Malaysia, 8 April 2011
Malam ini, aku menginap di rumah Ketua Komite SIK, Aninda Lokeswari. Ini sebuah kondominium bernama Villa Puteri, bersebelahan dengan The Mall, letaknya tak jauh dari Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Namun demikian, ia selalu membawaku dengan mobil pribadinya, agar tidak repot jika harus lanjut bepergian, kilahnya.
Ditempatkan di sebuah kamar putri bungsunya, Equin cantik, siswa Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Aku bisa memandang lanskap yang indah dari jendela kamar, di bawah tampaklah kolam renang, bangku-bangku dan taman.
Semula kukira itu lantai dasar, tetapi, ternyata semua pemandangan ini berada di lantai tiga. Yang mengherankanku di situ pun ada pohon-pohon pinang dan tanaman hijau lainnya, seperti kembang-kembang aneka jenis. Sebuah pemandangan yang langka kutemukan di negeriku, apalagi di kawasan metropolitan Jakarta yang serba macet.
Dan ini adalah sebuah kawasan yang disebut kondominium, setelah dua malam baru terasakan perbedaannya dengan perumahan biasa. Semuanya serba tertata laksana dengan baik, apik dengan kebersihan serta keamanan yang terpelihara.
Saat kutanya berapa harga sewanya per bulan, Aninda hanya tersenyum manis. Kutebak saja, tentunya dalam kisaran sepuluh juta jika dirupiahkan. Penghuninya terdiri dari berbagai etnis. Kebanyakan etnis Arab, berkebangsaan Iran, Irak dan Mesir. Sebagiannya adalah WNI, ya, orang Indonesia, mereka yang terbilang sukses.
Setelah acara di Sekolah Kuala Lumpur selesai, rehat dulu beberapa saat, sampai kudengar suara lain dari ruang keluarga. Aku keluar dan tampaklah tuan rumah, Mas Singgih yang baru pulang terbang.
“Kita ajak Bu Pipiet makan di luar, ya Mom,” ujarnya ramah.
Maka, kami; Mas Singgih, Aninda, Nidya, Equin dan aku pun berangkatlah untuk JJS, istilah Aninda saat kami ber-SMS-ria. Jalan-jalan sore, malam di Kuala Lumpur pun dimuilai dari garasi Villa Puteri.
Ini hari ke-2, tetapi malam ke-3 bagiku di negeri jiran. Aku masih suka terkagum-kagum dengan bangunan megah yang kunampak, mobil-mobil mewah yang berseliweran, kebersihan di sekitarku dan terutama; tidak ada macet!
Untuk jalan Tol, umpamanya, lebarnya seperti empat jalur di Tol Jabodetabek. Bedanya di Malaysia yang buat empat jalur itu dijadikan hanya untuk dua jalur. Sedangkan untuk baliknya dari arah yang lain. Mungkin karena Kuala Lumpur penduduknya tak sebanyak Jakarta, dan wilayahnya masih luas.
Suasana petang menjelang malam, di mana pun berada senantiasa aku sukai. Terasa ada semacam aura tersendiri, sebuah pergantian masa yang lembut, melindungi dan menyejukkan, saat orang mulai rehat setelah sepanjang hari berjuang mencari nafkah.
Sungguh aku suka sangat petang, selembar senja yang ingin selalu kusimpan di lubuk hatiku terdalam.
“Lah, kok sepertinya mendadak mendung dan mulai gerimis, ya?” cetusku saat menyadari perubahan cuaca.
“Iya, Bu, cuaca di sini tidak bisa ditebak,” sahut Mas Singgih.
“Sepertinya bukan hanya di Kuala Lumpur, yah, waktu di Hong Kong juga begini. Awalnya cerah dan gerah mendadak saja hujan badai.”
Beberapa saat aku jadi terkenang perjalanan Jakarta-Hong Kong-Macau-Shen Zhen. Mengingatkanku akan anak-anak BMI, para Nakerwan yang begitu menyayangiku dan selalu; say hello melalui YM, blog ataupun FB.
Meskipun hanya sebulan, ternyata ikatan silaturahim antara diriku dengan anak-anak BMI Hong Kong lumayan kuat. Mereka sering dengan polosnya curhatan kepadaku tentang berbagai hal, mulai dari masalah proses kreatif menulis, rencana masa depan sampai urusan cinta di dunia maya.
Petronas, nah, akhirnya sampailah kami di gedung kembar yang terkenal itu. Di bawah gerimis yang mengundang, kami mencari tempat parkir, kemudian mulai mencari-cari sudut untuk mengambil foto.
“Siapa itu yang lagi pentas?” tanyaku saat memperhatikan grup band di layar televisi berukuran raksasa. “Rasanya tidak asing lagi dengan lagu, apa itu, ya…hmm?”
“Itu F4, ya kan Pa?” sahut salah satu putri Aninda.
Hmm, Petronas, gerimis mengundang dan F4. Sempurnalah gelaran malam ini, khas negeri jiran, gumamku sendiri.
Tampak rombongan bule begitu serius mengambil foto dan merekamnya, memvideokan segala sesuatu yang menarik di sekitar Petronas. Bahkan beberapa bule sampai rela menggeloso saat jeprat-jepret.
“Cara mengambil fotonya memang harus begitu agar dapat anggelnya,” ujar Mas Singgih.
“Oh, begitu, ya? Tapi kita tak perlu sampai gelosotan di jalanan begitu, sedapatnya, seadanya saja,” kataku menahan tawa. Lah iyalah, gak bisa kubayangkan andaikan seorang penerbang segagah dan seganteng Mas Singgih, mendadak gelosotan di jalan hanya untuk mengabadikan manini. Bedeuh, apa kata dunia?
Sekitar setengah jam, dan gerimis mulai berhenti, kami pun memutuskan melanjutkan perjalanan. Kendaraan kemudian menuju kawasan Chow Kit, areal para pedagang dan orang Indonesia berkumpul. Namun, karena tampak ramai sekali, Mas Singgih tidak jadi berhenti di sini.
“Nah, di sini sajalah kita makan. Tom Yam di sini terkenal enak loh,” ajak Aninda, kami pun parkir kendaraan di depan resto Rajanya Tom Yam.
Entahlah, bagi lidahku Tom Yam dimana pun sama saja rasanya; pedas, manis dan asam di antara udang, cumi dan seafood lainnya. Aku lebih menikmati ikan kakap yang disteam dengan bumbu yang pas di lidahku. Tak jauh beda dengan menu ikan yang sering disajikan Melani, istri Ustad Ghofur, kertika aku tingal di apartemennya di Hong Kong. Menu yang bisa membuat perutku gendut. Hehe.
Sekilas kucermati daftar menu yang disodorkan pelayan. Ada nama makanan sbb; Soto, Gado-Gado, Sate, Tahu, dan semuanya ditambah dengan satu kata; Malaysia. Apa maksudnya nih?
Aku jadi tertegun-tegun. Apakah ini berarti bahwa semua makanan yang kukenal di Tanah Air seperti; Soto Kudus, Sate Padang, Tahu Sumedang, Gado-Gado Betawi adalah milik Malaysia? Ah, entahlah!
@@@
Posting Komentar