Anekdot Haji
Mencuci Melulu
Hajjah Erna telah mengizinkanku untuk mengungkap secuplik kisah hajinya. Teman sekamarku yang berasal dari Dumai ini, sejak di Tanah Air sudah sering bilang begini kepada suaminya: “Pokoknya, di Tanah Suci aku tak mau diganggu urusanmu selain untuk beribadah.”
Kenyataan berbicara lain. Selama di Tanah Suci Erna malah dengan senang hati melakukan pekerjaan rumah yang remeh-temeh demi sang suami. Erna pun setiap saat, tak kenal waktu, senantiasa memenuhi panggilan suami. Apakah itu untuk jalan-jalan yang lebih sering dibatalkan sepihak oleh suami. Atatu untuk mendampingi suami selama makan. Pendeknya, kulihat Erna sangat direpotkan oleh urusan pasangan hidupnya, tapi dia melakukannya dengan riang hati.
Begitu sampai di Madinah hal pertama yang dilakukannya adalah mencari baju kotor, kemudian mencucinya tanpa sisa. Awalnya, aku dan Anita yang juga sekamar dengan Erna tak memedulikan urusan cuci-mencuci itu. Setelah dua hari berlalu, jika dicermati Erna begitu hobi bolak-balik ke kamar mandi untuk mencuci apapun, termasuk meminta bajuku untuk dicucinya. Nah, mulailah aku terusik untuk membahasnya dengan Anita.
“Pssst, dikau perhatikan gak, Dek Nita,” ujarku suatu hari begitu keluar dari kamar mandi yang dipenuhi dengan berbagai macam cucian, bergelantungan, termasuk celana dalam suami Erna. “Kenapa Erna doyan banget mencuci ya Dek?”
Tentu saja orangnya sedang berada di dalam kamar mandi dan dipastikan sedang nguyek mencuci, entah mencuci apa pula itu!
“Iya, Teteh sayang…. Sebenarnya aku juga heran, tapi gak berani ngomong,” sahut wanita Jawa yang terkesan tomboy, tak terlihat klamak-klemek.
“Pssst… CD-nya suami beliau tadi nyaris nemplok di mukaku, tauuuk!” kataku menahan tawa.
Anita malah kontan cekikikan. Pas Erna muncul dari kamar mandi sambil basah-basahan, kami berdua langsung terdiam. Ampyuuun, jangan biarkan mulut kami jadi embeerrr!
Suatu pagi, sepulangku dari sholat subuh di Masjid Nabawi, kudapati Erna, sang apoteker itu, sedang sibuk menyetrika. Yup! Dia sampai khusus membeli setrika listrik di toko pinggir jalan. Aku dan Anita mengerumuninya. Sesungguhnya aku mengagumi pengabdian seorang Erna, loyalitasnya terhadap suami, sampai kolornya pun disetrika, men!
Tangan Erna hilir-mudik mengayunkan setrika mungil. Pekerjaan buang-buang tenaga saja, pikirku. Mending buang saja tuh kolor, beli yang baru, habis perkara!
“Hhh, kenapa sih setrika ini gak panas-panas?” Erna mendadak mengomel dengan suara keras. Hanya dua-tiga detik, tiba-tiba….bhuuusss!
“Allahu Akbaaar!” Benda elektrik seharga 50 real itu konslet. Bila tangan Erna tak cekatan mencabut kabel setrika, entah apa yang bakal terjadi. Ada bunga api memercik!
“Ada apaaa?”
“Listriknya padaaam!” terdengar sayup orang berteriak di lorong depan kamar kami. Sementara kami bertiga masih berpandangan, terus terang syok!
Apakah Erna kapok? Hatta, dia masih melakukan aktivitas cuci-mencuci itu, kecuali selama berada di Mina dan Arafah. Aku sempat merasa kesal juga oleh suaminya yang sering seenaknya memanggil Erna untuk jalan-jalan. Namun, kemudian kami tahu, seenaknya pula lelaki seberang itu membatalkannya.
Suatu kali, malam-malam mendadak Erna ditelepon, diminta turun ke lobi. Padahal dia sudah rebahan mau tidur. Kulihat Erna grasa-grusu ganti baju, memperbaiki riasan wajahnya. Belum lima menit turun, ndilalah, dia sudah kembali dengan wajah muram.
“Kenapa, Kak Erna, gak jadi lagi?” tanya Anita ingin tahu.
“Tak tahulah si Abang itu,” sahut Erna seraya membanting tubuhnya ke ranjang, kemudian menutup wajahnya dengan bantal.
“Dek, mohon dibilanglah sama suamimu itu ya,” kataku tiba-tiba jadi panas hati. “Bilang hentikan kelakuannya itu! Bilang sajalah sama dia itu, awak jadi kesal ini! Tahu gak sih, kelakuannya itu mengingatkanku sama si Batak itu! Macam mana pulanya itu, bah, baaah!” omelanku tak tahan merepet, malah membuat Erna dan Anita terbahak-bahak mendengar logatku yang ajaib. (Pipiet Senja, alumni SmartHajj Travel Cordova, 2006)
Posting Komentar