Syifa baru sampai di tempat parkir, tangannya seketika digandeng Dahlia.
“Dia anak ekonomi, Fa,” lapor Dahlia.
“Terus?” Syifa mesem. “Kalau cuma itu banyak yang sudah tahu, Non!”
“Belum lama pindahan dari Jakarta. Bapaknya konglomerat. Dia terobsesi mencelakai kamu!”
“Begitu?” Syifa masih juga tersenyum. “Apa coba alasannya?”
“Naaah… Kalo kamu sudah merendah, paling-palinglah!”
“Ini kenyataan lho, Lia. Apalah aku ini? Anak yang nggak punya bapak…”
“Dengar, El-Syifa Maryam,” Dahlia kesal. “Kamu kok suka merendah begitu. Sosok kamu itu jauh menonjol dibanding cewek-cewek sebayamu. Kamu cantik, enerjik, penuh welas asih. Ibumu Ustadzah terpandang, punya panti asuhan terkemuka di Sumedang. Banyak cowok terpikat akhlakmu yang terpuji. Kesalehanmu dan…”
“Masya Allah, Dahlia,” tukas Syifa dengan wajah merona. “Terima kasih banyak atas seabrek pujianmu. Tapi itu belum cukup mengundang benci dan dengki dari orang asing begitu…”
“Dia asing buatmu. Gimana kalo kamu sudah nggak asing lagi buatnya?”
Syifa tertegun. “Maksudmu, Sisca kenal aku sebelumnya?”
“Sisca kenal kamu sedetil-detilnya! Dia tahu kebiasaanmu pergi dan pulang kuliah, kapan kamu mengajar, di mana kamu tinggal…”
“Daya khayalmu macam detektif saja.”
“Bahkan Sisca tahu kalo si Fathur lagi naksir kamu…”
“Aaah, makin ngawur saja kamu ini!” Syifa berlalu dengan wajah merona.
“He, sebentar…!” Dahlia mengejarnya.
“Apalagi? Aku sudah telat nih. Ada BP buat anak kelas 3 IPA…”
“Ini demi keselamatanmu,” katanya serius. ”Waspadalah sama orang itu. Aku janji mau selidiki dia terus, okey? Kalau Dahlia sudah ucap janji, dia nggak bakalan jilat kembali!" Syifa tergugu melepas kepergiannya
“Ayo, anak-anaaaak! Giliran siapa basket hari iniii?” Dahlia berlari ke lapangan basket. Anak-anak sudah menanti di situ. Sementara Syifa membelok menuju ruangan BP. Tempatnya berkiprah sebagai koordinator BP di SMU swasta itu.
Ini pengalaman yang semakin njelimet.
Kawan-kawan dekatnya seperti kompak cemaskan keselamatan dirinya. Fathur menyarankan supaya menuntut Sisca. Melaporkannya ke rektor atau pihak berwajib. Mardo yang temperamental, minta izinnya buat melabrak Sisca and her gank. Usulnya cepat disambut hangat Tineke. Suebu Bowa yang biasanya hanya menjadi pendengar yang baik, siap sedia kapan saja dibutuhkan.
Kenapa aku masih juga bersikap tenang dan biasa-biasa saja?
Syifa tahu jawabannya. Ummi telah mendidik dan membesarkannya dengan napas dan cinta kasih Islam. Ummi selalu menanamkan kepadanya tentang kebajikan. Cinta dan kasih sayang antar umat. Cinta kepada Sang Khalik.
Lingkungan Islamis, ibu yang memiliki keluhuran budi, seorang wanita tabah berhati lembut tetapi berjiwa tegar; di situlah ia dibesarkan. Suasana yang melahirkan kedamaian untuk perkembangan kepribadiannya.
Tiba-tiba Syifa merasa rindu kepada ibunya. Sudah hampir dua bulan mereka tak bertemu. Bagaimana keadaan Az-Zahra sekarang? Apa kabar Niknok gembrot yang keranjingan dongeng sebelum bobo? Ina mungil yang suka menyambutnya dengan celoteh riang gembira? Tuning yang sudah pandai bikin tumpeng dan nasi kuning…
Mereka tak pernah mengenal wajah orang tua. Ada yang dibuang, ditemukan Ummi di pinggir jalan atau bak sampah. Ada yang sengaja diletakkan di depan pintu gerbang, atau anak korban kerusuhan rasial.
“Mereka juga anak-anak Ummi. Anak-anak kalbu Ummi…”
“Kok disebut anak kalbu, Mi?”
“Ya, seperti kamu, buah hati dan anak kalbu Ummi,” ibunya tersenyum.
Untuk sementara ia terpaksa mesti meredam rindunya itu dalam hatinya. Baru akhir pekan nanti ia bisa menengok Ummi.
Pada hari Syifa nyaris kehilangan nyawa, ia malah memetik hikmah dari peristiwa yang dialaminya. Kepala Sekolah mengizinkannya pulang lebih awal. Gadis itu memanfaatkannya untuk membantu Fitria. Ia telah sebulan minggat dari rumah, sembunyi di rumah sahabatnya, Anti.
“Besok Ibu dan Bapak pulang dari Solo. Anti bingung mesti ngumpetin Fitria ke mana, ya…?” katanya lugu.
“Fit sudah bikin Mama sakit. Fit menyesal. Fit mau pulang, tapi takut sama Papa. Galak siiih…” Fitria didapatinya menangis.
Syifa geleng-geleng kepala. Geli sekali melihat gadis 17-an bertingkah macam bocah. Inilah agaknya produk keluarga sibuk. Kelebihan materi dibuat andalan utama menutup semua persoalan. Seolah segalanya akan tuntas jika sudah diberi kecukupan duniawi.
Padahal, ada hal-hal yang tak mungkin tergantikan oleh materi. Anak tak hanya membutuhkan pemanjaan belaka. Ia lebih butuh perhatian, kasih sayang dan pendekatan orang tuanya.
“Mau Ibu antar pulang, ya?” bujuk Syifa.
“Hmm… iya, Bu, mau pulang,” sahutnya malu-malu.
Ternyata mereka menyambutnya dengan suka cita. Bu Fitria mendadak sembuh. Memeluk putri tercinta dengan linangan air mata. Ayahnya tak sedikit pun mengungkit atau menyesali tindakan Fitria. Agaknya hanya salah paham dan mereka butuh jembatan.
“Terima kasih, ya Bu Syifa, terima kasih banyak…” ucap sang ayah tulus.
“Jangan bosan sering mampir ke rumah kami,” pesan sang ibu.
“Ya, ya, Bu, insya Allah…” Syifa tersenyum lega.
“Doakan kami, ya Bu Syifa. Biar sejak sekarang kami saling mengasihi, saling mengerti dan saling mengisi,” pinta tuan rumah.
Alhamdulillah, gumam Syifa membatin.
Tak ada kuliah petang itu. Jadi Syifa bisa kembali ke paviliunnya, tanpa harus ketemu Danang dan kawan-kawan. Ketemu mereka selalu menggiringnya ke dalam diskusi-diskusi seru.
Dan kali ini ia merasa tak mood untuk berlarat-larat diskusi. Ia bermaksud menengok ibunya ke Sumedang besok pagi. Entah mengapa, wajah ibunya seakan-akan melembayang terus di pelupuk matanya.
Ah, Ummi, tunggulah nanda…
***
Kehidupan di dunia tak ubahnya laksana sebuah piala, adakalanya digenangi air suka cita semanis madu. Adakalanya pula digenangi air duka cita sepahit empedu. Begitu pula yang terjadi pada Syifa. Kadang ia sendiri hampir tak mempercayai kenyataan di depannya ini.
Pagi itu ketika ia sudah siap menuju Sumedang, datang telepon dari Teteh Hayati. Salah seorang staf ibunya di panti asuhan Az-Zahra
“Cepatlah pulang, Dik Syifa… Ummi sakit!”
Sesampai di tujuan, ia langsung digiring menuju RSU Sumedang.
“Ummi, Ummi… bagaimana ini bisa terjadi?” Ia mendapati ibunya di ruang ICU dalam keadaan amat parah. Dokter bilang, Ummi Maryam sudah in-coma.
“Tadi subuh kami ke Masjid Agung. Ada dai kondang dari Bandung, Ummi ingin kami dengar ceramahnya. Pulangnya seperti biasa kami jalan kaki. Waktu mau nyeberang di alun-alun, Ummi lihat Niknok sudah duluan,” tutur Tuning.
“Kami lihat ada mobil yang ngebut. Niknok nyaris ketabrak!” ujar Euis.
“Ya, Ummi melesat dan menyelamatkannya!” tambah Imas.
“Tapi, Ummi sendiri yang ketabrak mobil itu!” Neneng menyambung.
“Sopirnya cewek…” cetus Niknok, diiyakan oleh Neneng dan Euis.
Syifa mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mereka menanti di ruang tunggu itu dengan gelisah dalam hening yang mencekam.
Di luar gerimis masih juga renyai membasahi bumi. Siang berganti petang. Dan petang menurunkan tirai malam. Maka malam pun menutup sejarah kehidupan sepanjang hari itu dengan segala misterinya.
Hingga menghembuskan napasnya yang terakhir, Ummi anak-anak kalbu itu tak pernah sadarkan diri kembali. Innalillahi wa inna illaihi rojiuun…
Iringan para pelayat laksana lingkaran ular yang tak henti-hentinya bergerak. Mereka bukan saja dari dalam kota, melainkan dari luar kota dan pelosok-pelosok desa.
Hajjah Maryam memang dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena keluhuran budi dan kerendahan hatinya. Ia senantiasa memperjuangkan hak-hak anak telantar. Dan memberi pengayoman serta cinta kasih yang tulus kepada mereka.
Rekan-rekan dekat Syifa pun tampak hadir dalam prosesi pemakaman ibunya. Ummi berangkat mendahuluinya dari persinggahan sementara menuju keabadian. Ia harus terima kenyataan ini sebagai takdir-Nya.
Syifa masih ingat Ummi pernah menyitir sebuah Hadis.
“Apalah artinya kesenangan hidup di dunia ini bagiku. Perumpamaan hidup di dunia bagiku tak ubahnya laksana seorang musafir dalam perjalanan jauh, singgah berteduh di bawah pohon kayu yang rindang untuk melepaskan lelah. Kemudian dia harus berangkat meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan yang amat jauh tak berujung.”
Seminggu, dua, tiga minggu masa perkabungan. Pernyataan simpati memang masih mengalir ke panti asuhan Az-Zahra. Baik berupa dorongan moral maupun diwujudkan dalam bentuk bingkisan-bingkisan, karangan-karangan bunga.
Pemasukan yang berlimpah acapkali dapat melupakan kesedihan anak-anak, terutama mereka yang masih di bawah umur. Sementara anak-anak yang lebih besar, biasanya hanya memandangi adik-adik, atau sesekali mencegah agar mereka tidak berebutan dan ribut.
Syifa melihat semuanya itu dengan hati teriris-iris. Ia menyadari bahwa perkabungan harus segera diakhiri. Seperti juga semakin menyusutnya pernyataan bela sungkawa yang mereka terima. Peristiwa kematian seorang anak manusia dianggap wajar. Boleh dikenang tetapi tak usah sampai larut dalam perkabungan abadi.
Malam ke-40 kepergian Ummi Maryam.
Tahlilan baru saja selesai. Anak-anak dihibur para pembimbing, dan masuk ke biliknya masing-masing. Ketika inilah Syifa menyadari sepenuhnya akan arti kehilangan seorang ibu.
Tak tahan menanggung kepiluannya, tapi ia berusaha sedemikian rupa agar air matanya tak tertumpah. Bila ia menangis itu berarti menyalahi janjinya kepada Ummi.
“Kalau Ummi pergi lebih dulu, Ummi tak ingin melihatmu menangis. Kamu harus tabah dan tawakal. Bila kamu mengeluarkan air mata, berarti kamu tak ikhlas melepas kepergian Ummi. Seseorang yang dilepas dengan hati berat dan tak ikhlas, konon akan menempuh perjalanan sulit daripada yang dilepas dengan ikhlas dan istiqomah. Nah, janji ya, Cinta?”
“Iyalah… Fa janji nggak akan nangis, insya Allah!”
Tentu saja ketika itu ia hanya asal mengucap, mengira Ummi cuma bergurau. Ah, ini bukan sekadar gurauan, bantahnya kini. Apa mungkin Ummi sudah punya firasat? Ummi akan pergi secepat ini, begitu?
Sejak disadari ibunya telah tiada, Syifa menekan desakan air mata yang bagai bah mau menjebol benteng pertahanannya. Ah, Allah…
Ia bangkit meninggalkan ruang tengah yang telah senyap. Memasuki kamar ibunya. Ternyata di sini pun ia harus lebih berat lagi berjuang. Benda-benda itu mengenangkannya kepada mendiang ibunya.
Sebuah kitab suci Al-Quran yang belum lama dibelikannya sebagai hadiah ulang tahun Ummi ke-45. Seuntai tasbih, satu-satunya buah tangan Ummi dari tanah suci Mekkah yang masih tinggal. Seperangkat mukena dan sebuah lukisan Ummi di dinding.
Wanita Sunda itu tersenyum lembut. Sepasang matanya yang gemerlap menatap penuh kasih ke arahnya. Bola matanya berkilau laksana butir-butir mutiara, menyemburatkan cahaya ke sekitarnya. Duh, Ummi, jeritnya dalam hati.
Syifa pun bergegas meninggalkan tempat itu. Ia memasuki kamarnya, menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Akhirnya karena lelah ia pun tertidur.
***
Rasanya ia berada di suatu padang ilalang. Ada banyak tumbuhan yang tak dikenal. Ada hamparan rumput bak beludru. Ada jalan setapak menuju suatu tempat. Kemudian kumparan kabur yang melingkar-lingkar dari arah depan dan belakang.
Tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari kejauhan. Seperti tangis sekumpulan anak-anak?
Ia beranjak dan mencari-cari suara yang tiap saat terdengar kian memilukan. Ia berjalan, berjalan terus, hingga tibalah pada tubir sebuah ngarai. Ternyata suara itu memang muncul dari bawah sana. Ia melongok ke bawah kakinya. Anak-anak, ya, anak-anak yang tak asing lagi baginya. Ada Niknok, Tuning, Ina, Cecep. Sarjang…
“Oh, anak-anak kalbuku…!” jeritnya terpana.
Mereka melambai-lambai ke arahnya. Minta dirinya mengangkat mereka dari dasar jurang. Lalu entah dari mana datangnya, ada sebuah tangga. Maka, ia menurunkan tangga itu. Dan ia merasa yakin mereka akan berhasil ditolongnya satu per satu.
Sekonyong-konyong muncul bayangan hitam menghalangi geraknya. Bayangan itu berhasil merenggut tangga dari tangannya. Dan tiba-tiba ia menampilkan sosoknya dengan jelas. Aaaah… Sisca!
Sejurus kemudian wajah cantik itu berubah menyeramkan. Seperti sosok kelongwewe dengan rambut meriap-riap, gigi bercaling dan biji-biji mata yang melotot nyalang ke arahnya. Kuku-kuku yang panjang dan runcing, perlahan-lahan bergerak seperti mengancam lehernya.
Ya, makhluk mengerikan itu hendak mencekiknya!
Sekelebatan ia pun seperti melihat sosok Fathur di belakang kelongwewe itu. Ia memekik dan minta tolong kepadanya. Aneh, Fathur bersikap dingin bahkan lantas berlalu dari tempat itu…
***
Syifa terbangun dengan tubuh basah kuyup.
“Astagfirullahal adziim,” desinya sambil mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam. Syukurlah hanya mimpi. Dan dia sibak selimutnya.
Mimpi itu agak mempengaruhi pikirannya. Untuk beberapa jenak ia termenung di sisi tempat tidur. Tiba-tiba ia merasa bahwa ada sesuatu yang hendak diisyaratkan mimpinya. Sisca, siapa dia sebenarnya? Sampai detik ini ia belum juga tahu lebih jauh gadis itu. Dan Fathur, apa kabar pemuda itu? Terakhir mereka bertemu pada upacara pemakaman ibunya.
“Afwan, aku mohon pengertianmu, Dik. Nggak bisa lama-lama. Ada urusan keluarga menungguku di Jakarta,” katanya dengan wajah mendung.
Ia melirik jam dinding, pukul tiga dinihari. Tanggung sekali bila mau melanjutkan tidur. Suasana hatinya tak memungkinkan tidur dengan tenang.
Gadis itu bangkit dan pergi ke belakang. Setelah mengambil wudhu, ia mendirikan shalat tahajud dilanjutkan tilawah Al-Quran. Sambil menanti tibanya shalat subuh, ia mencoba menafakuri diri.
“Ya Allahu Robb, betapa tiada daya upayanya hamba yang daif ini selain Cinta-Mu. Ya Allah Yang Maha Pengasih, mohon tunjukkanlah jalan lurus bagi hamba. Betapa ingin hamba melanjutkan jihad Ummi untuk mengayomi anak-anak kalbu kami itu…”
Ada setitik kristal jatuh dari sudut matanya. Diikuti titik-titik kristal lainnya. Akhirnya ia tergukguk, menumpahkan segala dukalaranya ke hadirat Sang Khalik.
Kesulitan-kesulitan mulai bermunculan.
“Wardah sejak kemarin nggak pulang, Dik Syifa…” lapor Hayati.
“Dua ratus juta lenyap dalam sekejap!” tambah Ceu Holis.
“Bagaimana, saya belum paham…?” ujar Syifa.
“Ummi sangat baik kepadanya, terlalu percaya!” jelas Hayati. “Sebelum musibah itu datang, Ummi serahkan semua urusan keuangan kepadanya…”
“Termasuk mencairkan cek, dana… semuanya saja dipegang dia!”
“Dia itu sudah sering kupergoki kencan dengan si Daniel, preman terminal!”
“Mereka sekongkol, mungkin sudah lama rencanakan ini semua!”
“Sekarang mereka pasti sudah jauh!”
“Kita harus cepat laporkan ke polisi!”
Persoalannya tentu saja segera ditangani oleh pihak berwajib. Namun, itu memerlukan waktu dan proses yang panjang. Sementara kebutuhan sehari-hari tak kenal kompromi. Ada lima puluh mulut dan perut yang menantinya. Menggantungkan harapan dan impiannya kepada seorang Syifa.
***
Siang itu Syifa memimpin rapat dengan para stafnya. Ini untuk pertama kalinya sejak kepergian Ummi Maryam. Sekilas ia mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Wajah-wajah itu sangat mengharapkan banyak hal dari dirinya. Ya, mereka begitu mempercayai dan menggantungkan harapan kepadanya.
Ada sepuluh orang staf, tapi hanya lima orang yang menetap di Az-Zahra. Hayati, Azimah, Sulis, Yus dan Fuad, usia mereka antara 21-30 tahun. Lima lagi sudah berkeluarga yaitu; Holis, Fathia, Arief, Aqil dan Memed.
“Saya dengan segala hormat dan kerendahan hati, mohon kepada Teteh, Ceuceu, Aa, Akang di ruangan ini,” kata Syifa terdengar bergetar. “Untuk ikut membantu saya dalam melanjutkan jihad Ummi kita tercinta…”
Sebersit air bening meloncat dari sudut matanya. Cepat-cepat ia mengaisnya. Meskipun sesak itu mulai menyusupi rongga dadanya lagi. Sesak yang tak pernah sirna. Sebab kepergian Ummi yang tragis sering menimbulkan sejuta luka yang menikam kalbunya.
Sakit, pedih sekaligus amarah. Semuanya baur menjadi satu; menyesakkan!
“Insya Allah, Dik Syifa, tenanglah,” kata Holis yang duduk di sampingnya. Diusap-usapnya punggung gadis itu. “Kami akan berbuat maksimal untuk meringankan bebanmu. Iya kan, rekan-rekan semua?”
“Insya Alaaah!” sambut mereka kompak.
“Baiklah,” kata Syifa berusaha tegar. “Sekarang, mari kita inventarisasi seluruh aset milik Az-Zahra…”
Tanpa harus menunggu lama, karena mereka sudah menyiapkannya, Hayati menyodorkan dokumen-dokumen yang dibutuhkannya.
“Az-Zahra ini berupa Yayasan sosial. Dana yang kita miliki selama ini sebagian besar milik Ummi Maryam. Beliau menanamkan sebagian asetnya untuk hal-hal bersifat sosial lainnya. Seperti sawah-sawah, kebun-kebun dan ternak yang dititipkan kepada para petani di berbagai pelosok desa sekitar Sumedang...”
“Sejak krismon melanda negeri kita, Ummi juga mengalami banyak sekali kerugian. Banyak petani, peternak yang tidak bisa mengembalikan pinjaman. Sampai akhirnya Ummi memutuskan untuk menghibahkan utang mereka…”
“Perkembangan berikutnya, setelah berdiri hampir lima belas tahun,” tambah Aqil. “Kita juga menerima sumbangan dari berbagai kalangan. Kita punya daftar donatur tetap, baik di dalam kota maupun di luar kota. Bahkan ada beberapa sahabat Ummi dari negara-negara Arab. Mereka sering mentransfer zakat untuk Yayasan…”
“Baik, sementara cukupkan dulu,” tukas Syifa. “Sekarang bagaimana caranya mendapatkan uang cash untuk menutup kebutuhan sehari-hari? Terus terang, saya tak pernah punya simpanan di Bank selain untuk sekolah… Oh, ada juga perhiasan peninggalan Ummi!”
Syifa cepat mengeluarkan kotak perhiasannya dan meletakkannya di atas meja. Seluruh mata segera berair melihat ketulusan dara belia itu.
“Ini, Teh Yati, tolong cepat dijual…”
Rapat kali itu ditutup setelah berbagi tugas. Ketika semuanya telah keluar ruangan, Hayati menghampiri Syifa.
“Masa perkuliahan akan dimulai minggu depan…”
“Oh, itu!” Syifa seolah baru teringat kembali.
Hayati menatapnya dalam-dalam. “Jangan sampai tinggal kuliah, Dik Syifa. Ummi sangat mengharapkanmu jadi sarjana pendidikan…”
“Insya Allah, harapan Teteh dan Ummi bisa terwujud,” tukas Syifa. “Hanya untuk sementara, aku harus fokus dulu ke Az-Zahra. Lagipula, tinggal menyusun skripsinya saja kok…”
“Maksudmu?” Hayati belum mengerti.
Syifa tersenyum dan bangkit. “Aku akan cuti dulu. Kita harus berjihad di sabilillah melalui anak-anak kalbu yang diamanahkan Ummi ini. Ya Kan, Teteh sayang?” Hayati terdiam sambil menarik napasnya dengan berat.
Sejak itu, Syifa bersama stafnya berusaha keras untuk menegakkan kembali usaha sosial mereka dengan keuangan memprihatinkan. Ada banyak anggaran yang terpaksa dipertimbangkan kembali. Beberapa sektor pengeluaran diperketat, dihentikan untuk sementara sampai keadaan keuangan membaik.
Diam-diam Syifa sering menitikkan air mata. Jika menyaksikan anak-anak itu makan dengan ransum yang amat sederhana. Lauknya hanya sepotong tempe, tahu dan ikan asin, sayur bening. Tak ada lagi susu dan makanan tambahan bergizi. Ini tak pernah terjadi kala Ummi masih hidup!
Posting Komentar