Ada Apa Dengan Mama?
Tidak berapa lama sejak kepergian kepala keluarga.
Laras segera melihat banyak perubahan di rumahnya.
Tiba-tiba Mama menjual televisi, mesin cuci dan kulkas.
“Mengapa harus dijual, Ma? Bukankah Mama mendapatkannya dengan susah-payah dulu?” tanya Laras terheran-heran.
“Kita harus berhemat. Terutama listrik. Karena kita harus berbagi dengan Bu Dijah yang mengontrak di sebelah.”
Ya, benar sekali!
Mama telah membagi dua rumah ini. Kemudian mengontrakkan bagian kanan rumah mereka kepada Bu Dijah.
“Lagipula, Mama butuh uang buat beli motor.”
“Motor? Ya ampun, Ma, buat apa motor?”
Mama tidak bersedia menjelaskannya.
Laras jadi bertanya-tanya sendiri. Ada apa dengan Mama?
Dari hasil penjualan barang-barang, ditambah tiga bulan pertama uang kontrakan. Mama pun membeli sebuah motor.
Sebelumnya Papa pernah memiliki sebuah motor cicilan. Tapi, motor itu telah dijual untuk biaya sehari-hari. Rupanya kini Mama tak mau punya motor dengan mencicil lagi. Harus dibeli tunai supaya tidak membebani.
Hari itu, Laras baru saja menunaikan sholat subuh.
Mama menghampirinya dan tampak sudah siap.
“Mama pergi dulu, ya Nak,” bisik Mama di telinganya dan mencium pipi-pipinya sekilas.
“Eh, pagi amat? Mama mau ke mana?”
“Kuli….aaaargh!”
Mama tertawa riang, memperlihatkan dua dekik manis di pipi-pipinya.
Konon, kata orang wajah Mama mirip sekali dengan Laras.
“Mama ini ada-ada saja!” Laras ikut terbawa riang.
Meskipun hatinya bertanya-tanya.
“Kuli…, ah di mana, Mama sayang?”
“Tidak jauh, tenang saja,” tukas Mama, tampak tergesa-gesa sekali.
Mama keluar kamar. Laras mengintilnya di belakang.
“Doakan Mama, ya Nak!”
“Oya, tentu saja kudoakan selalu, Mama sayang….”
“Sarapannya sudah Mama siapkan di meja. Begitu juga ongkosmu ada di meja.”
“Wah, terima kasih Mama tersayang….”
“Mmuaah, Mama sayang sekali kepadamu!”
Mama mengecup ubun-ubunnya dengan penuh kasih.
Laras mencium tangan ibunya dengan takzim.
“Duh, Mama kenapa misterius sekali?” protes Laras jadi penasaran.
Mama tidak menyahut. Sosoknya yang langsing dibalut celana jins dan kaus lengan panjang. Jaket kulit dan helem menyembunyikan keberadaannya. Sekilas orang tidak akan mengenalinya.
Laras masih tertegun-tegun di teras. Hingga bayangan ibunya dengan motor barunya itu lenyap dari pandangannya.
“Semoga Mama tidak berbuat macam-macam di luar sana,” gumamnya seorang diri.
Seketika ia teringat dengan cerita sinetron di televisi. Tentang seorang ibu yang suka keluyuran, judi dan selingkuh.
“Aduuuh, kacau tuh sinetron! Jadi merusak otakku, ya!” Laras mendumal dalam hati.
“Lagipula, mana mungkin Mama melakukan perbuatan nista begitu.”
Bu Dijah yang baru menjemur pakaian memerhatikannya.
“Laras, belum sekolah? Sudah hampir pukul enam nih!”
“Eh, iya Bu…. Sebentar aku mau ambil tas dulu.”
Laras bergegas mengambil tas sekolahnya. Saat usai mengunci pintu, ia pun baru menyadari. Mama tak sempat memberi pesan tentang kunci.
Biasanya Mamalah yang selalu berada di rumah. Laras tak pernah dipusingkan soal beginian.
“Iya, ini kunci mau diapakan? Bagaimana kalau Mama pulang saat aku sekolah?” pikirnya kebingungan.
“Ada apa, Laras?” Bu Dijah ternyata masih memerhatikannya di teras.
“Ini loh, Bu Dijah…. Mama sampai lupa soal kunci.”
“Ya sudah, kalau tidak keberatan boleh dititip sama Ibu.”
Laras memandangi wajah perempuan sebaya ibunya itu. Terkesan baik, bisa dipercaya. Bu Dijah belum lama ditinggal suaminya karena sakit.
Laras menyerahkan anak kunci itu kepada Bu Dijah.
“Terima kasih, ya Bu Dijah. Aku pamit dulu, assalamualaikum….”
“Wa alaikumussalam…. Selamat belajar, ya Nak.”
***
Sepanjang siang itu, pikiran Laras jadi terpecah.
Ada apa dengan Mama?
Ke mana sebenarnya Mama pergi?
Apa yang Mama lakukan sekarang?
Apa Mama ngebut di jalanan?
Aduuuh!
Tiba-tiba gurunya, Bu Tantri, berkata lantang: “Laras, coba kerjakan soal matematika ini!”
Tentu saja Laras tersentak kaget sekali.
Pulpen yang sedang digigit-gigit ujungnya mendadak terjatuh.
Pluuukk!
“Apppaaa…. Bu?” tanyanya tergagap. “Pulpennya jatuh, maaf, ya….”
“Kerjakan soal di papan tulis ini!” ulang Bu Tantri.
Laras bangkit, kemudian berjalan ke depan dengan enggan.
Melihat kelakuannya yang rikuh dan gugup, anak-anak keheranan.
Apalagi ketika Laras tidak mampu mengerjakan soal matematika itu. Selama ini, Laras dikenal sebagai anak terpandai di kelasnya.
Bu Tantri pun terheran-heran.
“Soal ini sudah kita ulang-ulang sejak minggu yang lalu….”
“Maaf, Bu…. Aku tidak bisa….” Laras semakin tergagap.
“Itu tidak mungkin! Minggu yang lalu kamulah satu-satunya murid di kelas ini yang bisa menyelesaikan soal serupa. Ada apa dengan dirimu, Laras?”
Laras menunduk. Ia tak mungkin menjawab tentang keresahan hatinya.
“Ya, sudah, kembali ke bangkumu,” perintah Bu Tantri terdengar kecewa.
Semua anak sudah tahu, lomba matematika sebentar lagi. Tahun yang lalu, Laras mewakili sekolahnya.
Namun, kalau begini kondisinya, bagaimana bisa ikut lomba matematika?
“Kamu lagi banyak pikiran, ya?” usik Titin, sahabatnya, saat mereka istirahat.
“Hmm….” Laras menundukkan kepalanya, keluar dengan lesu dari kelas.
“Bagaimana tidak banyak pikiran. Dia kan lagi ditinggal bapaknya pergi jauh,” seorang anak laki-laki, menimpali.
Laras mencari suara lantang itu. Ternyata Bambang, ketua kelas mereka.
“Baru juga seminggu, ya kan? Papaku sudah sembilan bulan tugas di Afghanistan,” berkata Agus sambil menyusul Bambang.
“Iya juga, ya….” Bambang menepuk-nepuk bahu Agus.
“Lihatlah! Aku dan adikku si Dedet baik-baik saja.”
“Hebat kamu, ah!” puji Bambang.
Laras tahu itu. Ayah Agus seorang tentara yang ditugaskan menjadi pasukan perdamaian di Afghanistan.
“Iya, tapi kamu kan orang kaya, Gus. Mana paham urusan orang miskin!” sergah Laras mendadak sebal.
Agus melengak. “Mengapa bawa-bawa miskin dan kaya segala, Ras?”
“Iya, memang apa bedanya?” Bambang menatap Laras.
“Masa iya kamu tak paham?” tentang Laras.
“Kan sama saja, Ras. Maksudku, kalian sama-sama ditinggal bapak.”
“Tentu saja ada bedanya!” bantah Laras dengan suara mulai meninggi.
“Iya…. Apa bedanya?” tanya Bambang dan Agus serempak.
“Dengar, ya! Mamamu itu tak perlu susah-payah cari nafkah. Sedangkan mamaku harus ikut berjuang cari duit. Paham?”
Laras membalikkan tubuhnya. Kemudian ia berlalu sambil mendumal tak jelas. Anak-anak tercengang dibuatnya.
Agus menepuk-nepuk jidatnya.
“Apa mungkin anak itu mendadak stres, ya Bang?”
“Iya ‘kali! Gara-gara ditinggal bapaknya, ya?” Titin sambil menatap punggung Laras. Jelas, ia prihatin juga melihatnya.
“Boleh jadi begitu,” sahut Bambang.
Dari kejauhan mereka melihat Laras duduk di bangku taman.
Ia melamun seorang diri.
***
Posting Komentar