Saat umur delapan tahun, aku sudah mengenal karya-karya Amir Hamzah, Armijn Pane, Sanusi Pane, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Mansur Samin, Ajip Rosidi dan lain-lain. Terjemahan yang aku sukai ketika itu adalah karya Jules Verne, Charles Dickens dan tentu saja sang Karl May. Serial Old Shuterhand dengan Winetou-nya. Sungguh memukau aku!
Berkaitan dengan kecanduan pada buku ini, ada satu pengalaman yang membekas dalam ingatan. Ketika itu zamannya serba sulit. Kejadiannya sekitar tahun 1964-1965. Selain paceklik, penyakit dan wabah kolera, disentri pun menyebar di mana-mana. Untuk mendapatkan sembilan bahan pokok, orang harus berebutan.
Di depan kantor Pensiunan, pada saat-saat tertentu orang mengantri beras, gula, minyak tanah dan kebutuhan bahan pokok lainnya. Antriannya sampai mengular panjang, Bo!
Keluarga aku pun tak luput dari masa-masa sulit itu. Bapak bersama pasukan Siliwangi sedang ditugaskan ke pedalaman Sulawesi. Katanya, untuk memberantas gerombolan Kahar Muzakar. Kami hanya bisa makan nasi campur jagung. Terkadang nasi bulgur atau hanya tiwul, jiwel.
Suatu hari, Ma menyuruh aku untuk membelikannya minyak tanah. Karena di kantor Pensiunan tak ada persediaan, maka aku harus membelinya di dekat pasar. Dengan jerigen di tangan dan uang di saku celana, aku pun mematuhi perintah ibu tercinta. Sesampai di pompa bensin depan SKP, aku lihat orang mengantri puanjaaaang banget!
Sambil menunggu antrian bergerak, aku melihat-lihat kios buku di samping pompa bensin. Uih, ada majalah Mangle, Langensari, Baranangsiang, Campaka, Sari dan banyak lagi. Semuanya majalah berbahasa Sunda. Aku tahu persis, di majalah Mangle, Langensari sedang dimuat cerita bersambung karya Rustandi Kartakusumah.
Sebelumnya aku hanya bisa menunggu kelanjutan serial pengarang besar itu di taman bacaan. Itu pun harus berebut dengan para penggemar lainnya.
Tanpa pikir panjang lagi.... Aku membeli kedua majalah itu!
Sambil membawa majalah-majalah itu, aku ngeloyor ke alun-alun. Membacanya sambil lalangkarakan alias tidur-tiduran di atas lingga. Yaitu sebuah tugu, monumen peninggalan zaman baheula di tengah alun-alun Sumedang.
Begitu asyiknya aku membaca. Lupa segalanya!
“Astagfirullaaaaah!” Akhirnya Ma berhasil menemukan si sulungnya.
“Dari pagi sampai sore begini? Kamu ini kelewatan, Teteh! Kami menunggu-nunggu minyak tanah.... Ayo, sekarang mana minyak tanahnya? Mana jerigennya?” sergah Ma sambil bercucuran keringat.
Katanya, Ma sudah mencari aku ke mana-mana tuh. Aku tak bisa mengelak lagi. Bahkan aku pun tak tahu lagi, di mana jerigen nan malang itu!
Sebagai sanksinya, Ma melarang aku main sepeda keliling Regol selama seminggu. Malah kesenangan.
Diih, mending juga baca majalah kesayangan daripada keluyuran!
***
hehe, jerigen hilang malah bisa untuk ajang membaca ya
BalasHapusiya tuh, dasaaar takdir...heuheu
BalasHapusterimakasih telah mampir
kalau saya dari kecil sampai gede sering dimarahin karena suka baca daripada ngapa2in lainnya. disuruh nggoreng tempe, disambi baca bentar kok gosong. ibu murka deeh
BalasHapussekarang berbalik. ibu malah bangga cerita ke anakku kalau aku-mamanya mereka- dulu waktu kecil suka baca :))
dan benar, anakku ketularan
Posting Komentar