Papa
Super Sibuk
Suatu malam di rumah keluarga Aisha.
Oma sudah menyiapkan makan malam.
Macam-macam makanan terhidang di meja. Ada dendeng gepuk, sop iga, kentang
balado, ikan emas panggang, udang goreng besar-besar. Ditambah aneka macam
buah. Dan jus minuman yang bisa dipilih.
Ini sudah lebih dari ukuran empat
sehat lima sempurna. Seharusnya semuanya ini membuat penghunii rumah kerasan.
Merasa senang dan berbahagia.
Ditambah rumah mentereng,
perabotannya yang serba moderen. Bahkan ada kolam renang. Ternyata semua
kemewahan ini bukan jaminan kebahagiaan.
Setidaknya sejak Mama tiada.
Kesedihan serasa merambah ke mana-mana. Ke setiap dada para penghuninya. Oma,
Papa, Aisha dan para pembantu.
Oma dan Aisha sudah berada di ruang
makan. Berdua saja, sesungguhnya sedang menunggu Papa.
Tiba-tiba Mbak Nanik tergopoh
menyodorkan telepon kepada Oma.
“Dari Bapak,” bisik Mbak Nanik
nyaris tak terdengar.
“Ya, terima kasih,” Oma segera
menerimanya.
Mbak Nanik berlalu.
Sejurus kemudian Oma berkata: “Kita
tidak perlu tunggu Papa Ais lagi, ya.”
“Apa Oma?” Aisha tersentak dari
keasyikannya.
Selama neneknya menerima telepon, ia
memandangi lukisan di pinggan sop. Lukisan perempuan bersayap dengan bayinya
yang juga bersayap. Mereka berdua sedang melayang-layang, terbang.
Sebuah lukisan yang unik dan aneh!
Aisha sungguh menyukainya. Ia
membayangkan, ia dan ibunya yang bersayap. Ia dan Mama bisa terbang ke
mana-mana.
Berdua selalu, ah, alangkah
bahagianya!
“Ya, barusan ada telepon. Papa Ais
akan pulang terlambat. Nah, kita makan sekarang saja.”
“Kan Papa sudah janji. Papa mau
makan bareng kita malam ini,” protes Aisha, wajahnya jelas kecewa sekali.
“Iya, Sayang, tapi mendadak ada
janji dengan teman bisnisnya….”
Aisha terdiam. Mulutnya terasa
hambar. Selera makannya mendadak hilang. Papa
sering sekali mengingkari janjinya!
Begitu super sibuknya Papa, huh!
Sampai lupa, di rumah ada anak dan
ibunya yang menunggu.
Hanya untuk makan bersama sekalipun,
Papa tidak bisa?
“Mari, Oma ambilkan sop kesukaanmu.”
Oma hendak menyendokkan nasi ke
piring Aisha.
“Tidak perlu, Oma. Biar saja, nanti
Ais ambil sendiri,” tolak Aisha.
Kepingin rasanya Aisha pergi dari
situ. Namun, ia tidak sampai hati. Kasihan juga Oma. Ia sudah susah-payah
menyediakan semuanya ini. Meskipun yang memasaknya bukan Oma. Melainkan Bibi
Ijah dibantu keponakannya, Mbak Nanik. Tetap saja Oma ikut wara-wiri menyiapkan.
”Mengapa belum dimakan?” Oma menatap
cucunya.
Aisha sudah mengambil makanan.
Sedikit nasi dan sekerat dendeng gepuk. Tapi ia belum bergerak untuk mulai
menyantapnya. Ia hanya menatap isi piringnya sekilas.
“Tunggu apa? Kita mulai berdoa dan
makan, ya?” bujuk Oma.
“Mmm…. Oma, makanan di sini
kebanyakan,” gumam Aisha pelan.
“Biasanya juga kan begini, Sayang.
Kita memasak macam-macam, biar banyak pilihan.”
“Iya, Oma, ini makanannya
berlebihan. Kita tidak bisa memakan semuanya.”
Oma tersenyum. “Tidak apa-apa. Kan
masih ada orang-orang selain kita berdua. Makanannya tidak akan sampai
terbuang.”
“Oma,” tukas Aisha mulai jemu.
“Dengarkan Ais dulu….”
Aduh, Aisha ingin berteriak saja!
Mengapa Oma tidak paham?
Aisha kepingin suasananya tidak sepi
begini!
“Iya, Sayang, lanjutkan bicaranya
sambil makan,” tak jemu Oma membujuknya.
“Ais tahu, ada Bibi Ijah, Mbak Nanik
dan Pak Arman….”
“Ditambah Mang Kebon loh.”
“Eeeh, iya, tapi Mang Kebon kan lagi
pulang kampung.”
“Kita ngobrolnya sambil makan. Iya
kan, Sayang?” pinta Oma.
“Sebentar,” sanggah Aisha. “Kita
ajak mereka makan bareng, ya Oma, kumohooon….”
Oma perempuan paro baya berumur 58
tahun. Ia tampak cantik, enerjik dan penuh semangat. Maklum, Oma istri seorang
prajurit. Opa gugur di Irian 15 tahun yang silam. Saat menunaikan tugas negara,
membela tanah air. Dari serangan gerakan pemberontakan di pedalaman Irian.
“Baiklah,” sahut Oma menyerah.
Sebelumnya Oma sering menolaknya.
Oma bilang, biar saja mereka makan di tempat masing-masing. Kecuali jika mereka
sedang mengadakan selamatan.
Belakangan Aisha tahu. Oma masih
terjebak dalam kesedihannya. Karena ditinggal putri kesayangan untuk
selama-lamanya.
“Benar nih, Oma? Kita ajak semuanya,
ya?”
“Iya, panggil saja semuanya ke
sini.” Oma tersenyum tulus.
“Yeesss!” seru Aisa seraya meloncat
dari kursi. Sehingga mengagetkan Oma.
Kemudian anak itu bergegas menuju
bagian belakang rumah. Ia berseru memanggil-manggil, girang sekali.
“Mbak Nanik! Bi Ijaaah! Mbaaak!
Bibiii!”
Para pembantu ditempatkan di
rumah-rumah kecil, tepat di belakang rumah utama. Aisha berkeliling, gerakannya
bagaikan menari-nari. Ia melintasi kolam renang.
Ia kemudian membuka pintu belakang.
Itulah yang membatasi bangunan utama dengan rumah para pembantu.
Suaranya yang lantang dan jernih,
menggema ke sekitarnya.
“Pak Arman, Bi Ijah, Mbak Nanik….
Kita makan bareng, ayooo!”
Tak berapa lama kemudian, ruang
makan yang luas itu telah semarak. Ada Bibi Ijah, Mbak Nanik dan Pak Arman. Ia
mengajak serta anak menantu, dan seorang cucunya. Mereka sedang mengunjungi Pak
Arman yang telah lama ditinggal istrinya.
“Maaf, Oma, apa betul kami diundang
makan malam ini?” tanya Bibi Ijah, mewakili teman-temannya.
“Iya, tapi bukan Oma yang
mengundang,” elak Oma, mengerling ke arah Aisha.
Aisha tertawa kecil. “Ais yang minta
kita makan bersama, Bi Ijah.”
“Sebentar, boleh mengajak keluarga
saya, Non Ais?” tukas Pak Arman.
“Tentu saja, boleeeh!” tegas Aisha.
“Iya kan, Oma?”
Oma mengangguk. Aisha senang melihat
Pak Arman bisa berkumpul dengan keluarganya. Anaknya, Bang Mus, kerja di
perkebunan milik Papa.
Waktu Mama masih ada, Aisha sering
diajak menginap di rumah peristirahatan. Lokasinya di Puncak, rumah itu
dikelilingi perkebunan teh. Pemandangannya indah sekali. Namun, sejak Mama
tiada, mereka belum pernah ke sana lagi.
Oma memandangi Aisha dengan perasaan
terharu sekali.
Wajah Aisha berseri-seri. Sepasang
matanya yang indah tampak berbinar-binar.
“Nina, sini makannya dekat Kakak,
ya,” pinta Aisha. “Iiih, kamu lucunya!” Dijawilnya pipi cucu Pak Arman itu.
Nina tertawa senang. Aisha
membimbing anak perempuan berumur dua tahun itu. Agar ia duduk di kursi
sebelahnya. Tubuh Nina gemuk. Pipi-pipinya tembam. Menggemaskan sekali.
“Pak Arman, silakan memimpin doa, ya,”
pinta Oma ramah.
Pak Arman mengiyakan. Ia meminta
semua yang hadir berdoa sebelum makan.
“Mamaaam!” seru Nina dengan lucu,
begitu doa selesai.
“Iya, iya…, mari kita mamam, eh
makan!” sambut Aisha, tertawa riang.
Sejak Mama tiada, inilah makan malam
yang ceria di rumah Aisha. Semua wajah tampak cerah. Mereka menikmati hidangan
sambil berbincang akrab.
Papa pulang menjelang tengah malam.
Suasana rumahnya telah hening, senyap. Ia menengok Aisha di kamarnya.
Dibetulkannya letak selimut Aisha. Lalu, perlahan diciumnya kening Aisha. Tentu
saja dengan sepenuh rasa sayang.
“Maafkan Papa, ya Nak,” bisiknya
mendesir di telinga Aisha.
Kemudian lelaki itu berlalu, menutup
pintu kamar hati-hati. Ia tidak tahu. Aisha sesungguhnya belum tidur.
“Papa pasti sudah kerja keras,”
gumamnya sendiri. “Ais jangan manja, jangan merengek. Ais tidak boleh
mementingkan diri sendiri. Iya, kasihan sekali Papa….”
***
Posting Komentar