Bersama Winwin Faizah asli Ngawi
Bersama Jamaah Tsim Sha Tsui-Hong Kong
Bersama anak Boardingshool Kampar-Riau
“Menulis adalah terapi!”
Itulah
salah satu kalimat yang paling sering diucapkan sosok ini dalam berbagai
kesempatan. Baik dalam tulisan-tulisannya maupun berbagai seminar dan pelatihan
kepenulisan yang kerap menghadirkannya sebagai narasumber utama.
Ketika
yang disebut adalah nama Etty Hadiwati, mungkin takkan banyak orang yang
mengetahui, tapi lain ceritanya dengan nama Pipiet Senja. Seantero negeri
khususnya khazanah sastra pasti mengenal nama yang sudah eksis sejak era 70-an
ini. Tidak hanya karyanya berupa buku yang sudah mencapai ratusan (105), kisah
hidup serta kondisi fisik yang ‘penyakitan’ adalah sisi lain yang membuat sosok
ini luar biasa.
Lahir
di Sumedang pada 16 Mei 1956, Pipiet Senja anak pertama dari 7 bersaudara dari
seorang pejuang ’45, SM Arief dan Hajjah Siti Hadijah. Kisah kehidupan masa
kecilnya ini dituliskannya ke dalam beberapa buku, menjadi inspirasi dalam
beberapa novel dan buku anak yang pernah ditulisnya.
Sejak
kecil Pipiet Senja sudah akrab dengan membaca berbagai macam buku. Mulai dari
filsafat, psikologi, sastra, politik dan sebagainya. Inilah yang pertama kali
membuatnya jatuh cinta pada dunia sastra, berlanjut dengan hobinya menulis buku
harian tentang apapun yang ia alami sehari-hari, semakin mengasah ketajaman
merangkai kata.
Kegemarannya
pada dunia tulis-menulis disalurkan dengan mengirim puisi ke radio-radio lokal
yang dibacakan kepada ribuan pendengar, sehingga melecut semangatnya. Barulah
pada 1975, untuk pertama kalinya Pipiet Senja mengirim naskah puisi ke majalah
Aktuil, sebuah majalah anak muda yang sangat bergengsi kala itu. Puisi yang
dikirimkannya disertai ‘teror’ yaitu karena umurnya diprediksi dokter tidak
akan lama lagi, maka jika tidak dimuat ia akan menggentayangi redaktur. Ternyata
teror isengnya itu berhasil, karyanya berupa 5 puisi mbeling dimuat dan bersanding dengan para senior seperti Sutardji
Colzum Bachri, Putu Wijaya, Danarto, Wilson Nadeak, dll.
Selain
kemampuan luar biasa dalam menulis yang diakuinya didapat dari belajar secara
otodidak dari karya-karya penulis lain, satu hal yang tak pernah lepas dari sosok ini adalah penyakit kelainan darah
bawaan yang dideritanya. Inilah yang melatarbelakangi vonis dokter bahwa ia
tidak akan berumur lama lagi. Pipiet Senja menderita thalasemia, yakni
kelainan darah bawaan. Sehingga mengharuskannya ditransfusi darah secara rutin
per 2-3 bulan sepanjang hidupnya.
Ini
pula yang melatar belakangi opininya ketika ditanya tentang apa arti menulis
bagi seorang Pipiet Senja. Di awal baginya menulis adalah sarana untuk
mengekspresikan perasaan dan apapun yang ada di benaknya tentang segala
sesuatu. Kemudian berkembang menjadi .‘sumber mata pencaharian’ ketika hasil menulis itulah satu-satunya sumber
nafkahnya. Terlebih ketika rumah tangga yang dibinanya tidak mulus, perjuangan
membesarkan dua anak (Adzimatinnur Siregar dan Haekal Siregar) serta keharusan
transfusi darah secara rutin, dan segala tetek-bengek pengobatan, menjadikan
menulis sebagai andalan utamanya, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejak
2000 Pipiet Senja mulai bergabung dengan Forum Lingkar Pena atau FLP setelah
pertemuannya dengan Helvy Tiana Rosa, pendiri komunitas kepenulisan itu. Hal
ini sedikit banyak memengaruhi karya-karya Pipiet Senja. Sejak saat itulah ia
mulai concern menulis serta membuat
buku-buku dengan basic Islam, buku-buku
inspirasi yang penuh hikmah serta pelajaran untuk pembacanya. Tujuannya jelas:
berdakwah dengan pena.
Hal
itu tak lantas membuat Pipiet Senja tidak pernah mendapat kritikan. Ada pihak
yang mengkritik karena karya-karyanya sebagian besar terinspirasi dari
kehidupan pribadinya berupa pergulatan jiwa; pernikahan yang tidak berjalan
mulus ditambah perjuangan membesarkan anak serta bertahan dari penyakitnya. Ia
dituding ‘menjual kesedihan’ atau menarik animo pembaca semata-mata, agar
kasihan dengan kondisinya.
Namun
suara-suara sumbang tersebut dengan sendirinya terjawab, justru lebih banyak
orang yang mengaku terinspirasi dan mendapat semangat luar biasa setelah
menyimak lakon hidup dan perjuangan seorang Pipiet Senja, hingga menjadi
seperti sekarang, dari buku-buku yang pernah ditulisnya.
Hal
itu pula yang membuat sebuah lembaga pendampingan Buruh Migran Indonesia (BMI)
atau para TKW di Hongkong yaitu Dompet Dhuafa Hong Kong pada Julil 2010
mengundang Pipiet Senja untuk tinggal selama 1 bulan di Hong Kong. Ia
memotivasi, menyebar virus menulis, memompa semangat serta inspirasi agar para
pahlawan devisa itu tergerak untuk menulis dan berbagi kisah. Menyuarakan apa
yang terjadi dalam kehidupan kaum BMI Hong Kong, termasuk mengungkap permainan mafia
agen tenaga kerja serta ulah para majikan yang terkadang aneh nyeleneh.
Hasilnya
luar biasa! Kunjungannya ke shelter-shelter
penampungan di pelosok negeri beton, membawa hasil dua buku bertema kisah nyata
para TKW Hongkong. Satu buku ditulis langsung oleh Pipiet Senja berjudul Kepada
Yth Presiden RI serta buku antologi karya 36 TKW Hongkong, berisi curahan hati
tentang apa yang mereka alami berjudul Surat Berdarah Untuk Presiden.
Sejak
saat itulah ia menjadi sahabat para TKW Hong Kong, penyumbang devisa negara
yang justru sering mendapat perlakuan tidak adil dan terzalimi, baik secara
materi maupun fisik dan jiwa.
Tidak
berhenti sampai di situ, para TKW yang kebanyakan bekerja sebagai pembantu
rumah tangga atau babysitter itu juga
mulai menyusun buku-buku solo, sehingga sekarang mulai bermunculan buku karya
para TKW. Inilah yang menjadi salah satu semangat Pipiet Senja untuk selalu
menulis dan melakukan perjalanan ke berbagai kota bahkan ke luar negeri untuk
menyebar virus menulis. Yaitu agar bisa mengajak sebanyak mungkin orang untuk
mulai mencintai dunia tulis menulis dan menggoreskan pena, mewarnai dunia
dengan kata-kata! Tidak terkecuali untuk para TKW.
Pipiet
Senja menulis tidak hanya semata-mata untuk kepuasan pribadinya namun juga
sebagai sarana menebar inspirasi khususnya pada kaum perempuan. “Menulislah, rekam
jejakmu!” demikian yang sering dikatakannya di setiap workshop maupun seminar kepenulisan.
Ya,
Manini (nenek) dari dua orang cucu, Zein dan Zia yang menjadi inspirasi
lahirnya buku Serial Balita Muslim ini sekarang adalah seorang ‘traveler’
berkat ratusan karya yang telah dibuatnya. Hari-harinya banyak dihabiskan di
berbagai kota untuk menyebarkan semangat serta inspirasi menulis selain diskusi
online secara gratis yang dibukanya melalui jejaring sosial Facebook, Twitter, YM.
Dan blog pribadinya; http://www.pipietsenja.net setiap subuh.
Dan blog pribadinya; http://www.pipietsenja.net setiap subuh.
Maka
berbicara tentang Pipiet Senja adalah berbicara tentang sosok tegar, penuh
semangat dan unbreakable dengan
segudang karya sekaligus penderita thalasemia
yang justru menjadikan rasa sakitnya sebagai inspirasi menulis dan terus
berkarya. Tercatat ada beberapa buku yang memang terinspirasi dari penyakitnya
itu seperti Cahaya di Kalbuku (DAR!Mizan), Tembang Lara (Gema Insani Press),
Bagaimana Aku Bertahan (KBP), Langit Jingga Hatiku (GIP), Dalam Semesta Cinta
dan Catatan Cinta Ibu dan Anak (Jendela).
Hanya demi satu tujuan yakni mencerahkan dan
menginspirasi pembaca melalui karya. Bagi pembaca yang ingin menyapa atau
berbincang dengan Pipiet Senja bisa mengunjungi blognya dan email; pipiet_senja@yahoo.com.
(Winwin Faizah-Ngawi)
@@@
kapan menulis pria tangguh nya mak :p
BalasHapusPosting Komentar