Pulang
Berhaji Bersama Travel Cordova, 2006
Di
pesawat Garuda yang membawa kami kembali ke Tanah Air, ketika aku akan ke
toalet, sekilas aku seperti melihat sosok itu.
Ya, dia sosok perempuan bergamis
hitam, dan berkerudung hitam. Begitu dekat jaraknya dengan diriku, sehingga aku
bisa membaui aroma khas Timur Tengah, yakni; harum kiswah kain yang menyelimuti
Kabah.
“Anda
siapa, jemaah dari mana?” tanyaku serak, suaraku kembali samar-samar dan sulit
kukeluarkan.
Sekilas
aku berpikir dia seorang jamaah nyasar, dan ingin minta bantuanku untuk
menunjukkan rombongannya. Tetapi, tidak, bantahku kemudian. Wajahnya mirip
seseorang yang pernah kukenal, entah di mana, tetapi yang jelas dia perempuan
Arab.
Dia
tidak menyahut, kucari-cari matanya, tetapi dia menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Seakan-akan tak sudi ditatap matanya, dan ditafsirkan macam-macam
oleh siapapun, termasuk diriku.
Aku
mengambil wudhu dengan sangat cermat, mulailah dari wudhu, gumamku kepada
diriku sendiri. Aku tak ingin berhalusinasi, jika sosok itu memang tiada, maka
lenyaplah dari pandanganku, doaku.
Selang
kemudian, ketika usai wudhu, kutoleh ke arah dia biasa berada; tidak ada lagi! Dengan
perasaan gamang, pikiran dan hati diliputi seribu tanya, kulangkahkan kembali
kakiku menuju kursiku.
Oya,
tepat di atas kepalaku ada AC yang menyemburatkan hawa dingin luar biasa. Aku
sudah minta bantuan pramugari agar setidaknya rasa dingin itu tidak menyemburat
tepat ke kepalaku, tetapi, tak ada respon.
Anda
bisa bayangkan, bagaimana kondisiku yang sedang demam, tersembur hawa dingin
luar biasa, kepalaku sungguh terasa membeku!
Ketika
aku mulai mendirikan sholat hormat di kursi, berusaha untuk tidak terganggu
dengan hawa dingin dari atas kepala. Usai sholat, kutundukkan wajahku
dalam-dalam; kuseru nama-Mu, ya Robb, mohon ampunan-Mu, mohon maghfirah-Mu.
Semua
terasa hening yang panjang, bahkan dengung pesawat yang sebelumnya kudengar
pun; raib dari gendang pendengaranku!
Di
tengah hening maha itulah, seketika serasa ada yang menyelimuti kepalaku,
menghangatkan kepala, dan terus parat menyelusup ke sekujur tubuhku.
Subhanallah walhamdulillahi wala ilaha ilalahu Allahu Akbar!
Entah
berapa lamanya hal itu terjadi, tetapi yang jelas aku mengalami semacam situasi
yang sungguh mencengangkan, tak pernah kurasakan sebelumnya, yakni; bagaikan
terbawa tidur yang lelap dan nikmat.
Kurasa
suasana semacam itu, kehangatan yang indah itupun masih terbawa, sampai
kaki-kakiku menginjak kembali bumi Pertiwi. Terus menempel hingga rombongan
dibawa ke hotel transit di Bandara Cengkareng.
Manakala
semuanya heboh dengan urusan boarding,
para penjemput, aku malah terus saja terlena dalam buaian, entah siapa gerangan
dia. Bahkan ketika adiknya Sari menyediakan diri untuk membawaku bersama
rombongannya dengan mobil pribadi, aku hanya mengiyakan dan manut saja,
setengah tidur setengah melek.
Maka,
sampailah di rumah kami di kampung Cikumpa, kurasakan diriku masih seperti
“sakau”. Melayang-layang, demam, panas menggigil silih berganti, kadang eling
dan kadang samar-samar saja; semua kuterima yang menyalamiku, dan meminta maaf
tak bisa berlama-lama menemani.
Sungguh
aku ingin segera sendiri, merebahkan tubuhku, dan memejamkan mata selamanya.
Ketika terbangun pada dinihari, kutemukan diriku berada di tempat tidur, di
kamarku di pojokan rumah di tengah perkampungan bernama Cikumpa.
Dan
sosok itu kembali tampak, dia sedang duduk bersimpuh menghadap kiblat di atas
sajadah yang entah siapa telah membentangkannya.
Selama
sebelas hari, sebelas malam sosok bergamis dan bercadar serba hitam itu terus
menemaniku. Demikianlah setidaknya perasaanku, naluriku mengatakannya pula,
betapa ingin kukabarkan hal ini kepada anakku Butet. Namun, setiap kali bibirku
akan mengucapkan satu patah kata saja tentang sosok ini, seketika itu pula
mulutku terkatup rapat.
Jika
malam, hanya berdua saja di kamarku, acapkali dia terasa mengguyah-guyah
badanku. Kemudian menuntun dan membimbingku ke kamar mandi, bagaikan guru
mengajariku bagaimana caranya mengambil air wudhu yang baik dan benar dalam
situasi melayang-layang, demam silih berganti tiada berkesudah.
Puncaknya,
dinihari itu, malam ke-11, Butet sudah tak tahan lagi melihat ibunya ini
menderita agaknya. Dia memaksaku agar mau diangkut ke rumah sakit. Dia sudah
memesan taksi sejak tengah malam.
“Sebentar,
Mama mau sholat dulu,” kataku saat Butet mewartakan bahwa taksi akan tiba
sekitar pukul 03.00 itu, di ujung gang sana.
Sambil
masih melayang-layang, kulihat sosok itu tetap setia menguntitku, mengikuti ke
mana pun aku bergerak. Cukuplah sudah, pekikku dalam hati, seketika ada
pemberontakan luar biasa yang timbul dari dalam diriku.
Logikanya
begini, jika sepanjang hidup aku akan dikuntit entah oleh sosok apa namanya
ini, bagaimana jadinya hari-hariku nanti? Aku bisa dibilang orang
aneh-nyeleneh, sinting-gila-miring, jika tak sadar mengajaknya berbincang,
mengusirnya atau, entah apapun lagi.
Maka,
kuputuskan untuk mengusirnya saat ini juga, ya, tak bisa ditunggu lagi!
Begitu
usai sholat tahajud, kulafazkan Ayat Qursy berulang kali dan nyaris tanpa jeda,
sehingga terasa sesak napasku. Entah dalam hitungan ke berapa saat kuberanikan
menghadapinya, tepat (dalam bayanganku!) kami duduk berhadapan. Kupandangi
makhluk bergamis dan bercadar serba hitam itu lekat-lekat, kutelusuri dia dari
ujung rambut sampai ujung-ujung jari tangannya.
“Ukhti
yang dirakhmati Allah,” ujarku mengawali dengan santun.”Sudahilah kelakuanmu
ini, ya, Saudariku seiman. Jangan pernah mau menjadi pengikutku, ya. Mengapa?
Karena aku ini bukan seorang khalifah. Aku hanya seorang perempuan lemah, ibu
dari dua anak, nenek dari dua cucu, dan aku penyakitan. Ilmuku juga sama sekali
tak seberapa. Jika kamu memaksa terus menjadi pengikutku, maka rugilah dirimu.
Jadi, kumohon dengan sangat, demi kebaikan kita bersama, sudah waktunya;
pulanglah ke tempat asalmu!”
Aku
bisa mendengar ketegasan dalam kata demi kata yang terucapkan dari bibirku. Dan
aku tak mau melihat ada perlawanan atau pembangkangan. Jadi, kupilih memejamkan
rapat-rapat dan kembali kutasbihkan lidahku dalam asma-Nya.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbaaaar….”
Entah
sampai berapa lama, kurasa sampai ada yang membangunkanku, menuntunku keluar
rumah. Butet perlu menjelaskan situasinya agaknya, sehingga harus
mendiskripsikannya sebagai berikut; ”Mama tahankan, ya, kita jalan sebentar.
Taksinya sudah datang. Nanti kita akan ke rumah sakit Polri di Kramat Jati.”
Aku
hanya menggumam perlahan, sempat kucari sosok itu dengan ekor mataku. Raib, ya,
makhluk asing yang terbawa dari Jeddah itu kini sungguh telah tak tampak lagi.
Menghilang entah ke mana, mungkin kembali ke tempat asalnya di bumi Allah sana.
@@@
Posting Komentar