The Peak Hong Kong: Kurenungi lakonku
Jika
Anda adalah penulis pemula, mungkin Anda akan “merinding” melihat data
produktivitas seorang Pipiet Senja. Tahun 1978-1985, ia menerbitkan 12 novel
populer. Lalu, tahun 1991-2006, ia meluncurkan 28 buku anak. Kemudian, tahun
2001-2008, ia berhasil menerbitkan 33 novel islami! Dan, sepanjang 1983-2008,
ia juga menerbitkan 23 antologi puisi bersama. Total, sekurang-kurangnya Pipiet
sudah menghasilkan 96 buku dalam waktu 30 tahun terakhir. Dan, itu semua belum
termasuk ratusan cerpen serta puluhan novel bahasa Sunda yang tak terdata semua
judulnya.
Apa
komentar yang tepat untuk prestasi tersebut? Fantastik… Dahsyat… Luar biasa!
Sebuah kombinasi yang kokoh antara kreativitas, imajinasi yang kaya, dedikasi
pada profesi, dan motivasi diri yang tak terbendung.
Tetapi,
yang juga menambah bobot “keelokan” seorang Pipiet adalah bahwa ia menuliskan
karya-karya tersebut dalam belenggu penyakit thallasemia. Penyakit kelainan
darah sejak lahir semacam ini suka memutus-mutus tali asa penderitanya. Tetapi,
belenggu thallasemia justru memacu kreasi dan prestasi penulis fiksi islami
ini. Produktivitasnya seolah tak tertandingi oleh penulis-penulis yang lain.
Pipiet
Senja dikenal dengan karya-karya seperti Lukisan Rembulan, Menggapai Kasih-Mu,
namaku May Sarah, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, Meretas Ungu, atau Kapas-Kapas
di Langit yang jadi novel bestseller itu. dan, oleh Ahmadun Yosi
Herfanda, seorang jurnalis dan penyair, perempuan bernama asli Etty Hadiwati
Arief kelahiran 16 Mei 1957 di Sumedang, Jawa Barat, ini disebut sebagai Sang
Ikon Fiksi Indonesia.
Membilang hasil jualan buku, hari itu; Saint Marry's-Hong Kong
Hampir 40 tahun
berkiprah di dunia kepenulisan, Pipiet belum juga surut berkarya. Di usianya
yang sudah lebih dari setengah abad, ia malah makin tertantang untuk berpacu
karya dengan penulis yang masih muda-muda.
Selain itu,
dari dulu hingga sekarang, ia terus berbagi pengalaman dan ilmu dengan
menularkan virus gemar menulis ke semua kalangan. Satu hal yang mendorong dia
melakukan hal itu adalah sebuah visi; “Saya ingin banyak generasi muda,
terutama kaum perempuan yang menjadi penulis.”
Pertengahan januari
2009 lalu, dalam sebuah wawancara melalui email dengan Edy Zaqeus dari AndaLuarBiasa.com, Pipiet Senja
menegaskan, supaya kita tidak takut hilang “jatah rezeki” hanya karena berbagi.
Berikut petikan
wawancaranya:
Sebagai aktivis Forum Lingkar Pena (FLP), bisa Anda gambarkan bagaimana
perkembangan terakhir organisasi kepenulisan tersebut?
Semakin bagus,
semakin pesat secara karya, baik yang di daerah di Indonesia maupun yang di
mancanegara. Meskipun secara organisasi agak keteteran, terutama yang di
daerah. Perlu disemangati, dimotivasi selalu para kadernya, terutama untuk
menumbuhkembangkan para penulis pemula menjadi eksis!
Audiens Sahabat Buruh Migran Indonesia di Hong Kong
Anda disebut-sebut sebagai salah satu sastrawati yang memberikan corak
atau warna islami dalam setiap karya Anda. Sesungguhnya, corak atau warna
islami itu tadi seperti apa gambarannya?
Intinya, yang
sastra islami itu, antara lain tak ada unsur ngeseks. Kalaupun ada,
biasanya kita mengambil simbol-simbol. Baik melalui simbol alam maupun rasa
bahasa yang terselubung. Atau, bahasa yang puitis. Karya islami ditujukan untuk
menginspirasi, mencerahkan umat.
Dengan karya yang lebih dari 105 buku, sebenarnya bagaimana cara Anda
menggali tema-tema tulisan?
Temanya
beragam, mulai dari tema untuk anak-anak batita, balita, ABG, remaja, sampai
lansia. Menggali ide, mungkin ya? Ide jika sudah ada tinggal kita siapkan
segala perlengkapannya. Umpamanya, kalau perlu survei ke suatu tempat, kita
lakoni. Kalau tidak bisa, kita bisa browsing-an dan chatting-an.
Umpamanya untuk mem-plot setting atau “penglataran”
luar negeri, atau tempat yang masih asing bagi kita.
Dari semua karya, mana yang sangat menguras emosi, daya tahan, dan daya
kreatif Anda?
Meretas
Ungu (Gema Insani Press), Kupenuhi
Janji (Duha Publishing), Kapas-kapas di Langit (Zikrul
Hakim), Dalam Semesta Cinta (Jendela), Jejak Cinta
Sevilla (Jendela), dan Cinta dalam Sujudku(Luxima
Publishing), Menoreh Janji di tanah Suci (KPG), Kerpada YTH Presiden RI
(Jendela) Orang Bilang Aku Teroris (Jendela)
Kalau karya yang Anda anggap monumental?
Kapas-Kapas
di Langit, Tuhan Jangan Tinggalkan Aku, Dalam Semesta Cinta, Cinta Dalam
Sujudku.
Bagaimana cara Anda mempertahankan ‘daya tahan’ untuk tetap produktif?
Sering
mencermati karya terbaru, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Jadi, saya
selalu tergerak untuk terus berkarya. Merasa tertantang untuk tetap eksis di
khazanah kepenulisan. Lagi pula, memang inilah duni saya, profesi saya, sumber
mata pencaharian saya. Ya, terus saja daku berkarya, sampai ajal menjemput.
Anda tidak kuatir ada duplikasi tema atau ide dalam karya-karya Anda?
Tidaklah.
Karena saya yakin, setiap penulis selalu memiliki ciri khasnya tersendiri.
Tidak mungkin karya kita bisa diduplikat secara persis!
Sebenarnya, apa yang membanggakan dari profesi sebagai penulis itu?
Lebih dekat ke
masyarakat luas, hehehe…. Nama kalau sudah dikenal kan banyak yang menyapa? Ini
membuat saya (punya) banyak saudara di mana-mana. Banyak mengalir rezeki jika
saya dalam kemalangan. Terima kasih, ya Allah, dan para penggemar saya, terima
kasih!
Kalau ditanya, Anda itu hidup untuk menulis, atau menulis untuk hidup,
jawabannya?
Insya Allah,
saya hidup untuk menjalankan perintah Allah. Menulis hanya sekadar sarana untuk
memenuhi kebutuhan hidup, kebutuhan batin juga. Hanya salah satu sarana! Tidak
lebih!
Ketika Anda menulis, “Mosok ada penulis bisa naik haji dari bukunya?”
Sesungguhnya, apa yang ada di benak Anda terkait dengan profesi sebagai penulis
dengan kesejahteraan hidup?
Alhamdulillah,
saya termasuk yang berangkat umroh dan haji memang karena saya seorang penulis.
Ada seorang penggemar, kebetulan teman di pengajian yang begitu empati dan suka
sekali dengan karya-karya saya. Melalui adik inilah saya diajak umroh, kemudian
dihajikan secara gratis. Subhanallah, alhamdulillah…. Hanya Allah Swt yang bisa
membalas budi baiknya.
Ketika, akhirnya, Anda bisa naik haji berkat tulisan, apa pendapat Anda?
Tiada mampu
berkata-kata untuk waktu lama sekali, seperti mimpi laiknya. Namun, intinya
adalah bahwa melalui lahan profesi apa pun, kita bisa saja naik haji. Jika
Allah sudah berkenan, mana lagi yang tiada mungkin?
Tak sedikit orang, bahkan sebagian di antaranya penulis, yang memandang
bahwa imposible banget hidup dari hanya menulis. Pandangan Anda?
Tergantung
siapa yang menjadi penulisnya, barangkali. Kalau gaya hidupnya memang hura-hura
dan amburadul, yah, dari pekerjaan apa pun bisa imaging! Saya
pribadi memang hidup ini, maksud saya makan dan nafkah saya, selain atas izin
Allah Swt, Dia pun telah memberkahi saya sesuatu, yakni menulis!
Apa idealisme Anda sehingga mau melanglang buana dan sangat gencar
menyebarkan ‘virus menulis’?
Saya ingin
banyak generasi muda, terutama kaum perempuan yang menjadi penulis. Saya tak
pernah takut menularkan virus menulis ini, khawatir diambil jatah rezeki saya
umpamanya, tidak! Allah sudah mengatur semuanya untuk kita. Maka, berbagilah
dengan siapa pun.
Anda juga menyemaikan ‘virus menulis’ itu ke lingkungan keluarga sendiri.
Ini lebih sulit atau lebih mudah?
Kalau kepada
anak-anak, sama sekali tidak sulit. Bahkan, sesungguhnya tanpa diajak-ajak pun;
Butet (Adzimattinur Siregar) dan (Haekal Siregar) sudah ngebet duluan
berkarya. Mereka melihat contoh dari ibunya, barangkali pikir mereka; “Kok si
Mama tanpa keluar rumah pun punya duit banyak, ya?”
Penulis-penulis baru akan terus bertumbuh, dan Anda adalah salah satu
yang berperan dalam menginspirasi dan melahirkan mereka. Lalu, di mana Anda
menempatkan diri dalam gelombang kemunculan penulis-penulis baru tersebut?
Bukan saya yang
menempatkan diri, tetapi masyarakatlah atau kalangan komunitas sastra biasanya yang
melakukan hal demikian. Aduh, teteh mah hepi-hepi sajaaah!
Senang banget atuh banyak penulis baru di Tanah Air. Luar
biasa memang pesatnya!
Hal apa lagi yang ingin Anda raih dari aktivitas menulis ke depan?
Pertama, ingin
mengangkat karya-karya islami, bukan cuma karya saya sendiri, ke dunia layar
lebar dan pertelevisian. Kedua, ingin memiliki rumah baca untuk anak-anak
miskin di sekitar rumah saya. Masih banyak anak yang tak mampu untuk sekolah,
dan perempuan yang buta huruf. Ketiga, ingin lebih banyak menulis buku untuk
anak-anak dan lansia.
Terakhir, kita semua hanya “mampir ngombe” di dunia ini. Kalau masa
“mampir ngombe” itu sudah habis, Anda ingin dikenang sebagai penulis yang
seperti apa?
Insya Allah, saya
hanya ingin dikenang sebagai umat yang ikhlas, tawadu, dan istikamah saja di
mata Allah.Amin, ya Robbal alamin.[ez]
Subhanallah... :)
BalasHapusPosting Komentar