Berikut adalah prolog atau sekapur sirih Ustadz Fauzil Adhim tentang karya-karya saya yang pernah dibaca dan dicermatinya.
Tembang Lara Pipiet Senja
Mohammad Fauzil Adhim
Sejak kecil Pipiet Senja menderita thalassemia, penyakit yang menyebabkannya harus terus menerus melakukan transfusi darah. Menurut perhitungan medis, penderita thalassemia “seharusnya” tidak bisa berumur panjang. Sulit dibayangkan –secara medis—seorang penderita thalassemia bisa bertahan hidup di atas usia dua puluh tahun. Tetapi Pipiet Senja tidak. Ia memiliki enerji hidup yang luar biasa. Ia memiliki enerji untuk berkarya yang menyala-nyala. Ia menyandarkan harapan yang sangat kuat pada Yang Maha Menciptakan.
Ya, sometimes accident is not accident at all. Kadang apa yang kita anggap sebagai derita atau musibah, sama sekali bukanlah mimpi buruk yang mengakhiri setiap harapan. Nurul F. Huda misalnya, katup jantungnya bocor saat ia SMP sehingga harus diganti platina. Sama seperti Pipiet Senja, ia harus kontrol rutin setiap bulan ke rumah sakit dan setiap hari tidak boleh lupa minum obat. Seumur hidup. Tetapi keadaan ini membangkitkan enerji hidup yang luar biasa. Enerji pemberontakan untuk melawan keterbatasan. Nurul menggambarkan keadaan dirinya dalam Proses Kreatif Penulis Hebat, “Seperti ingin menebus “keterkungkungan” karena dipaksa keadaan.”
Kelas dua SMA, Nurul menemukan pencerahan. Hidayah. Ia berubah total. Aktivitasnya beralih dari dari olah vokal melalui Paduan Suara, teater dan band menjadi olah kata melalui cerpen-cerpennya yang mengalir deras. Dan produktivitas luar biasa ini lahir dari tubuh yang menanggung sakit. Sama seperti Pipiet Senja.
“Mungkin kalau tidak thallasemia, saya takkan pernah menjadi seorang penulis,” kata Pipiet Senja suatu ketika.
Meski tak seheboh itu, saya juga pernah menikmati sakit jantung saat kelas empat SD. Dokter sempat tidak percaya. Ah, masa iya anak kecil sudah sakit jantung. Konon, penyakit yang satu ini biasa mendatangi orang-orang sukses. Tetapi justru di sinilah kegilaan itu muncul. Saya jadi GR sendiri bahwa saya termasuk calon orang-orang sukses yang akan terbang ke mana-mana mengelilingi negeri ini.
Kegilaan itu semakin menjadi ketika saya rakus membaca buku, terutama yang paling saya sukai adalah kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ayyub, kisah para penemu, buku-buku psikologi dan juga mulai bersentuhan dengan buku-buku filsafat. Di kelas empat inilah kegilaan membaca saya menemukan jodohnya: gila menulis!
Tapi saya tidak akan bercerita ikhwal saya menulis. Ada yang jauh lebih penting untuk kita kita ketahui, yakni bagaimana kita belajar menyerap enerji hidup seorang Pipiet Senja yang luar biasa dahsyatnya. Enerji hidup yang membuat saya sangat tidak percaya pada dogma men sana in corpore sano.
Melihat buku-bukunya yang terus bermunculan, sepertinya tak ada waktu untuk diam. Ia selalu ingin bergerak. Tangannya seperti tak sabar untuk selalu berkarya, berkarya dan berkarya yang lebih baik lagi. Hidup memang terlalu singkat untuk berpangku tangan. Dan karya yang baik, Insya Allah akan membuat hidup kita akan memiliki makna yang lebih abadi. Makna yang dapat mengantarkan kita pada perkenan-Nya untuk memasuki surga-Nya, sebagaimana Ia berseru dalam Al-Quran, “Wahai Jiwa yang Tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Enerji hidup Pipiet Senja inilah yang saya rasakan selalu mengalir melalui karya-karyanya; cerita panjang tentang tembang lara dan kekuatan jiwa untuk keluar dari kegetiran, seraya mengenangkannya di saat-saat tertentu untuk mengambil pelajaran. Novel-novel Pipiet Senja–sejauh yang saya baca—adalah lukisan tentang keperihan hidup yang mencoba untuk dimaknai atau dilawan. Terkadang ada yang jatuh karena berusaha mengingkari –seperti yang bisa kita lihat di sudut-sudut rumah sakit jiwa. Dan Pipiet Senja mengajak kita untuk belajar mengarifi, meski kadang kurang berterus-terang dalam memberi kata simpul. Ini boleh jadi karena latar belakang budaya yang berbeda. Orang Sunda memang cenderung lebih halus, samar dan lamat-lamat dibanding orang Batak, Bugis atau Jawa Timur seperti saya. Tapi justru di sinilah seninya, bagaimana kita menangkap sekaligus menyerap enerji hidup seorang Pipiet Senja yang sejak lahir didera thalassemia dan tetap produktif hingga usia melewati empat puluh tahun.
Cara Pipiet Senja memaknai hidup dan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tergambar lebih kuat pada bukunya yang sangat mengesankan: Cahaya di Kalbuku (DAR!Mizan, Bandung, 2002). Sebagai rekaman kehidupan yang sarat makna –dan acapkali sarat derita—buku ini mengajarkan kepada kita tentang ketegaran dan keharusan untuk memberi makna pada setiap tarikan nafas kita –yang entah, kapan berhentinya.
Seorang teman yang baru saja bercanda bersama, tiba-tiba saja bisa terbujur kaku di kamar jenazah. Ini yang pernah dialami oleh Pipiet Senja sebagaimana saya baca pada buku Cahaya di Kalbuku. Begitu mengesankannya buku ini bagi saya, sehingga saya mengharuskan diri sendiri untuk beli tak cuma satu. Saya beli beberapa untuk saya hadiahkan, di samping saya baca sendiri.
Kegiatan yang sangat menonjol dari Pipiet Senja adalah menulis. Setiap hari ia mengalirkan kata-kata melalui ujung penanya menjadi novel atau Cerpen. Saya khawatir sosok Mandor Samin, tokoh antagonis pada novel Lukisan Bidadari, merupakan personifikasi bawah sadar Pipiet Senja sebagai penulis terhadap sistem penerbitan yang belum bisa menjadi ibu kandung; mengayomi, menumbuhkembangkan, memperhatikan dan menyayangi.
Ah…, mudah-mudahan saja kekhawatiran saya ini salah. Jangan-jangan saya terlalu terpengaruh oleh teori-teori psikologi yang kadang terasa aneh.
Saatnya Merevolusi Diri
Di usianya sekarang yang hampir mencapai 47 tahun, Pipiet Senja telah melahirkan sangat banyak karya. Lebih dari enam puluh buku telah diterbitkannya. Belum lagi ratusan cerpen yang tersebar di mana-mana dan tidak sempat dibukukan. Enerji menulis Pipiet Senja tampaknya masih meluap-luap, dan insya Allah akan tetap membanjiri dunia perbukuan kita. Ini patut kita syukuri dan kita doakan semoga Allah menjadikan sisa usianya sebagai saat terbaik di hadapan-Nya; sebagai jejak-jejak cinta seorang hamba yang penuh barakah dan diridhai-Nya.
Kemampuan Pipiet Senja untuk menulis, sulit kita bantah. Kita tidak meragukan lagi. Novel yang sedang Anda baca sekarang ini, merupakan salah satu buktinya. Di saat yang sama, ribuan anak muda sedang sibuk menabung mimpi tentang terbitnya sebuah buku yang bergizi. Mereka bersemangat menikmati mimpinya tanpa pernah tahu apakah mimpi itu hanya tinggal mimpi, ataukah benar-benar akan bisa terwujud suatu saat nanti. Sebagian dari anak-anak muda itu memang telah bisa melahirkan karya, dan sekarang sedang berbunga-bunga melihat namanya tertera di sampul depan buku, meski baru berupa karya bersama.
Saya bayangkan, mereka inilah yang sekarang perlu mendapat sentuhan dari Pipiet Senja. Mereka mendesak untuk dapat menyerap enerji hidup, enerji kreatif dan kekuatan untuk mengatakan “tidak” pada pesimisme. Mereka sangat membutuhkan pengalaman, penghayatan, kegigihan, ketekunan dan kesediaan belajar terus-menerus dari Pipiet Senja, sehingga bisa membangkitkan kekuatan jiwa untuk melahirkan perubahan dan perbaikan melalui tulisan. Mereka ini sebagian adalah anak-anak muda FLP yang jumlahnya ribuan, dan sebagiannya lagi ribuan anak muda yang ingin memaknai hidupnya dengan lebih baik melalui tulisan. Di antara mereka ada pula ibu-ibu yang ingin menolong agama-Nya dengan pena.
Dan inilah saatnya Pipiet Senja merevolusi diri!
Sempat saya berpikir tentang suatu model penerbitan di mana setiap cerita yang dituangkan, menggugah sekurang-kurangnya satu orang untuk mampu melahirkan cerita juga. Di kepala saya sedang menari-nari sebuah model penulisan yang Insya Allah belum ada di negeri ini, dan saya berharap seorang Pipiet Senja yang melakukannya pertama kali karena kapasitas beliau yang luar biasa. Hanya saja, kapasitas itu selama ini tidak pernah dibuka katupnya sehingga tersumbat. Karena itu, doakan. Insya Allah akan lahir karya-karya penuh kejutan dan berpengaruh.
Cerita-cerita tentang bagaimana Pipiet Senja menembus kesulitan, atau menjemput kesuksesan, merupakan sisi penting yang menarik untuk diceritakan. Seperti Chicken Soup for the Soul? Tidak. Saya kira banyak bentuk yang bisa dirancang secara kreatif.
Kita tunggu saja. Insya Allah.
Ada lagi! Berbekal pengalamannya yang sangat kaya, sudah saatnya Pipiet Senja menyisihkan sebagian dari waktunya untuk meramu tulisan yang menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin menulis, sedang belajar menulis, mulai produktif menulis serta mereka yang ingin mendapatkan “sengatan” semangat hidup.
Kalau Hernowo melalui buku-bukunya yang fenomenal mengagetkan kita tentang pembelajaran membaca, menulis dan pelejitan potensi diri melalui kecerdasan mengolah dan mengelola kata, maka seorang Pipiet Senja yang sama-sama kenyang pengalaman dapat berbagi dengan menghadirkan buku-buku yang –katakanlah—membangun the reason for being buat nulis serta membangkitkan kekuatan untuk bertahan (adversity quotient) bagi para penulis yang sedang menikmati penolakan redaksi. Tidak tertutup kemungkinan buku-buku dengan kalangan pembaca lebih luas, tetapi tetap berpijak pada kekuatan pengalamannya yang dahsyat. Dengan demikian, buku tersebut akan terasa sangat kontekstual sehingga pas buat siapa saja dan memberi efek dakwah maupun pemasaran yang sangat besar.
Atau, barangkali Pipiet Senja mau merevolusi diri menjadi seorang Torey Hayden Indonesia, khusus berkaitan dengan semangat mengubah hidup atau kekuatan untuk menajamkan pena!
Atau…?! Pipiet Senja lebih tahu potensi. Saya hanyalah seorang yang merasa sangat yakin bahwa sisi-sisi lain Pipiet Senja itu mendesak untuk dituangkan dalam tulisan. Inilah saatnya merevolusi diri. Inilah saatnya memberi kemanfaatan yang lebih besar lagi kepada ummat dan agama ini, tanpa harus berhenti menulis novel-novelnya yang memang senantiasa dinanti. Insya Allah dengan menulis itu, disertai niat menolong agama Allah, maka sesuai janji-Nya di surat Muhammad ayat tujuh, Allah Ta’ala akan menolongnya dan mengokohkan kedudukannya.
Wallahu a’lam bishawab.
Kita doakan saja. Dan kita tunggu saja kejutan-kejutan besar dari guru kita ini. Kepada penerbit, mungkin dapat direncanakan dari sekarang model-model baru penulisan itu.
Dari Jogja, salam hangat saya untuk semua.
Jogjakarta, 5 Maret 2004
Posting Komentar