Manakala pagi datang, aku hanya bisa mengantarnya sampai ambang pintu kamar kami. Tak berani keluyuran sendirian di koridor penginapan murahan itu, karena kutahu ada banyak lelaki dan perempuan tak beres menghuni kamar di sebelah-menyebelah tempat sementara kami bermukim.
“Ke mana rencana kau hari ini?” tanyanya pagi itu sebelum meninggalkanku.
“Menulis,” sahutku sambil menelan ludah. “Kalau boleh nanti pulang kantor, kita cari berdua saja rumah kontrakannya, bagaimana?”
Ini sudah hari keenam kami menempati kamar di penginapan kumuh itu. Kurasa segala keresahan, ketakutan dan ketaknyamanku telah sampai pada titik nadirnya. Berhari-hari aku jalan sendirian mencari rumah kontrakan. Selalu nihil!
Maksudku, dia akan menolaknya dengan berbagai alasan. Pernah sebuah kamar nyaman di kawasan Pramuka menjadi pilihanku. Tapi dia menolaknya dengan alasan di sana terlalu banyak penghuninya. Bahkan ada satu rumah mungil dengan harga terjangkau menjadi pilihanku, tapi dia pun menolaknya mentah-mentah.
Alasannya; “Lihat, di samping rumah itu ada kontrakannya anak-anak muda. Nanti ada apa-apanya dengan kau!”
Ya Tuhan, aku mulai kebingungan dengan sikapnya!
“Ke mana kita akan mencarinya?”
“Mungkin ke daerah… yaaah, yang dekat dengan kantormu saja? Juga dekat dengan RSCM,” cetusku bersemangat kembali, akhirnya dia merespon usulku.
“Kenapa harus dekat dengan RSCM?” dia menatapku keheranan.
“Oh… biar aku gampang berobat. Lupa, ya, aku ini pasien thalasemia. Sekalian, kalau boleh… mohon diurus kartu Askes-nya, ya Yang?” kataku perlahan, niscaya terdengar agak memelas.
Kulihat dia tercenung. Benar, kurasa dia baru menyadari lagi dengan siapa dirinya mengayuh biduk perkawinan. Aku menanti dengan debar-debar cemas. Setelah keinginannya menunda pernikahan itu, insiden yang sungguh membawa dampak buruk di mata keluarga besarku itu… Ada luka yang tertoreh cukup dalam!
Sehingga aku memutuskan untuk tidak banyak berharap, bahkan kalau mungkin, jangan pernah bergantung kepadanya. Jadi kuajukan permintaan Askes ini dengan hati-hati dan siap untuk ditolak.
“Baiklah, sepulangku dari kantor, ya,” sahutnya singkat.
“Terima kasih, Yang,” kuraih tangannya dan kuciumi dengan santun. Dia tertegun, buru-buru menepiskannya dari genggamanku.
Kupandangi sosoknya hingga lenyap di pintu gerbang. Beberapa jenak aku berdiri tertegun di ambang pintu itu. Menghela napas berat, sungguhkah aku telah menjadi seorang istri?
Ini… aduuuuh, rasanya masih seperti mimpiiii!
Beberapa jam aku menulis, menulis dan menulis. Dua cerpen dan satu bab kelanjutan novel, demikian hasilnya. Perutku berbunyi menagih isi. Baru kusadari sejak malam hanya sedikit yang kumakan. Terus terang, nafsu makanku anjlok drastis.
Bagaimana tidak, berbagai peristiwa besar dalam hidupku datang silih berganti. Terkadang kurasai terlalu saling tumpang tindih, sehingga kerap serasa diriku tersungkur, dan tenggelam ke dasar jurang paling dalam… Tiada seorang pun yang menolong!
Bahkan orang yang semula kuharapkan sebagai juru selamatku, berbalik menjadi pembangkang nomer satu!
Toook, took, toook!
Pintu diketuk orang dari luar. Siapa ya? Room service, kurasa di sini tak ada orang yang berpangkat demikian. Paling seorang pegawai yang setiap pagi dan petang membawakan seperangkat peralatan minum, dua gelas dan seteko air putih. Bahkan seprei dan sarung bantal sudah beberapa hari tak ada yang mengganti.
“Ada apa… Mas?” tanyaku sesaat kubuka pintu, kulihat ada dua orang berseragam dan seorang lelaki, yang kutaksir adalah pemilik penginapan.
“Maaf, Mbak… Ini hanya pemeriksaan rutin,” kata pemilik penginapan dengan sikap acuh tak acuh.
Kutahu sikapnya memang begitu dalam beberapa kali jumpa, ketika kami menyelesaikan administrasi.
“Pemeriksaan rutin… mm, bagaimana?” tanyaku tak paham.
“Coba perlihatkan KTP!” perintah lelaki berseragam di sebelahnya, terdengar ketus dan galak sekali.
“Oh… sebentar,” aku berbalik dan gegas menyambar tas tanganku.
Buru-buru kukeluarkan kartu identitas yang kumiliki; KTP, kartu reporter Selecta Group, sekalian satu surat nikah. 0ya, satunya lagi dipegang oleh ayahku, entah dengan alasan apa.
“Oooh, jadi… kalian itu suami-istri, ya?”
“Kenapa lakinya pergi mulu kalau siang?”
“Emang kenapa tinggal di tempat beginian?”
“Kayak per…”
Bla, bla, bla… Otakku mendadak beku!
Bahkan sampai orang-orang itu berlalu, dan aku ditinggal sendirian kembali di kamar itu, di mana kerap kecoa dan cecurut berseliweran itu… Otakku masih belum jalan!
Mereka menyangka diriku ini perek, ya, akhirnya kutemukan jawabannya bertepatan dengan suara adzan dari kejauhan. Begitu menyadari hal itu, aku berlari ke kamar mandi, gebyuuur, gebyuuur…
Kubasahi seluruh tubuhku, kubasahi dan kubasahi terus-menerus dengan kemarahan, dada yang serasa bagaikan hendak meledaaak! Lama aku mengadukan ikhwalku kepada Sang Khalik di atas perantian sholat. Sampai perutku kembali berkeruyuk dengan hebatnya. Aku telah memutuskan hengkang dari tempat ini, tak ada alasan lagi, sekarang juga!
Maka kukemasi seluruh bawaan kami berdua, sesungguhnya hanya satu-dua stel bajunya. Sebagian besar barang milik suami masih berada di kontrakan lamanya. Bawaanku hanya satu buntalan berisi buku, mesin ketik dan ransel berisi pakaian alakadarnya.
“Aku sudah keluar dari penginapan jelek itu. Kutunggu di halte tak jauh dari terminal tanah Abang, tempat biasa,” kataku melalui telepon umum ke kantornya.
“Ada apa? Kenapa tak menungguku dulu?”
“Nanti kuceritakan!”
Kliiiik, telepon umum di halte itu kututup, masih dengan kesal. Mengingat sikap dan kecurigaan dua petugas yang mencari tahu identitasku. Ini ironis sekali, Sodara!
Ayahku, seorang intel, diperbantukan di Bakin. Dia sering ikut dalam operasi-operasi penangkapan aktivis mahasiswa, orang-orang yang dianggap oleh Pemerintah sebagai pembangkang… Aha!
Apa katanya kalau mengetahui putri sulungnya sempat di-sweeping? Gara-gara disangka perek yang telah berhari-hari menjadi simpanan seorang lelaki hidung belang?
“Biar sajalah itu, kenapa harus membuat kau marah-marah?” komentarnya begitu kututurkan pengalaman pahitku.
Ha? Begitu enteng dan tak pedulinya? Kukatupkan mulutku rapat-rapat. Kusadari kini sepenuhnya, aku memang tak boleh bergantung kepada lelaki ini, tak boleh!
Jarak itu mulai memisahkan kami berdua, kukira, sejak saat ini. Namun, pada perjalanan waktu di hari-hari mendatang, ajaibnya aku seringkali mengingkari hal ini. Secara terus-menerus, aku berjuang keras untuk menghapus jarak itu…Dengan kebersahajaan yang kumiliki, bahkan dengan segenap kedunguan dan kebodohanku dalam meraih cintanya. Sebuah perjalanan panjang yang berliku-liku, dan tak tahu di mana ujungnya.
Kami menyusuri gang demi gang di sekitar Kalipasir. Hingga sampailah kami di sebuah rumah mungil di antara rumah-rumah kelas menengah lainnya. Pemiliknya seorang lansia yang sangat baik hati. Dia memberi tawaran yang bagus.
“Tiga ratus ribu per tahun, harus dibayar di muka. Tapi boleh tunda selama seminggu atau dua minggu ini,” ujarnya dengan tatapan iba ke arah wajahku yang pasti sudah mulai memias.
“Baik, kami ambil!” suamiku memutuskan.
Rumah itu tipe 36 dengan dua kamar, sebuah dapur dan sebuah kamar mandi. Pekarangannya juga ada, cukuplah untuk meletakkan tempat jemuran. Listriknya harus berbagi dengan rumah di sebelah yang juga kontrakannya si nenek. Kalau kami tidak ingin ribut dengan tetangga, sebaiknya bisa hemat-hemat listrik.
“Yang penting airnya lancar,” kataku meminta pengertian tetangga baru kami itu. “Urusan listrik, kami tak punya alat-alat elektronik, bahkan radio pun tidak…”
“Iya, kita akan mengatur penyetelan air dua kali dalam sehari. Pagi dan sore, ya Dek,” janji istri tetangga itu dengan ramah.
Nah, di sebuah rumah mungil kawasan Kalipasir itulah kumulai kehidupan berumah tangga yang sesungguhnya. Mulai dari hanya tidur beralaskan tikar, bantal dan tikarnya pemberian nenek pemilik rumah. Piring, gelas dan sendok serba dua… sebulan kemudian, perabotan kami mulai bagus dan banyak.
Bunda, ibu tersayang, apapun yang terjadi, dia datang dengan segala macam centong-petong yang diangkutnya dari Cimahi.
“Emak kangen, Teteh, kangen… Ini Emak bawakan perabotan buat Teteh,” ujarnya dengan air mata berlinangan, keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
Ya Tuhan, kasih ibu sepanjang zaman, ini sangat benar dan aku telah merasainya sendiri. Sosok sangat bersahaja ini, bundaku yang kami sebut Emak, dari segala kebersahajaannya itulah aku menuai selangit api semangat yang tak kunjung padam.
***
saya pernah menulis cerpen atau ungkapan hati dari sebuah kejadian menyebalkan atau sebaliknya. saya ga sempat bertanya ketika teh pipiet mengadakan diskusi KATAKAN CINTA DENGAN AKSARA di kuala lumpur. jadi ya saya tanyakan di blog ini saja ya, hehe semoga ada yang menjawab
BalasHapusapa untuk menulis, (apapun bentuknya baik cerpen atau puisi dll) harus benar dulu? maksud saya apa kita harus meminta orang untuk mengoreksi karya kita terus menerus hingga salah satu dari mereka mengatakan "bagus". baru setelah itu kita serius menulis? atau gimana?
Ibnusyadilli:
BalasHapusyeeeh, maaafkaaaan inikok baru kelihatan...
lama sekali tidak menengok postingan lama
intinya; tidak perlu harus ada yang mengatakan bagus dulu untuk tulisan kita
pokoknya; menulis, menulis dan menulis!
dan mengirimak atau memajangnya di website, atau di media harian dan majalah
biarlah masyaraka=t yang akan menilainya
demikianlah yang saya lakukan sejak awal karier sebagai penulis
Posting Komentar