Depok, Sabtu, 28 Mei 2011
Baru di Margonda Sudah Kena Tilang
Kali ini diantar ke Bandara Cengkareng oleh putraku, Haekal yang sempat berkata:”Masa sih terbang jam lima sore, maunya pergi sekarang? Baru jam dua belasan nih, Ma. Habis dong Sabtu…” Kutemukan dia sedang ngopi sambil game di rumahnya di Citayam.
“Pengalaman, Bang, jangan pernah mepet-mepet. Sabtu begini biasanya lalin parah. Dari Depok bisa lebih tiga jam,” kudengar adiknya membujuk, memberi pengertian dan entah apalagi yang dilakukannya.
Aku cameot saja alias duduk manis, terdiam tanpa berkata sepatah katapun. Kupeluk dan cium Ze yang kemarin mengalami insiden di mobil; bibirnya terjedot karena direm mendadak.
“Mau dibawakan oleh-oleh apa, Nak?” tanyaku sambil kucermati bibirnya, masih luka alias agak dower.
“Mobilan robot, ya Manini. Tapi jangan yang kayak gini. Kalo yang begini kan sudah punya,” sahutnya sambil menunjukkan mobilan mini yang sejak tadi dipeganginya.
“Mobilan robot besar, ya?”
“Iya, mobilan yang ada robotnya, bisa dimainin terbang-terbang…”
“Iya, iya, nanti dicarikan di Singapore.”
“Manini naik pesawat lagi, ya?”
“Iya, naik pesawat geuedeee! Ze mau ikut gak?”
“Gak sekarang, Manini. Nanti aja kalo Ze sudah sekolah, sudah segede Ayah. Pergi ke kantor dulu, banyak uangnya,” ceracaunya sambil mempermainkan mobilan kecil di tangannya.
Beberapa saat kami berdua masih bermain dan berbincang ringan-lucu-menggemaskan di kamarnya. Sapai kudengar suara anakku yang mengisyaratkan segera cabut dari rumah.
“Baiklah, Ze, sekarang Manini mau pergi dulu, ya. Peluk dulu, sini!”
Dia mematuhiku, meninggalkan mobilan kecilnya dan minta dipeluk. Aku memeluknya erat-erat, dia pun terasa memelukku erat sekali. Waktu akan mencium tanganku, dia masih bilang;”Jangan cium tangan dulu, ya Manini, kena bibirnya nih. Sakit.”
Hmm, kasihan juga dia meringis, kembali kupeluk erat. “Iya deh, sabar ya Nak. Nanti juga sembuh…, mhuuuuaaa!”
Zia datang sambil menangis dan teriak-tertiak minta ikut:”Ikut Ayaaaah! Ikut Ayaaah!” Aku mencoba mendiamkannya dan memberinya pengertian.
“Bunda gak ikut, mau kondangan. Zia di sini saja sama Bunda dan Aa Zein.”
Haekal yang membawa mobil. Kami pergi bersama Butet yang minta diturunkan di gang menuju kampusnya. Tak lama Butet turun, tiba-tiba di depan rumah makan Mang Kabayan, ada seorang petugas meniup peluitnya keraaaaaas sekali.
Waduuuh, baru sampai sini sudah kena tilang!
Berikut kucatat dialog antara Haekal dengan polisi.
“Ini melanggar pasal, pasal…. Intinya, karena Anda sudah mengambil jalur kanan yang untuk balik arah. Kemudian tiba-tiba ambil jalur kiri.”
“Biasanya juga kan sebelah situ ditutup, Pak, masa orang yang gak mau balik arah harus dipaksa?”
“Ini mau dibantu apa lanjut ke Pengadilan?”
“Saya gak bawa cash, Pak. Apa ada yang transferannya?”
“Sekarang sudah gak ada lagi. Tapi ada yang setor ke Bank, 500 ribu, mau?”
“Oppps! Ya, sudahlah, Pak. Lanjutkan saja ke Pengadilan!”
Kami melanjutkan perjalanan sambil berusaha tenang dan fokus. Musik lembut mengalun, tetapi kemacetan semakin lama semakin parah. Terutama di kawasan Lenteng Agung, berlanjut ke kawasan Mampang Prapatan. Bahkan di kawasan Tol pun masih juga macet. Serasa di mana-mana macet, sumpe deh!
Alhasil, benar saja perhitunganku dan Butet dibutuhkan 3 jam 20 menit dari Depok menuju Bandara Cengkareng!
@@@
Bandara Changi: Berselisih Jalan
Akhirnya pesawatku datang jua setelah delay 20 menit dan menunggu selama dua jam. Penantian di Bandara biasanya kumanfaatkan untuk menulis dan ngeblog. Tapi ternyata Wifi di ruang tunggu kali ini error, kadang bisa dan lebih banyak superleletnya. Ini Bandara Internasional dan di Metropolitan, masa kalah oleh Bali, Batam, Medan, ya?
Selama perjalanan, di dalam pesawat Air Asia, seperti biasa diwarnai dengan kesibukan para pramugari jualan makanan dan minuman. Kali ini terpaksa aku harus beli teh manis dan nasi lemak ayam, mengingat seharian itu hanya sarapan alakadarnya, meskipun di rumah masih kuluangkan waktu menyiapkan makanan untuk Butet.
Teman dudukku sebaya anakku, tidak bisa dijadikan narasumber (Hihi!) kerjanya game terus dengan Ipodtouch-nya. Ya wis, kulanjutkan saja serial Balita Muslim untuk anak kecil sebaya Zia, cucuku. Sudah lima seri, agak lelet juga nih, jadi merasa tak enak. Tapi, ya, dilanjutkan, Gan! (Sabar ya Pak Remon!)
Pendek cerita sampailah daku di Bandara Changi. Sesungguhnya aku lumayan sering berkunjung ke Singapore.Tetapi, kebanyakan melalui Batam dan Pakanbaru, dengan ferry, lebih mengasyikkan. Ah, sayang sekali, adikku Nurul F Huda telah mendahuluiku.
Ada Karmela, khawatir sedang mengisi liburannya dengan anak-anak ke China. Kali ini aku langsung dari Jakarta.
Seorang nenek lebih tua dariku, tiba-tiba menggamitku dan menaruh tas gendong bawaannya di troli yang kudorong. Numpang, ya, katanya sambil melenggang tanpa beban di sebelahku.
Selang hitungan menit dia mengeluh, “Kepingin pipis nih, di mana ya?”
“Oh, ya, mari kita cari saja yang ada gambar toiletnya,” sahutku ringan. Kami pun meluncur dengan eskalator, mengikuti para penumpang yang baru turun dari pesawat Air Asia.
Perempuan lansia yang ternyata fasih bicara Mandarin itu, kemudian minta tolong agar aku menjaga tasnya, sementara dia ngeloyor ke toilet. Nah, di sini, depan toilet Bandara, aku mulai kehilangan orang-orang yang kukenal di pesawat. Lama kutunggu dengan perasaan mulai tak nyaman, akhirnya muncul jua itu Encim.
“Saya harus tukar uang, di mana, ya?” cetusnya pula.
“Ya, cari saja, nanti juga ada tulisan; money changer,” kataku sambil mataku celingukan mencari boarding. “Saya ambil barang dulu, ya. Permisi!”
Beruntung tidak pakai acara lama, koper pinjaman dari sutradara Dedi Setiadi yang berisi buku sebanyak 60 eksemplar itu langsung tampak. Dengan sekuat tenaga aku meraihnya, kemudian menaruhnya di troli. Hkkkk, ngheeeekkk!
Dedi Setiadi bilang, “Itu koper pembawa rezeki, moga sukses acaranya di Singapore, ya.” Tengkiyu, Kang Haji, acaranya ternyata sukses, meskipun sempat kehilangan jejak sang penjemput di Changi.
Kulihat Encim selesai menukar uangnya, kembali dia menuju tempatku, dan mengambil tentengannya yang tak seberapa. Katanya dia akan menengok anaknya, jadi tentunya sering wara-wiri Jakarta-Singapore.
Baru kusadari kami ternyata telah berada di lantai atas di kawasan Departure, dan si Encim ngeloyor ke pintu Exit 3, mencari taksi.
Sementara aku mulai lelah, kepalaku pun agak keleyengan. Maklum, belum ditransfusi karena aku selalu masih bisa bertahan di tataran HB 7. Hadeuh, ini penyakit lupa mulai merajai agaknya!
Tenang, tenang, ayo kita cari eskalator kembali ke lantai bawar Arrival. Sampai teklok pun takkan pernah kita temui itu yang namanya eskalator, yang boleh mambawa troli menuju lantai bawah.
Jadi, kelakuanku adalah sbb; mendorong-dorong troli, minta tolong orang-orang yang tak memahami bahasaku, Inggris ala Tarzan orang kampung Cikumpa. Dan bahasa Melayu yang tak bisa sempurna di kupingku!
Menit demi menit, setengah jam, satu jam…., tidak, aku tak boleh panik!
Kucoba menulis statud di FB:”Febi, Yudith Fabiola saya sudah di Changi di Departure. Gak tahu jalan menemuimu.” Eeeh, ternyata tidak bisa diupdate, gara-gara simcardnya masih IM3. Pelajaran baru; jangan pernah pake kartu ini ke Singapore!
Setelah gagal minta tolong kepada dua orang Melayu, aku masih keliling di antara konter Air Asia dengan manusia yang semakin padat. Maklum, musim liburan anak sekolah.
Seorang nyonya muda akhirnya kuhampiri, “Mom, help me please….”
Ini nomer temanku yang akan jemput. Tolong dihubungi dari ponselmu, ya, kira-kira demikianlah kumintai bantuan.
Kalau di Jakarta, aku yakin sekali (pengalaman!) bahwa kelakuanku ini cuma bakalan pembuka sumber malapetaka, jadi bulan-bulanan para calo bahkan petugas sekalipun. Tapi ini Singapore, masyarakatnya ternyata lebih terdidik sopan-santun dan peduli.
Dia, seorang nyonya muda yang hendak terbang ke Belanda itu, dengan segala kesungguhan dan kesabarannya menyambungkanku dengan nomer-nomer yang kutunjukkan.
Nomer Febi selalu busy. Demikian juga nomernya Ustad Rasman Saridin, sosok Muhamadiyah yang mengundangku ke Singapore kali ini.
Nessa Kartika, akhirnya nomer dialah yang berhasil dihubungi!
Lega rasanya ketika kudengar suara khas, medok Jawa dari ponsel pinjaman itu:”Nessa, ini aku Bunda Pipiet Senja, sudah sampai di Changi sekitar dua jam yang lalu. Kami berselisih jalan. Sampaikan kepada Yudith Fabiola, ya.”
Kemudian kuserahkan kembali ponselnya dengan rasa terima kasih yang dalam. Nyonya muda itu masih menungguiku, manatapku dalam-dalam, seakan ingin memastikan bahwa diriku akan oke-oke saja. “Its okeeee?”
“Ya, ya, its oke. Tengkiyuuuu!”
“Oke, holaaaaa!” Dia menjabat erat tanganku, mungkin dipikirnya, nih si nenek kasihan amat, ya, tampangnya sudah sepucat mayat geto. Hehe.
Duduk di bangku dekat pintu keluar, aku sudah lega sekaligus pasrah. Ya, kalaupun tidak ketemu juga dengan Febi, ya wis, inap sajalah di sini. Besok pagi baru nekad cari taksi ke tempat acara!
Eh, baru saja kukotak-katik laptop, mencari koneksi agar terhubung ke internet, dari belakangku ada suara yang sudah familiar. “Adeuh, Maniniiiiiii!” Febi dan dua krucilnya, heuheu!
Kami pun berpelukan erat sekali. Febi tentunya dengan rasa kangennya, sudah lama tak jumpa. Dan daku si manini tukang nyasar ini, tentu saja dengan lega dan riang gembira, akhirnya batal harus inap dan terlantar di Bandara Changi. Aya-aya wae!
@@@
Telah Kusebar Virus Menulis di Negeri Singa
Hanya semalam menginap di rumah Yudith Fabiola, membuatku tercengang-cengang dengan perubahan kedua anak nyonya rumah. Aufal dan Nida, sungguh sudah besar kalian!
Febi, demikian aku biasa memanggil sosok muslimah yang sangat istiqomah ini, tidak bisa mengantarku karena harus mengikuti ujian. Dan esoknya sibuh dia akan terbang ke Bandung, liburan anak-anak.
Seorang PLRT/BMI Singapore yang juga mahasiswi UT serta ketua himpunan mahasiswanya, yakni, Kiswati pagi sekali telah menjemputku. Kami berangkat dari Tampines Road menuju Sekolah Indonesia Singapore, masih pagi sekali. Setelah menaruh koper buku di sebuah kelas, kami pun melanjutkan perjanalan; mencari sarapan.
Kembali ke SIS sudah banyak teman-teman BMI Singapore yang sedang sarapan di kantin, bercanda dan….tralalala!
Karakter mereka tak jauh beda dengan BMI Hong Kong, baik dalam hal mode baju, logat bicara yang medok khas Jawa. Hanya di sini kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan beberapa Jawa Barat. Sementara di Hong Kong didominasi oleh Jawa Timur dan Banyuwangi.
Dikenalkan dengan sosok Ustad, staf KBRI Singapore yakni; Zafli yang penuh semangat berbagi informasi mengenai BMI Singapore. Dari hasil obrolan sepintas, bisa kutangkap permasalahan yang ada dewasa ini dan sedang menuai kontroversi adalah mengenai; KTKLN. (Lainkali akan dibahas!)
Diskusi buku akhirnya digelar di sebuah ruangan dekat kantin. Namanya juga BMI< yah, ini bukan kelas menulis formal apalagi workshop, hanya berbagi motivasi dan menyebar virus menulis saja untuk mereka.
Maka, tak heran jika kadang terdengar suara xaxaxixi dari kantin, atau meneleponria dari peserta. Bahkan acapkali tiba-tiba ada yang nyelonong ke depan, (kirain mau nabok, hihi!) eh, ndilalah, dia mendekatiku minta foto bareng!
Jadi, acaranya dicut dulu buat foto bareng, tandatangan, peluk cium, en soon… Pokoknya seru dan unik!
Ada yang ulangtahun pula, Nessa Kartika. Temannya bawa tar ultah, kemudian potong kue, tiup lilin, nyanyi ultah;happy bday to Nessa. Heuheu!
Namun, yang jelas, kutanagkap semangat mereka untuk bia merekam jejak sejarahnya dalam bentuk buku. Maka, di akhir acara, seperti biasanya kulontarkan; uji nyali!
Ayo, kita buat Lomba Menulis Untuk BMI Singapore. Kita beri judul Catatan Cinta di Negeri Singa. Nah, kutunggu saja karya kalian, tenggatnya; 1 Juli 2011.
Oke, salam budaya dan cinta literasi, cinta menulis!
bunda,seru banget ya jd bunda...dg segalanya,suka n duka, bahagia n derita,dan bunda begitu menikmatinya...
BalasHapusPosting Komentar