Kenangan Bersama Nurul F Huda: Buku Senantiasa Menautkan Kita
Innalillahi wa Inna ilaihi Roji’un…. Telah berpulang ke Rahmatullah : Nurul F Huda, penulis senior, aktivis Forum Lingkar Pena, 18 Mei 2011 pk. 03.15 di RSUD Sardjito Yogyakarta, akan dimakamkan di Purworejo.
Selamat jalan, adikku cinta, buku terakhirmu telah kusunting; Hingga Detak Jantungku Berhenti.
Karya terakhirmu ini seakan ingin menggemakan; inilah lakon hidupmu, sukaduka, nestapa dengan kelainan jantung bawaan, seumur hidup harus memakai obat pengencer darah, dan lelaki yang dicintai meninggalkan dirimu, demi perempuan lain.
Duhai, dindaku cinta, selamat jalan, sampai jumpa bila waktuku tiba.
Aku mengenalnya pertama kali dalam komunitas Forum Lingkar Pena, ada acara bedah buku di Solo. Dia telah menantiku dengan teman lainnya; Afifah Afra, Jazimah Al Muhyi dan Intan Savitri. Sementara aku bersama Pak Remon Agus dan Ustadz Yusuf Mansur. Kami berkeliling Yogya dan Solo, saat itu Nurul belum lama melahirkan anaknya yang pertama.
Sosoknya sangat bersahaja dengan gamis dan jilbab lebar, terkesan low profile. Hingga Pak Remon Agus, bos Zikrul Hakim, berkomentar begini:”Saya senang sekali bisa mengenal para penulis FLP, smart-smart, sederhana dan rendah hati macam Nurul F Huda.”
Sejak itulah aku terhubung dengan Nurul F Huda karena buku yang menautkan kami berdua. Ada buku antologi duet kami, karyaku dengan karya Nurul F Huda, diterbitkan oleh Pak Jalal, Penerbit FBA. Editornya Asma Nadia, kalau tak salah 2003, judulnya: Kisi Hati Bulan. Ada juga buku cerita anak-anak, karyanya, dikirimkannya melaluiku, kemudian kuserahkan ke Bestari Kid, judulnya; Hantu Pocong, dan dicetak ulang.
Kutahu karyanya lumayan banyak, puluhan, dan semuanya kebanyakan inspiratif. Baik serial novel remaja, cerita anak, maupun kiat-kiat dan motivasi.
Berselang tahun kemudian, kutemui sosoknya di Batam. Dia sukses dengan bisnis Herba-nya. Kami selalu berhubungan via telepon atau SMS, kami diskusi buku dan curhatan. Bahkan dia sengaja menjemputku di pelabuhan Batam, mentraktirku makan siang bersama putriku, Butet.
“Subhanallah, Teteh senang, Dek, dikau sehat dan sukses di sini,” pujiku polos. “Nah, ini mobilnya, ya, wooooow! Masih baru nih!”
Dia hanya tersenyum renyah, masih bersahaja dengan gamis dan jilbab lebarnya. Bedanya saat itu dia sudah memiliki konter Herba di 25 titik di pelosok Batam. Luar biasa!
Menjelang aku dioperasi, September 2009, kuterima SMS dari adikku yang satu ini:”Teteh, mohon tidak tersinggung, ya. Tolong SMS noreknya. Ditunggu!”
Tak berapa lama kemudian, dia layangkan kembali SMS:”Ini ada rezeki lebih, buat tambah beli obat Teteh. Semoga bermanfaat, ya Teteh, cepat sembuh. Ummat membutuhkan dirimu.”
Subhanallah, betapa mulia hatimu, Dek. Di tengah kondisi kesehatanmu pun sedang mengalami masalah, paru-parumu terkena flek, dan rumah tanggamu pun sedang goncang. Dinda masih mengingat kepentingan orang lain. Luar biasa!
Awal 2010, rumahku kedatangan Nurul F Huda bersama dua anak dan seorang khadimat. Dia sempat curhatan mengenai kondisi kesehatan dan kemelut rumah tangganya.
"Ini hanya kepada Teteh, mohon jangan disampaikan kepada teman-teman kita dulu, ya," katanya sambil menahan kepedihan yang dalam di matanya. “Sepertinya, saya akan memutuskan satu pilihan yang akan mengubah sejarah hidupku,” lanjutnya pula, terdengar nadanya menggeletar.
“Maksudmu pisah?”
Dia menganguk dan menahan air matanya. Kuraih tubuhnya yang tampak mulai ringkih itu, dan kupeluk erat-erat. Betapa kuingin mengalirkan kekuatan yang masih kumiliki. Namun, kami seakan sudah mengerti, tak perlu semuanya itu ditangisi.
“Jika menurutmu itu lebih baik, ya, ambil sajalah. Tidak mengapa hidup menjadi seorang janda, Dek. Insya Allah, Teteh percaya, dirimu tangguh, muslimah yang istiqomah.”
Sejak itulah, aku mengomporinya terus-menerus dan nyaris tak kenal waktu, agar menuliskan kisahnya, lakon hidupnya. "Rekam sejarahmu, Dek, ayo, jangan pernah sungkan untuk menuliskannya!"
"Bagaimana nanti kata teman-teman kita?" tanyanya suatu kali, terkesan bimbang.
"Menulis ini bisa menjadi terapi jiwa untuk kita, Dek, biarlah apa kata orang. Kita menulis, menulis, menulis sajalah."
Suatu hari, akhirnya, setelah diteror terus-menerus via SMS, duh, maafkan daku ya Dek… Terkirimlah dari tangan Nurul sebuah naskah, kisah inspirasi. Sepanjang menyunting bukunya ini, terus terang, air mataku sering mengalir deras. Sampai si Butet terheran-heran.
"Memangnya ada, ya, lakon penulis yang lebih parah dari Mama?" cetusnya.
"Psssst!" Kuusir dia buru-buru agar tak mengusik penyuntinganku.
Dan akhirnya awal Mei, 2011, kukabarkan via SMS bahwa bukunya telah turun cetak.
"Senangnya, beneran ya Teteh?"
"Iya, nanti dihubungi Pur untuk segala sesuatunya, ya Dek."
Selang beberapa hari kemudian, ada telepon langsung dari Yogya, masih dinihari menjelang subuh. Agaknya kami sama baru usai tahajud dan menanti sholat subuh, itulah waktu emas untuk kebanyakan penulis FLP.
“Wowww, Teteh, subhanallah…. Bukunya sudah kuterima, kovernya bagus bangeeettttt!” suaranya terdengar renyah, sumringah. “Terimakasih, ya Teteh, sudah buat bukuku bagus.”
“Syukurlah, Dek, kalau dikau suka.”
“Oh, suka banget. Ini kovernya, seperti biadadari ya. Aku seperti bidadari mau terbang ke surga. Cuma di sini bidadarinya warna oranye, gengku kan bidadari biru….”
“Oh, biarlah oranye, Dek. Kita terbang ke surganya dengan Lion kali, ya, aku ikut. Hehehe,” sambutku bercanda.
Beberapa jenak kami tertawa bersama, aku merasa kali itupun bisa menangkap keharuannya yang mendalam, dan rasa syukurnya yang tiada berkesudah.
Terakhir kami jumpa di Kaliurang, Up Grading Nasional FLP. Dia tampak kurus sekali, napasnya tersengal-sengal saat menaiki undakan tangga dan dia mengaku selain khusus menemuiku, merasa kangen sekali dengan teman-teman FLpers.
“Demi Tetehku sayang aku ke sini,” kesahnya riang, kami berpelukan erat sekali. Seolah-olah takkan pernah berpelukan lagi, dan ternyata demikianlah adanya. Serasa masih kudengar bagaimana dia menahan isaknya dalam dekapanku, waktu itu di Wisma Eden, Kaliurang.
“Insya Allah karyamu akan diterbitkan,” kataku menegaskan. “Itu baru satu sekuel, ya, hayo ditambah lagi.”
“Ya, Teteh, aku akan terus menulis…yah, hingga detak jantungku berhenti!”
“Harus tebal, ya Dek.”
“Iya, Teteh…, doakan ya, doakan,” kembali ia memelukku, kami akhirnya bertangisan, entah untuk apa.
Mungkin karena merasa senasib, sebagai penulis dan punya kelainan bawaan. Sepanjang hayat kami harus terhubung dengan dokter, peralatan medis dan berbagai hal urusan obat. Kami pun sama mengalami berbagai hal keajaiban dalam hidup; pertolongan dari Sang Maha Kasih, setiap kali kami terpuruk, terzalimi atau teraniaya.
“Dinda lebih hebat dariku, jantung gitu loh,” kataku selalu menyemangatinya. “Kalau Teteh kan hanya darah. Jika sudah ditransfusi, ya, segarlah. Masih bisa wara-wiri ke mana-mana.”
“Ya, Teteh sayang,” muslimah itu mengangguk perlahan. “Kalau baca kisahmu, waduuuuh, aku masih beruntung, ya….”
“Ya, tentu saja. Dikau kan sarjana, sementara daku ini ijazah SMA pun gak punya,” ujarku sambil ketawa.
Kami kembali berpelukan, ya Allah… Mengapa pertemuan terakhir kita banyak peluk-memeluknya, ya Dek? Sampai aku meledekmu: “Pssst, kita ini kok kayak teletabis saja. Nanti disangka orang, digosipkan deh, kita pasangan sejenis.”
“Iiih, Teteh, apa!” Dan kami kali ini, berpelukan sambil tertawa, meskipun kami tahu ada airmata menggenang di mata masing-masing.
Duhai, Cinta, adikku, entah siapa yang lebih beruntung. Tetapi yang jelas kita sama-sama banyak yang menyayangi, iya kan Dek? Kita memiliki dua bintang kecil, sebagai sumber kekuatan diri manakala kita merasa terpuruk. Kita memiliki orangtua dan saudara-saudara yang selalu siap membantu. Dan terutama, kita senantiasa yakin dengan kemurahan Sang Pencipta!
“Aduh, betapa aku ingin seperti Teteh. Kelak bisa punya cucu-cucu juga, ya,” cetusnya sambil menatap wajahku dalam-dalam, seolah ingin menyelami; semesta apakah yang ada di balik sepasang mataku yang terkadang berwarna kuning, karena komplikasi ini.
“Iya, Dek, aku doakan, aku doakan, insya Allah. Kelak dikau pun akan memiliki cucu-cucu seperti Teteh, ya Dek. Makanya, jangan pernah putus asa, semangaaaat!”
Kami berdua mengaminkan segera. Kemudian masih berbincang seputar kondisi kesehatan, kepenulisan, dan anak-anak kami. Sempat kupaksa dia masuk ke ruangan yang sedang gelar sesi Diskusi Sastra dengan pembicara Intan Savitri, Muthmainnah. Dia mematuhiku, beberapa saat duduk bersisian denganku, menyimak segala hal yang sedang dibincang oleh para pemateri.
Beberapa kali kucuri pandang sosoknya dari samping, sungguh, dia sangat kurus untuk ukuran tingginya. Hanya 37 kilo, katanya, dan itupun sudah naik dari asalnya yang hanya 34 kilo, masya Allah!
Ketika seorang pemateri mengajak kami untuk menggemakan; Allahu Akbar, kulihat Nurul semangat sekali mengacungkan kepalan tangan ke udara, dan matanya tampak berair, menahan keharuannya yang mendalam. Dia mengatakan bahwa tak pernah mengira FLP akan sebesar ini, jika mengingat perjuangan para pendirinya beberapa tahun yang silam.
Kutahu juga sosok yang satu ini selalu semangat untuk membuka cabang FLP setiap kali dirinya menjejak di suatu tempat; Yogya, Batam, dan seputar Kepri. Beberapa kali dia menggumamkan kekagumannya, FLP telah berubah hebat, besar, banyak para penulis handal.
“Teteh aku pamitan, ya, ndak bisa ikut sampai selesai. Kasihan anak-anakku di rumah dengan Eyangnya. Ibuku juga sudah sepuh,” ujarnya ketika pamitan. “Lagipula udaranya akan dingin sekali, nanti aku gak tahan,” jaket yang dikenakannya sampai berlapis-lapis.
Kami pun kembali berpelukan erat sekali, kudengar dengan jelas isaknya yang ditahan. Kuusap-usap punggungnya, kubisikkan kata-kata penyemangat dan doaku di telinganya. Kupandangi sosoknya saat menjauhiku, menuruni undakan, beberapa kali menoleh ke arahku dan melambaikan tangannya sambil tersenyum manis.
Sungguh, tak pernah kusangka bahwa itulah lambaiannya dan senyumannya yang terakhir kali kulihat.
Ya, itulah pertemuan kami yang terakhir. Dia dibonceng adiknya dengan motor, melintasi jalanan panjang dari Yogya. Serasa terngiang-ngiang di telingaku bahwa dia datang demi diriku, duhai!
Terimakasih, Dindaku sayang, persaudaraan kita ini sungguh indah.
Aduhai, daku menangis saat kutuliskan semuanya ini. Maafkan, ya Dek, waktu niatku untuk galang dana buatmu masih dipending, rencananya pekan ini akan dilaksanakan di TIM. Tetapi Allah Swt berkeputusan lain, inilah kisahmu, Dek, aku salut dan kagum kepada dirimu.
Maafkan juga, kemarin saat diriku banyak dilimpahi ucapan selamat milad, sementara dirimu sedang berjuang dan telah masuk ruang ICU RSUD Sardjito. Kita masih SMS-an, ini masih kurekam SMS darimu:”Doakan, ya Teteh, kondisiku memburuk. Jaga kesehatan, ya Teteh sayang.”
Duh, dikau masih mengingat diriku yang sedang promosi buku keliling Madura dan Jatim.
Ya, sekali lagi, selamat jalan, adikku cinta…Insya Allah, dirimu akan mendapat tempat terindah di jannah-Nya. Karena engkau muslimah yang solehah, tangguh, mandiri dan pantang menyerah.
Doaku untukmu, Dinda Nurul F Huda!
@@@
Berikut prolog bukunya yang terakhir dan kebetulan diserahkan kepada saya sebagai penyuntingnya, diterbitkan di divisi yang saya gawangi, Jendela, grupnya Zikrul Hakim.
Prolog Nurul F Huda:
Saat ini, aku menjadi single mother bagi dua anakku, Fathin (saat buku ditulis umurnya 8 tahun) dan Azizah (7 tahun). Secara fisik, anak-anakku tumbuh dengan sehat, relatif gemuk (makan sehari kadang 4 kali, pagi-siang-sore-malam). Belum termasuk cemilan dan susu. Mereka juga menikmati bermain, melakukan apa yang disenangi.
Fathin hobi ilmu pengetahuan dan teknologi, Azizah hobi seni, dan relatif tidak mengalami kendala psikologis yang berarti meski harus menghadapi kenyataan memiliki keluarga yang berbeda.
Ya, tentu mereka pernah menanyakan, dengan nada protes ataupun sedih, tetapi tidak sampai membuat mereka murung. Aku berusaha menciptakan kondisi senyaman mungkin bagi mereka agar kesedihan terkurangi. Membangun kedekatan, optimisme, dan keyakinan bahwa kondisi ini adalah yang lebih baik dari sebelumnya. Tentunya dengan terus berusaha membawa kondisi kami menjadi semakin baik, semakin baik lagi.
Fathin dan Azizah bagiku adalah mukjizat. Di saat ada ibu-ibu sehat yang melahirkan bayi cacat, ibu-ibu yang tidak mengkonsumsi obat “berbahaya” dan ternyata melahirkan bayi tidak sempurna, maka atas nama apa aku memaknai keberadaan Fathin dan Azizah jika bukan mukjizat-Nya? Karena itu, aku berusaha agar selalu ingat bahwa mereka harus aku didik menjadi hamba-Nya yang sepenuhnya mengabdikan hidup untuk jalan Tuhan. Semoga aku mampu, dengan pertolongan-Nya. Amin.
http://nurulfhuda.multiply.com/photos/album/7/Nurul_90_to_2009
subhanallah... bunda... sedih bacanya, tapi juga memberi semangat
BalasHapussubhanallah...
BalasHapuskerend mba...
Ikut berkaca-kaca mataku ketika membacanya, Bunda... :'(
BalasHapusSemoga Mbak Nurul F Huda mendapatkan tempat yg layak di sisi-NYa, semoga karya2 yang ditinggalkan dapat memberi inspirasi bagi kita semua uk selalu menjalani sisa hidup menjadi lebih baik lagi ....
BalasHapusterima kasih juga buat Teh Pipit ...yg telah merekam jejak kebaikan Mbak Nurul ...
Mas Boim terimakasih juga telah berkenan mampir di rumah karya teteh
BalasHapuswassalam
D saat2 terakhir n sulit pun,,, masih mampu menebar2 kebaikan :)
BalasHapusShe's amazing women
saya tidak mengenalnya tetapi membaca kisah dan perjalanannya semoga bunda Nurul diberi kemudahan dalam perjalanannya...Amin
BalasHapusT_T terharu sekaligus terinspirasi atas kisah bunda Nurul F Huda
BalasHapusSubhanallah..
tempatkanlah ia dalam tempat terbaik-Mu, ya Rabbi..
Bunda Pipiet Senja,
saya berterima kasih atas segala kisah inspiratif yang tertoreh dalam blog ini.
Saya jadi semakin giat untuk menulis....menuliskan beberapa inspirasi, meski masih belajar menulis...
terima kasih atas ilmu bermanfaatnya, ya, Bunda...^^
Posting Komentar