Prolog
Ketika emakku berangkat ke Tanah Suci, sepuluh tahun lalu, kerinduan terhadap Rasulullah, hasrat untuk menjadi tamu Allah mulai mengusik diriku. Saat itu segalanya seakan-akan hanya mimpi ‘kali yeee!
Tak terbayangkan olehku, dari mana mampu mengumpulkan uang berjuta begitu. Bahkan sekadar untuk punya satu juta per bulan pun, rasanya kaki dibuat kepala, dan kepala dibuat kaki. Jungkir balik, sumpe loe, istilah anak gaul!
Musim haji 2005, saat suami tak mengajakku ke Tanah Suci, betapa kecewa hatiku. Bertahun-tahun aku sangat mendambakannya. Acapkali kukatakan kepada orang-orang bahwa aku akan diajak suami berangkat haji, bahkan dengan nada bangga pula. Ya, dia memang telah menabung bertahun-tahun, gajinya tak pernah diambil dalam beberapa kurun. Sehingga menafikan hakku, hak anak-anak, tiada memberi keutuhan makan sehari hari. Namun, hal itu telah kuikhlaskan, hanya kecewa itu saja.
“Mengapa tidak membawaku?” tanyaku sekadar ingin tahu.
“Tak cukup uangnya, lagipula… buktikan saja! Sebagai penulis kamu pun mampu berangkat haji dengan menulis. Makanya menabung, menabung, menabung!” jawabnya sungguh melukai.
Bagaimana bisa menabung kalau untuk kebutuhan sehari-hari, dana pengobatan rutin pun aku harus pontang-panting? Hanya mengandalkan honor tulisan, undangan-undangan seminar, talkshow atau workshop kepenulisan. Acapkali Butet dan Haekal mem-backup dengan menggabungkan honor cerpen, serial ABG juga sebagai pembicara di acara kepenulisan kalangan remaja.
Saat musim haji itu, terutama manakala tawaf dan sai berlangsung, aku sengaja duduk berjam-jam di depan televisi. Sejujurnya dalam sepuluh tahun terakhir, aku hampir tak pernah melewatkan setiap laporan tentang haji Indonesia khususnya, dan serba-serbi tentang haji dan dari seluruh penjuru dunia. Begitu menggelegak hasrat dalam dadaku, begitu ingin kusaksikan dan turut serta di dalam gelombang manusia yang mengelilingi Kabah.
Aku bergumam berkali-kali di dalam hati; “Di sana salah satu jamaah itu, ada suamiku, ada ayah anak-anakku. Betapa bahagianya dia, ya, niscaya betapa bahagianya….”
Bukankah suami-istri harus selau bersama dalam suka dan duka, dalam bahagia, dalam melakoni perjalanan spiritual yang luar biasa istimewanya itu? Demikian seketika aku bertanya dalam hatiku, seorang diri, di ruang tengah rumahku yang mepet sawah, mepet kuburan. Maka berderaianlah air bening dari sudut-sudut mataku, hingga akhirnya aku menangis dalam diam, dalam kesendirian dan kepedihan, nestapa yang tiada alang kepalang.
Haekal dan Butet terkejut dan buru-buru mendatangiku. Sementara Seli, menantuku, seperti biasa menahan diri, tak segera menyikapi situasi dan kondisi di dalam rumah tangga suamniya. Dia anak yang bijak dan terdidik dalam mengambil keputusan.
“Mama….kenapa nangis gak ngajak-ngajak kite seeeh?” canda Butet.
“Pssst…. Mama tuh lagi kangen Papa, tauuuk!” timpah Haekal.
“Ooo…. Mama kepingin bergabung keliling Kabah, ceritanya nih ye?” Butet kembali menggoda dengan suaranya renyah.
“Iiiih.. kalian ini… Iya, Mama kepingin ada di situ, Nak,“ kataku terbata-bata, semakin pedih rasanya hatiku , semakin sesenggukan pula tangisku. “Tadi Mama lihat ada sepasang suami-istri yang sudah tua, kakek-nenek…. Duuuh, rukun dan kompaknya mereka! Kenapa, kenapa Mama gak bisa di sana, ya Nak, kenapa!” lanjutku bagai anak kecil mengadu saja.
Butet seketika duduk di sebelahku, melingkarkan sebelah tangannya ke bahuku dan mereka berkata dengan gaya bijak, “Tenang aja, Mama, Cinta …. Mama juga akan naik haji dengan ONH Plus. Iya gak, Bang?”
“Iyalah! Siapa tahu ada orang yang mau kasih tiket ONH Plus buat Mama. Kan Mama selalu bilang, gak ada yang musykil bagi kita jika Allah sudah berkenan … Eh, gimana tuh kurang-lebihnya, Sel? Hehe….” Haekal ketawa sambil menarik lengan Seli, supaya turut duduk mengelilingiku.
“Jika Allah sudah berkenan…. Memang gak ada yang musykil,” tambah Seli sambil kutahu mencuri-curi pandang ke arahku, menatap dengan sorot mata iba dan simpatinya yang dalam.
Butet kulihat menahan kesedihan pula, tapi kutahu anak ini takkan sudi mengakui perasaannya itu. Dia mempererat rangkulannya di bahu-bahuku, memeluk dan menciumi pipiku sambil terus membujuk.
Duuh, lucunya nih anak!
Sepulang dari Mesir, aku menambah tabungan Haji yang kuawali dengan nominal lima ratus ribu dan membukukannya dengan malu-malu, di antara para penabung calon jemaah yang kutahu turun dari mobil pribadi. Totalnya 1300 USD. Itulah presentase hasil penjualan buku ditambah honor pemberian Pak Dubes Prof. Bachtiar Aly.
Semangat menabung dan ghirah untuk berangkat haji pun serasa semakin menggebu dalam dadaku. Acapkali selama bermalam-malam aku merangkai harapan dan mimpi itu, menjadi tamu Allah, berkeliling Kabah, tawaf, melakukan sai, mencium Hajar Aswad, melempar jumrah….
Penghujung 2005 tiba-tiba anakku, Haekal, jatuh sakit dan membutuhkan banyak dana untuk pengobatan. Sebagian besar tabungan yang sedianya untuk menutup 20 juta, supaya jamaah mendapatkan porsi, kualihkan untuk pengobatannya. Meskipun demikian aku masih punya keyakinan, bahwa Allah akan memberiku solusinya. Ya, kupegang teguh keyakinan itu!
Tahu-tahu bulan Mei tiba dan GM Gip yang akan berangkat Haji tahun itu bareng istrinya, memberi tahu aku, “Bagaimana Teh, sudah dapat seat? Sudah ada kepastian keberangkatannya?”
“Oooh… belum, Pak… Mm, memang harus dilunasi sekarang, ya?” aku menyahut gelagapan, seketika bagaikan tersentak dari buaian mimpi berjudul; Tukang Nulis Naik Haji.
“Oh, lha iya… harus segera dilunasi, Teh. Kalau ga dilunasi secepatnya, bisa waiting list, dua tahun lagi….”
Mulailah hatiku diterpa gundah-gulana. Kuhitung-hitung total tabunganku hanya 12,5 juta. Setidaknya harus ada 7,5 juta lagi, pikirku. Sempat kuajukan permintaan pinjaman ke GIP. Tapi sisa pinjaman sebelumnya, cicilan laptop dan pengobatan anakku , dianggap masih besar, dan tidak memenuhi syarat untuk ajukan pinjaman baru.
Sepulang dari kantor petang itu aku tidak sempat rehat lagi. Mulailah kebongkar isi dokumen di laptopku, mencari dan mengumpulkan seluruh tulisan yang bisa kusatukan menjadi buku. Kumpulan jurnal di multiply, yakni website gratisanku, telah banyak pembaca jurnalku yang mengusulkan agar diterbitkan sebagai buku. Ya, ini saja, mengapa tidak ditawarkan ke penerbit? Dalam sekejap diriku, perasaan dan pikiran, seluruh jiwa dan ragaku berjibaku dengan laptop cicilan yang sebentar lagi lunas.
“Ibu lagi apa, kok gak makan… gak istirahat dulu?” sapa Seli, mendatangiku ke kamar.
“Eee… nantilah, Neng. Ini mau lelang-lelangan naskah buat melunasi ONH. “ sahutku sambil tak putus-putusnya memandangi “kekayaah” yang masih kumiliki.
“Lelang naskah bagaimana, Bu?” tanyanya terheran-heran.
“Ya ini…naskah yang ada akan kutawarkan ke penerbit. Ikhtiar sajalah, Neng. Yah, kalau pun ini gak berhasil, mungkin Allah belum berkenan memanggilku sebagai tamu-Nya….”
Kulihat wanita muda yang lagi kepayahan mengidam itu terdiam, sorot matanya menatap iba, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun kembali ke kamarnya. Hampir bertepatan dengan keberhasilanku membukukan seluruh tulisan berupa kisah hikmah, tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulirik yang muncul nomernya Joko, seorang rekan jurnalis yang sudah tak asing lagi bagiku.
“Bu Pipiet… punya naskah untuk kami terbitkan?”
“Di mana… Khairul Bayyan, ya?”
“Iya. Bu … kalau bisa nonfiksi….”
“Insya Allah ada nih, baru saja kusunting ulang.” Sambutku hangat dengan debar-debar dalam dada, serasa ajaib.
Kok begitu kebetulan, ya? Ketika aku kocar-kacir mengumpulkan dana untuk mendapatkan seat, ndialah…. Kututurkan saja kepadanya tentang niatku berangkat haji, dan kesulitan dana untuk melunasi ONH.
“Kepinginnya sih, ini naskah sudah dibeli putus saja, 10 juta. Mau gak, ya?”
“Kalau begitu, insya Allah akan saya sampaikan dulu kepada Bos, ya Bu. nanti saya kabari lagi,” kata Joko menutup percakapan.
Malam hari, masih bersimpuh di atas hamparan sajadah, telah kuadukan semua keluh-kesah kepada Sang Khalik. Ya, biarlah Dia yang menentukan segalanya yang terbaik bagi diriku menurut-Nya. Lillahi Taala, aku berserah diri kepada-Mu, ya Robb… Ops!
Ada SMS yang masuk, kubaca dari Joko.
“Bos saya bilang, kalau Bu Pipiet niat berangkat haji tahun ini, ikut saja bersama rombongan jamaah Ar-Rayyan. Artinya, Ibu menulis beberapa buku untuk Khairul Bayaan yang juga milik Pak H. Edi, dirutnya Ar-Rayyan. Nanti Ibu akan mendapatkan ONH Khusus. Semacam win-win solution begitulah….”
Pasti mataku menjadi kacooow!
Gara-gara terobsesi kepingin naik haji nih, mulai koclak ‘kali otakku’ gerutunya tak percaya. Penerbit mana yang mau menghajikan penulisnya, meskipun dijanjikan beberapa buku… Lagian, memang siapa diriku ini? Kalau artis, elite politik, ya bisa dipahami. Tapi ini cuma tukang nulis geto loooh ….Ihiiik!
Ya, kumarahi habis-habisan mataku. Tapi, iiih, kok penasaran yah? Berkali-kali kubaca dan kucermati huruf demi huruf, kata demi kata di ponsel hadiah dari Butet itu… Isinya sama sekali tak pernah berubah. Aku bangkit dan tergopoh-gopoh ke kamar Haekal, nyaris tak sabar menggedor-gedor pintunya. Haekal, Seli dan Butet yang kebetulan berkumpul bermunculan, terheran-heran memandangi kelakuanku.
“Sel, Tet… Abaaang! Baca, ini baca yah…’kali mata Mama udah gak beres,” ceracauku sambil mengimingkan ponsel ke hadapan ketiganya.
Seli yang berhasil menguasai ponselku, kemudian suaminya, pemilik travel Cordova berkata kepadaku; “Insya Allah, Teteh, kita akan berangkat haji sama-sama tahun ini, ya…”
Subhanallah, tak putus-putusnya rasa bersyukurku kepada Sang Maha Pengasih. Aku sempat bingung menawari tiket ONH Khusus dari Ar-Rayyan kepada teman-temanku. Sebab besanku yang kutawari pertama kali dengan rendah hati menolak, sudah komitmen ingin berangkat haji bareng istrinya. Tiket itu akhirnya kukembalikan kepada Pak Haji Edi, ditukarkan dengan sejumlah uang yang bisa kumanfaatkan untuk dana pengobatan dan kuliah anakku.
Maka, apabila tulisan ini sampai ke tangan Anda, aku telah berangkat bersama rombongan Cordova. Sesungguhnya di samping rasa syukur dan kebahagiaan, ada terselip kepiluan di hatiku. Sebab ternyata yang memberangkatkanku ke Mekkah, sosok itu, yang tiada ingin disebut namanya, selain sebagai adikku tersayang… Baru diketahui mengidap penyakit parah.
Betapa aku ingin segera duduk bersimpuh di depan Multazam, dan mendoakannya dengan segenap azzamku: “Ya Allahu Robbi, kumohon sembuhkanlah penyakitnya. Dia yang telah begitu tulus mengumrahkan dan menghajikan diriku yang lemah ini, dan kutahu telah banyak membantu saudara-saudaraku… Kumohon, Ya Robb, angkatlah segala rasa sakit yang dideritanya. Kumohon, Yang Maha Kasih, jadikanlah segala rasa sakit itu sebagai rahmat dan berkah buat dirinya…..”
@@@
Posting Komentar