lelaki bijak itu agaknya telah pasrah lilahitaala perihal Anggi.
Sekarang manakala dirinya sudah berada di tengah keluarga putrinya, ada rasa jengah yang menerjang kalbu Indung. Ia merasa telah melakukan hal yang sama sekali tidak bijaksana terhadap Anggi. Ia merasa bersalah.
“Ternyata keluarga suamimu itu sangat baik kepada kita,” Indung berkomentar, ketika mereka pulang dari perjamuan makan yang hangat dengan kekeluargaan. Meskipun komunikasi agak tersendat karena perbedaan bahasa.
“Muder dan Fader memang sangat baik kepada kami, Ndung,” ujar Anggi.
Besan dari Belanda itu kemudian kerap mengunjunginya di apartemen Anggi. Mengiriminya aneka macam buah dan penganan, menghadiahinya bingkisan-bingkisan. Konon, demikianlah pertanda orang Belanda menyayangi seseorang.
***
Indung seharusnya merasa kerasan di Holland. Anggi dan suami bulenya pun sangat memanjakannya. Mereka melimpahinya dengan segala macam kesenangan, mulai dari makanan yang lezat-lezat sampai membawanya berkeliling Eropa. Belgia, Luxemburg, Jerman, Swiss, Spanyol, Italia, Perancis…
“Ya Allah, sudah… hentikan kalian memanjakanku,” erang Indung.
Hari itu menginjak minggu ketiga Indung berada di Holland. Mereka baru kembali dari keliling daratan Eropa. Anggi dan suami telah membawanya ke mana-mana kecuali Islamic Centre. Di meja makan saat sarapan dengan makanan Barat, kali ini Indung memutuskan untuk tak perlu bertenggang rasa lagi.
“Apa dia bilang?” tanya Martin dalam bahasa leluhurnya, menatap Anggi penuh tanda tanya.
Anggi sudah selesai bolak-balik mengangkuti penganan. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga yang sempurna, istri yang baik bagi lelaki itu, pikir Indung. Ia sangat pandai menata rumah, menghiasinya dan menyemarakkannya dengan segala pernak-pernik, asesori yang antik dan indah.
Sayang benar, di apartemen seindah ini sama sekali tak ada sudut sejengkal pun, tempat khusus untuk bermunajat kepada Sang Pencipta. Tempat biasa Indung mengajak anak-anak dan cucu-cucunya di Cimahi, menyembah dan menyeru asma-Nya.
Dulu suaminyalah yang menduduki tempat imam itu. Kini karena di rumahnya hanya tinggal seorang anak perempuan yang telah menjanda, ditambah lima cucu yang juga perempuan, Indunglah yang selalu menjadi imam.
“Ada apa, Ndung? Apa Indung mau makan nasi, ya?” usik Anggi.
Indung tak menyahut. Sepasang matanya yang jernih dilayangkan ke luar jendela. Setelempap tanah di pekarangan belakang, dimanfaatkan betul oleh Anggi untuk kebun mungilnya. Bunga-bunga aneka warna tengah bermekaran. Bahkan pohon anggur sedang memamerkan buahnya yang ranum-ranum.
Sedangkan di pusat keramaian Huizen, Anggi telah memiliki rumah mode sendiri, bisnisnya yang kian hari kian berkembang pesat. Melimpahi keluarga ini dengan banyak keuntungan. Nah, pikat apalagi yang bisa menawannya untuk kembali ke Indonesia, gumam Indung pedih.
“Kapan Hendry kembali dari asrama?” Indung mencoba mengalihkan pikiran suntuknya. Bila ada Hendry, hatinya merasa terhibur dengan segala macam cerita yang dianggapnya unik, dicelotehkan cucunya itu tanpa jemu. Meskipun bahasa Indonesia Hendry sudah terkontaminasi dengan cakapan Holland. Tapi Indung masih bisa memahaminya.
Anggi sudah sangat baik mengajari Hendry tentang adat budaya Sunda, bahkan bahasa karuhun. Mengapa Anggi tak menanamkan ruh Islamiah terhadap anaknya? Itulah kekecewaan Indung di antara serangkaian kesempurnaan yang ingin diraih putrinya.
Anggi menghampirinya dan duduk di sebelahnya. “Ndung kangen dia rupanya, ya?”
“Hmm…” dengungnya mengambang di ruangan yang harum bunga itu.
Tak berapa lama kemudian, Anggi yang menelepon mengatakan bahwa Hendry tak ada di asrama. Mungkin sedang tugas ke luar negeri.
“Biasanya Hendry pulang di akhir pekan…”
Martin dan Anggi menatapnya, menanti perkataan selanjutnya. Tapi Indung tak berkata-kata lagi. Ia malah bangkit, meninggalkan semua hidangan lezat yang telah ditata dengan sangat manisnya oleh putrinya. Roti, keju, sosis, cake blueberry, wafel, french fruit dan segala macam sausnya itu, sama sekali tak menarik seleranya.
“Aku kangen cucu-cucuku,” keluhnya sambil membaringkan tubuhnya di atas kasur busa empuk. “Kangen Cimahiku, kangen nuansa agamisnya, teman-teman di taklim Al-Hasanah…”
“Ini kan baru tiga minggu, Ndung. Kita masih akan melanjutkan lawatan ke Inggris… Mumpung Indung ada di sini!” Anggi mengejarnya ke kamar.
Indung menggelengkan kepalanya lesu. “Kalian sudah membawaku ke banyak tempat yang tak pernah kulihat seumur hidupku. Sudahlah, semuanya itu lebih dari cukup. Kalian jangan menghambur-hamburkan uang lagi. Suatu hari, bukankah kalian ingin mengunjungi Indonesia?”
Bahkan Indung tak berani menawarkan mereka untuk pulang. Terdengar Anggi menghela napas dalam-dalam. Perlahan diraihnya tangan Indung, kemudian digenggamnya erat-erat.
Ia berkata tanpa berani memandang wajah ibunya, “Kami… aku dan Hendry ingin sekali kembali ke Tanah Air, Ndung. Di sini kami hidup seperti robot, tanpa arah yang jelas selain kesenangan duniawi…”
Ada seribu hasrat terpendam yang Indung rasakan dari perkataan putrinya. Apalagi setelah mendengar serangkaian alasan, ketakutan dan kecemasan yang menyusul dari mulutnya. Anggi dan Hendry sudah menjadi warganegara Belanda. Tentu sangat rumit persoalan yang bakal menanti, bila mereka nekat ingin mukim di Indonesia.
“Tiap bulan kami harus membayar uang tinggal sebagai warganegara asing. Sampai berapa lama? Mending kalau bisnis kami lancar, tapi bagaimana kalau sebaliknya… macet?”
“Lagi pula cucumu kini sudah menjadi seorang tentara Kerajaan Belanda. Dia terikat dengan disiplin dan kewajibannya sebagai tentara,” kilah Martin bergabung.”Kalau desersi dia akan terkena sanksi berat…”
Indung terdiam dalam kepiluan hati seorang tua. “Jadi, kalian takkan pernah mengunjungi Indonesia… selamanya?”
Anggi dan Martin tertawa bareng. “Nei, nei…” kata Martin.
“Maksudnya, kalau hanya untuk berkunjung kami akan melakukannya mulai saat ini. Insya Allah, Ndung,” ujar Anggi. “Tapi kalau untuk mukim… entahlah!”
Indung menatap wajah Anggi. Insya Allah, katanya, bahkan dia juga sering menyerukan kalimat-kalimat menyeru asma-Nya. Setiap kali ia merasa kaget, takjub, menyesal atau berduka cita. Apakah dia masih seorang Muslimah, tanya Indung di hati. Mengapa dia tak berani menanyakannya secara langsung?
Takut bila jawabannya seperti yang dikhawatirkannya selama ini!
***
Musim panas mulai terasa menyengat, tatkala Indung memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Hampir dua bulan tinggal bersama keluarga Anggi, sesekali dikunjungi oleh Hendry, cukuplah.
Petang itu di bandara Schipol. Indung kali ini hanya diantar oleh Hendry. Ia telah meminta Anggi dan suami agar tidak ikut mengantar. Meskipun suami-istri itu merasa keberatan dan terheran-heran, tapi keduanya menghormati keputusan Indung.
“Oma, ini bingkisan buat Butet dan Oma. Spesial dari Hendry, ya?” ujar Hendry menyerahkan dua kado yang dikemas apik. “Buat sepupu lainnya sudah dimasukkan ke koper.”
Indung menatap wajah anak muda itu lekat-lekat. Sungguh, dia sangat mirip Rorim, mantan konglomerat yang kini tinggal di panti jompo itu.
Hendry tertawa tersipu. “Kenapa Oma memandangku terus?”
“Oma merasa ada yang aneh denganmu… Eeh, apa Hendry nggak mau ketemu ayah kandungmu?”
“Ah… itu lagi!” Hendry menepuk dahinya.
“Oma kan belum tahu jawabanmu,” cecar Indung. “Ssst, sekarang kan nggak ada Martin dan Mamimu. Ayo, bilang terus terang sama Oma…”
Hendry terdengar menghela napas dalam-dalam. Indung bisa memahami perasaannya, terkucilkan dari keluarga besar ayah dan ibu. Demi kepentingan siapakah gerangan? Sudahlah, tak perlu dibahas lagi, pikir Indung.
“Suatu saat nanti, Oma,” sikap Hendry terasa hati-hati. Mengapa?
“Kapan?” desak Indung.
“Mmm… mungkin kalau liburan musim dingin, nantilah dikabari lagi.”
“Kamu berhak mengenal akar tempat asalmu,” Indung merasa terbebas dari tatapan anak-menantu, coba mempengaruhi pikiran cucunya.
“Maksud Oma apa?”
“Soal keyakinanmu, agamamu… apa agamamu sebenarnya, Hendry?”
Dalam pengamatan singkat di kawasan apartemen putrinya, Indung bisa menangkap kehampaan itu merebak di mana-mana. Gereja selalu kosong, mesjid entah di mana selain di Amsterdam atau kota-kota besar.
Manusia-manusia memang mirip robot. Hidup begitu saja laiknya mesin. Bangun, kerja, makan, tidur… Siklus yang mengerikan tanpa pencerahan sebagai muara resah-pasah jiwa.
“Hakikat mencari kebenaran dan kebajikan, ya Oma?” Hendry tersenyum.
Indung menggeleng dan menitikkan air mata. Inilah sebagian materi yang pernah dibahas oleh guru kajiannya. Ia ingin menyampaikan kembali ceramah Ustazah Hasanah. Tapi sudah tak ada waktu. Pesawat yang akan membawanya kembali ke Indonesia telah menantinya. Lagi pula, penanaman akidah kan perlu proses panjang!
“Butet, iya… kalian bisa diskusikan hal ini, Hendry,” pesannya sebelum memasuki pintu keberangkatan.
Indung masih bisa melihat cucunya mengangguk, menjanjikan harapan baru. Hendry melempar senyum tulus selamat jalan. Melambaikan tangan salam perpisahan. Semenit kemudian Indung sudah tak melihat lagi sosok tinggi tegap bersemangat muda itu.
Indung mendekap erat-erat di dadanya bingkisan dari Hendry. Apa isinya?
Pesawat KLM telah meninggalkan bandara Schipol. Pramugari mulai membagikan makanan dan minuman. Indung kembali tertarik untuk segera mengetahui isi kado itu. Maka, perlahan jari-jemarinya yang keriput mulai melolosi kertas pembungkusnya. Bak seorang perawan sedang membuka hadiah dari sang kekasih saja. Indung pun merasakan jantungnya berdebaran.
“Apa ini…?” gumamnya gemetar. “Ooh, oh, subhanallah…!”
Sepasang matanya yang sepuh terhunjam lekat di atas sebuah album potret. Cepat-cepat ia melembari potret itu satu demi satu. Seluruhnya ada selusin, seluruhnya pula potret Hendry dalam kegiatan agamis di Islamic Centre, yang baru dilakoninya beberapa hari yang lalu.
Pada secarik kertas putih tertulis begini; “Oma yang dirakhmati oleh Allah Swt, inilah jawaban yang Oma inginkan. Alasan Hendry tak ada di asrama dalam seminggu terakhir. Mereka telah sepakat bergabung dengan Sekutu akan menggempur Irak. Hendry memutuskan desersi dari kemiliteran… Ketahuilah, Hendry telah menemukan pencerahan itu, Oma. Biarlah sanksi apapun akan Hendry tanggung, insya Allah. Mohon doa restu Oma…”
Air mata Indung merebak, sebagian menetesi potret cucunya yang sedang mengucap syahadat di hadapan jemaah Islamic Centre, Amsterdam. Jauh di sudut kalbu Indung ada yang berbuncah-buncah. Seribu doa dan restunya untuk seorang mualaf, cucu tersayang.
Depok, Muharam 1424 Hijriyah
Posting Komentar