Prolog
Novel ini masih di percetakan, sudah dibuatkan kovernya yang oke bangeeeettttt.
Hanya bosku belum sreg dengan judulnya, katanya. Awalnya kuberi judul Paea Pencari Keadilan, tema yang kuangkat tentang para praktisi hukum, etnis Batak dan Tionghoa, cinta dan sayang yang tertunda, perselingkuhan, seniman dan....eeeh, kok tema jadi seabregan yeeeh!
Semoga segera dicetak, demikian doaku belakangan ini. Kuatir kehilangan momen, ketika kita sedang dihebohkan oleh kasus-kasus makelar kasus di perhukuman dan peradilan, kasuh si Gayus dan otak di belakangnya.
Sesungguhnya novel ini; paaaaas!
Ya wis, sabar sajalah, dan inilah nukilannya.
Selamat menikmati sarapan pagi ala Pipiet Senja.
Salam manis dan bahagia.
@@@
Honda bebek yang masih baru itu melesat ke arah utara. Pengendaranya tak memedulikan orang-orang yang memandang aneh kepadanya. Memang di kampungnya langka sekali ada perempuan mengendarai motor. Bahkan Joruk pemiliknya selalu dibonceng oleh seorang adik lelakinya bila ingin menggunakannya. Dokter Amelia juga bila hendak menengok pasein, biasanya dibonceng oleh bawahannya.
Gadis berjilbab putih dan bercelana olah raga itu terus mengebut motornya, membelah jalan tanpa aspal dan berdebu tebal. Entah kapan terakhir hujan turun di kawasan ini, gumamnya sambil menepis tebaran debu yang menerpa ke arah wajahnya. Tumbuhan gundul. Tanah dan sawah kering berbelah-belah. Entah bagaimana musim panen tahun ini di sawah kakeknya.
“Jangan dipikir-pikirkanlah itu, Butet. Buat ongkos sekolah kau sampai ke mana pun sudah disediakan,” kata kakeknya beberapa bulan yang lalu. Pembawaannya memang selalu easy going, pasrah lilahitaala. Sering humornya keluar dan bikin Rumondang tertawa terpingkal-pingkal.
“Ssst,” bisiknya suatu hari setelah mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Bagai tak ingin didengar orang lain.”Nanti kalau Ompung sudah pergi jauh, bongkar sajalalah tiang-tiang di dapur itu.”
“Kenapa mesti dibongkar?” Rumondang mengernyitkan dahi.”Lagipula, memangnya Ompung mau pergi ke mana?”
“Di dalam tiang-tiang itulah tabunganku buat kau.”
“Masya Allah! Masak menabung di tiang-tiang dapur? Bagaimana nanti kalau uangnya diggiti tikus, ulat atau rayap?” Rumondang kaget.
“Ssst, jangan ribut! Aku sudah membalurinya dengan obat anti hama…”
Tak terbayangkan, bagaimana jika tiang-tiang dapur itu dibongkar.
Wuiih, pasti bakal heboh seluruh kampung. Ompung ada-ada saja!
Dokter Amelia, mengaku halak Sunda. Entah di mana kampung yang bernama Pasundan itu. Pernah Rumondang menyebutnya orang Jawa. Perempuan ayu, bertubuh mungil, berkulit putih lembut yang ramah dan berbudi halus itu menyangkalnya habis-habisan.
Bukan, bukan suku Jawa. Aku suku Sunda, tempat kelahiranku di Parahiyangan atau bumi Pasundan di Bandung, Jawa Barat, katanya. Naaah, itu barusan sudah bilang Jawa lagi, Jawa lagi kan? Rumondang menohoknya. Eeh, iya, ya, eh, tapi bukan, bukan Jawa kok!
Dokter Amel macam mana dia itu, ah! Bikin pusing kepalaku saja, omel Rumondang dalam hati. Dalam setahun itu Rumondang cukup akrab dengan dokter Amelia. Ompung sering berobat kepadanya. Rumondang biasa memanggilnya Kakak. Umur mereka berpaut sepuluh tahunan, tetapi itu tak masalah. Ia mengaguminya sebagai sosok wanita muda cendekia yang tegar, mandiri.
Bersama dokter Amelia, ia bisa berdiskusi panjang lebar. Tentang banyak hal. Rumondang kadang merasa yakin akan cita-citanya, mengikuti jejak wanita yang sedang mencari “sesuatu” di tanah Tapanuli ini. Hanya ia tak tahu apa “sesuatu” yang disembunyikannya itu.
Sayang sekali, mereka tak bisa sering-sering bertemu. Rumondang sekolah di Sidempuan, dokter Amelia jihad di kampung orang.
"Aku bonceng Kakak, ya?” katanya ketika dokter Amelia sudah siap berangkat dari depan rumah dinasnya di samping Puskesmas.
Dokter Amelia tertegun. Memandangi wajah Rumondang sekilas.
”Biasanya aku dibonceng sama si Ucok…”
“Iya, aku tahu itu. Tapi sekarang Bang Ucok tak ada. Aku tak mau lama-lama menunggu dia. Ini darurat sekali, Kakak,” desak Rumondang tak sabar lagi.
“Bagaimana kondisi kakekmu sebenarnya?”
"Sudah lemah sekali dia. Makanya, cepatlah naik. Percayalah, aku takkan ngebut. Insya Allah, jalannya akan hati-hati sekali, Kakak,” katanya sambil mengulurkan tangan, meminta tas yang dijinjing dokter Amelia.
“Baiklah,” dokter Amelia luruh hatinya.”Biar kupegang saja tas ini. Hati-hati, ya, jalannya!”
Rumondang menstarter motor. Tak berapa lama motornya sudah melaju meninggalkan pemukiman. Sang dokter malah memintanya mempercepat laju motornya saat mereka sudah berada di kawasan padang rumput. Inilah kawasan sabana yang sangat lawas atau luas di Tapanuli Selatan.
Sejauh mata memandang hanya rumput hijau yang menghampar luas bagai tak ada habis-habisnya. Bunyi lonceng kecil yang digantungkan di leher sapi-sapi yang digembalakan bebas, terdengar amat merdu di telinga Rumondang.
Meskipun begitu benaknya masih dipenuhi dengan rasa heran, dan penasaran dengan kelakuan anak-anak Ompung dari kampung seberang itu. Begitu sok berkuasanya mereka itu!
“Rumondang sebenarnya anak siapa, ya? Apa anaknya Ibu Taing?” Itulah untuk pertama kalinya dokter Amelia menyelidik identitas dirinya. Suaranya seolah ingin melampaui nyanyian padang lawas yang khas. Irama kincir angin, lonceng kalung ternak, kesiur angin, cericit burung, derum motor…
Rumondang menstarter motor. Tak berapa lama motornya sudah melaju meninggalkan pemukiman. Sang dokter malah memintanya mempercepat laju motornya saat mereka sudah berada di kawasan padang rumput. Inilah kawasan sabana yang sangat lawas atau luas di Tapanuli Selatan.
Sejauh mata memandang hanya rumput hijau yang menghampar luas bagai tak ada habis-habisnya. Bunyi lonceng kecil yang digantungkan di leher sapi-sapi yang digembalakan bebas, terdengar amat merdu di telinga Rumondang.
Meskipun begitu benaknya masih dipenuhi dengan rasa heran, dan penasaran dengan kelakuan anak-anak Ompung dari kampung seberang itu. Begitu sok berkuasanya mereka itu!
“Rumondang sebenarnya anak siapa, ya? Apa anaknya Ibu Taing?” Itulah untuk pertama kalinya dokter Amelia menyelidik identitas dirinya. Suaranya seolah ingin melampaui nyanyian padang lawas yang khas. Irama kincir angin, lonceng kalung ternak, kesiur angin, cericit burung, derum motor…
“Bukaaan!” sahut Rumondang ikut keras melampaui bunyi motornya.
"Bu Damsinar barangkali, ya?”
Damsinar, saudara perempuan ayahnya juga.
"Dibilang pun takkan tahulah Kakak. Kedua orang tuaku itu tak ada di sini, entah di mana!”
"Dibilang pun takkan tahulah Kakak. Kedua orang tuaku itu tak ada di sini, entah di mana!”
"Kenapa kau tidak tahu?”
“Yah, sudah begitulah dari sananya, Kakak. Hei, itu mobilnya Tulang17 Bahrum. Masih familinya Ompungboru, Kakak. Apa Kakak mau pindah ke sana?”
“Tak usahlah… tanggung kan? Sebentar lagi juga kita sampai.”
Mobil butut keluaran tahun 50-an berjalan terseok-seok dari arah kampung seberang. Mengangkut banyak penumpang, ditumpuk bagai ikan pindang. Begitu dilihatnya ada pengendara motor bertampang cantik, si Amsir kernet langsung berseru-seru;“Mau ikut kami, dokter Ameliaaa?!”
Ditimpahi oleh sopir, seorang lelaki tinggi kekar berpenampilan ala pendekar.”Iya, Dokter! Sini, duduklah di depan biar aman!” teriaknya.
“Alamak, kalian ini macam mana? Nanti aku duduk di mana pula? Sudah ditumpuk macam ikan begini…” gerutu kakek yang duduk di sebelahnya.
“Iya nih si Godang! Mentang-mentang sama dokter cantik. Mau main turunkan orang saja, ya?” kata teman di sampingnya.
“Ompung Sultan biar dipangku sama Ompungboru Putir saja di belakang sana, ya? Kan sama-sama tua, seimbanglah kalian,” cetus Godang sambil terkekeh-kekeh.
“Ompung Sultan biar dipangku sama Ompungboru Putir saja di belakang sana, ya? Kan sama-sama tua, seimbanglah kalian,” cetus Godang sambil terkekeh-kekeh.
"Iya, biar mata kita segarlah, Pung!”
“Dua anak boru itu benar-benar cantik, ya?!”
“Iyalah, macam bidadari turun dari kahiyangan saja mereka itu!”
“Iiih, awas kaki kau itu, Ucok! Kau injak kakiku ini, sakiit!”
“Aduh, nenek-nenek ini…. Tahu cerewet begini tak kuangkut tadi!”
"Bah! Siapa pula yang buang gas, huuuh! Baaauu!”
“Sudah, Amsiir! Lanjuuut! Lanjuuut!”
Melihat keriuhan di mobil butut itu, Rumondang dan dokter Amelia tertawa geli.
“Kalau kuperhatikan benar,” komentar dokter Amelia setelah menjauhi mobil butut itu.”Orang Batak pun suka bercanda juga, ya? Sama dengan orang Sunda. Kata-katanya suka menggelitik hati…. Hei, hei, Cantiik! Jangan terlalu ngebutlah! Hati-hatii…”
Rumondang bagai tak mendengarnya. Terus menerbangkan motornya menuju rumah Joruk. Wajah dokter Amelia sampai pucat pasi saat turun dari boncengannya.
Dokter Amelia memeriksa paseinnya.
”Ompung, ini aku dokter Amelia. Aku periksa sebentar, ya Pung?”
Rumondang menyibakkan selimut kakeknya, melepas kancing-kancing kemeja kokonya. Saat itulah mata yang sudah dua hari dua malam terpejam seketika terbuka.
“Subhanallah…. Ompung bisa melihatku, ya? Ompung sudah sadar kan?” pekik Rumondang berjingkrak.
Joruk yang kini bergeming dari samping suaminya berkata.”Iya, Pung, ini aku Joruk…. Rumondang sudah Ebtanas, katanya, Pung. Lagi menunggu pengumuman ujian…”
Siapa sangka Ompung yang dianggap banyak orang sudah sekarat mendadak sehat, segar bugar seperti sediakala. Padahal dokter Amelia belum memberikan obat apapun. Kalaupun kemudian diberi injeksi, itu hanya sekadar memenuhi permintaan si sakit, vitamin belaka.
Rumah Joruk bukannya menjadi sepi, sebaliknya malah semakin ramai dikunjungi banyak orang. Segera tersebar kabar tentang Ompung Ni Sahat yang baru pulang dari “dunia misteri”. Sebuah pengembaraan mistis, katanya.
"Maafkan, ya Kakak. Aku bukan mengada-ada. Sebelumnya Ompung memang parah sekali keadaannya,” kata Rumondang berulang kali minta pengertiannya.
Dokter Amelia tersenyum maklum.”Aku percaya kok, sudahlah…. Tapi aku ingin terus terang saja, ya?”
Ia memberi gambaran sesungguhnya mengenai kesehatan Ompung Ni Sahat. Kemungkinan sekali keadaan ini hanya untuk sementara. Jantungnya memang sudah lama sakit. Begitu pula paru-paru dan ginjalnya. Dalam setahun terakhir menjadi pasiennya, semua hasil laborat dan rontgen menunjukkan harapan hidupnya tipis sekali.
Rumondang terdiam dan tertunduk dalam-dalam saat dokter Amelia mengusap-usap punggungnya.
”Kita pasrahkan saja semuanya kepada kehendak-Nya. Sebagai orang beriman, tak ada lain kita hanya harus menerima takdir-Nya….”
Rumondang menengadah dengan air mata merebak.”Jadi…”
“Ya, sekarang yang bisa kita lakukan adalah membuatnya agar selalu senang. Penuhi saja segala keinginannya…. Eh, itu si Ucok sudah datang menjemput!”
Rumondang mengantarnya sampai pekarangan. Namun, tiba-tiba dari ruang dalam ada yang berteriak-teriak histeris. Ibu Joruk tergopoh-gopoh memburu mereka.
”Tolong! Jangan biarkan Bu Dokter pergi dulu, jangaan, tolong…”
“Kenapa lagi dengan Ompung?” jantung Rumondang berdebur kencang.
Perempuan berumur empat puluhan itu menggeleng-geleng.”Bukan, ini bukan soal Ompung kau. Ini soal anakku si Joruk, dia mau melahirkan!”
Ketika itulah untuk pertama kali dalam hidupnya Rumondang menyaksikan orang melahirkan. Ia ikut sibuk membantu dokter Amelia membidani Joruk. Rasanya dirinya ikut merasakan kesakitan, kelelahan dan penderitaan sohibnya. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya.
Sementara itu dokter Amelia tampak amat profesional menunaikan tugas kemanusiaannya. Tak berapa lama kemudian ia pun berhasil mengeluarkan makhluk mungil dari rahim Joruk.
“Alhamdulillah. Anaknya laki-laki!” kata dokter Amelia kepada Rumondang yang merasa sudah sangat shock dengan semua kejadian hari itu.
Tiba-tiba gubraaakk…. Rumondang ambruk tak sadarkan diri!
17paman
Posting Komentar