Prolog
Saya sedang menyunting karya putraku, Haekal Siregar yang sedang suka-sukanya mendaki gunung. Acapkali mengajak istrinya, Seli, yang dinikahinya saat mereka berusia 17 tahun, sama-sama semester dua di Universitas Indonesia.
Menurut Haekal, mendaki gunung bersama istri juga dapat mempererat cinta kasih mereka, atau sebaliknya; tambah banyak berantem. Haha!
Ini adalah bukunya yang ke-7, setelah sempat blockwrite selama beberapa tahun, sekarang ngebut kembali; merekam jejak sejarahnya!
Berikut adalah nukilan catatan perjalanannya.
Ini untuk menyemangati para penulis muda.
Gunung Gede, 6-7 November 2010
Pengalaman pertama hiking
Ok, jadi, paragliding sudah… Snorkling done… Masih banyak sih, yang belum dicoba. Caving (waktu itu belum), rafting, dan diving (sampai sekarang, belum :P ). Tapi, mari coba dulu salah satu kegiatan yang dari dulu sering dicoba: hiking!
Dan dalam semangat yang membara karena penurunan berat badan saya secara drastis akibat program diet sukses besar. Bayangkan saja, dari 87 ke 67 kilogram dalam waktu 4 bulan!,
Tak pelak lagi, saya dalam kondisi siap melakukan apapun!
Lagipula, seberapa beratnya sih, hiking? Toh saya sudah sering naik ke Puncak Gunung Tangkuban Perahu selama ini!
Dengan berbekal logika seperti itu, saya mendaftar ke TNGP (Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango) sebulan sebelumnya (yups! Perlu SEBULAN sebelumnya, untuk bisa dapat jatah hiking ke dua gunung ini!). http://www.booking.gedepangrango.org/
Figure 1. Ok, mungkin ini memang bukan situs pendaftaran hiking, melainkan daftar pilihan lagu karaoke. But basically, they’re the same, right? Right?
Ok, daftar online sudah, tinggal memenuhi batas quota minimum anggota hiking (3 orang). Saya, istri saya, dan tambahan satu lagi: mungkin mama mau kali yah, diajak hiking.
Figure 2. Afterall, beliau manini super kan? pasti kuat deh, diajak hiking :D
Sayangnya, dengan lugas dan tegas, beliau menolak! Sigh… jadilah ajak saudara saya, Syahrial.
All set! Here we go!
Sabtu, 6 November 2010, kami bertiga, dengan menggunakan motor, lalu jalan ke Cisarua. Tidak lupa tentunya, mampir dulu di Masjid At Ta’awun. Karena, kenapa tidak? :D
Sampai di gerbang pendaftaran pukul 15.00, kami hampir saja pulang dengan tangan kosong karena ternyata TNGP hampir saja tutup! Untung dengan keahlian bernegosiasi, plus pengalaman menjadi orang Indonesia (cuma perlu sedikit sisipan :D )
Akhirnya petugas pendaftaran membolehkan kami untuk mendaftar dan memberikan surat izin pendakian :)
Ok, semua siap! Tinggal jalan! Bentar… gimana kalau ngopi dulu? :)
Jadi, kami pergi dulu ke kumpulan tempat parkir motor dan warung di sekitar TNGP.
Jadi, kami pergi dulu ke kumpulan tempat parkir motor dan warung di sekitar TNGP.
Terus terang, keputusan membeli kopi ini, ternyata ‘menyelamatkan nyawa’ kami semua. Jadi gini, pas saya minum kopi, iseng-iseng saya mengedarkan pandangan ke sekitar.
Ketika pandangan saya terbentur pada kios tempat penyewaan peralatan hiking, saya jadi kepikiran, “Kayaknya seru juga tuh, nyewa tenda. Kayak waktu pramuka dulu.”
Setelah negosiasi, disepakati saya menyewa 1 tenda dan 2 matras (soal matras, ini sih sekalian aja). Terus terang, sampai saya meminjam tenda dan matras, yang terbayang sama saya, kegiatan hiking itu paling jalan 30 menit, duduk-duduk lihat pemandangan puncak, terus pulang (persis sama kalau kita ke Puncak Tangkuban Perahu).
Sewa tenda, ya iseng-iseng aja. Biar seru gitu :D
Ok, surat ijin sudah ada, tenda beres, matras menggantung 2 di bagian luar tas. Apalagi yang kurang? Bekal minuman? Ah, gak usah… paling juga ada warung di puncak sana. Bahkan saya tidak akan kaget kalau menemukan McDonald di Puncak Gunung Gede!
Ok, surat ijin sudah ada, tenda beres, matras menggantung 2 di bagian luar tas. Apalagi yang kurang? Bekal minuman? Ah, gak usah… paling juga ada warung di puncak sana. Bahkan saya tidak akan kaget kalau menemukan McDonald di Puncak Gunung Gede!
Lagipula, ketika saya bertanya ke penjaga kios penyewaan, apakah di atas nanti ada warung, kata si penjaga sih, ada :) Jadi? Aman! Berangkat kita!
Pukul 16.00, saya mulai memasuki wilayah TNGP.
30 menit pertama, begini tampang saya:
Pukul 16.00, saya mulai memasuki wilayah TNGP.
30 menit pertama, begini tampang saya:
Ok, ternyata 'kurus' dengan 'bugar' adalah 2 konsep yang berbeda :D
Tapi saya masih optimis! Jalanannya bagus kok! Pasti sampai puncak jalanannya seperti ini!
Figure 7. Ah, gampang! sambil lari juga bisa :D
Teruuus… sampai sekitar pukul 17.30, saya sampai di pertigaan antara arah ke air terjun dengan ke jalur pendakian.
Teruuus… sampai sekitar pukul 17.30, saya sampai di pertigaan antara arah ke air terjun dengan ke jalur pendakian.
Figure 8. Errr... Arah pendakian kemana yah?
Di sini saya mulai bingung. Jalan berbatunya Cuma satu, terus kemana arah pendakian yah? Nanya-nanya ke yang sedang nongkrong di situ, saya malah ditunjukkan jalan setapak menanjak, persis seperti jalan kecil di samping WC yang suka digunakan untuk membuat sampah!
Tapi setelah orang yang saya tanya sampai sumpah-sumpahan ini jalanan menuju puncak, saya akhirnya bertanya ke anggota tim, “Lanjut?” Yang dijawab dengan ragu (tapi lantang) oleh mereka, “Lanjut!”
Ok, paling tidak, saya punya 1 senter yang saya beli dari Indomaret seharga 10 ribu (dan itu senter satu-satunya).
Ok, paling tidak, saya punya 1 senter yang saya beli dari Indomaret seharga 10 ribu (dan itu senter satu-satunya).
Cuaca mulai gelap, tapi dengan senter, apa sih yang gak terlihat?
Kami melanjutkan perjalanan, mulai masuk ke daerah perhutanan.
Sayup terdengar suara adzan magrib dari perumahan di bawah. Matahari mulai tidak terlihat (dari awal juga emang ketutup awan sih, maksudnya, sinarnya itu lho). Senter mulai dinyalakan, dan 15 menit kemudian, padam!
Waduh!
Kami saling memandang kebingungan, tanpa senter, bahkan ketika kami saling memandang, wajah kami pun tidak kelihatan!
“Lha, gimana ni?” tanya saya kebingungan.
“Buka tenda?” usul Syahrial.
“Cari warung?” usul saya.
“Ya udah, kita duduk dulu aja, sambil doa,” usul Seli.
Kami melanjutkan perjalanan, mulai masuk ke daerah perhutanan.
Sayup terdengar suara adzan magrib dari perumahan di bawah. Matahari mulai tidak terlihat (dari awal juga emang ketutup awan sih, maksudnya, sinarnya itu lho). Senter mulai dinyalakan, dan 15 menit kemudian, padam!
Waduh!
Kami saling memandang kebingungan, tanpa senter, bahkan ketika kami saling memandang, wajah kami pun tidak kelihatan!
“Lha, gimana ni?” tanya saya kebingungan.
“Buka tenda?” usul Syahrial.
“Cari warung?” usul saya.
“Ya udah, kita duduk dulu aja, sambil doa,” usul Seli.
Akhirnya, karena toh memang tidak kelihatan apa-apa, kami memutuskan untuk duduk. Ketika duduk itulah kami menyadari kritis lain: persediaan air, sebotol kecil minuman mineral, sudah hampir habis!
“Kok dari tadi gak ada warung, yah?” tanya saya kebingungan lagi.
“Di atas kali, warungnya,” jawab Syahrial, still yakin!
“Di atas kali, warungnya,” jawab Syahrial, still yakin!
Dikurung kegelapan, tanpa air, kami Cuma duduk-duduk sambil memainkan korek gas (lumayan, ada lah, penerangan sedikit).
Tidak berapa lama, dari kejauhan ada suara orang melintas.
Ketika para pendaki tersebut mendekat, saya sampai merasa perlu mengecek apakah kaki mereka menapak ke tanah atau tidak :D Well, sekedar jaga-jaga :D
“Permisi, Mas,” ujar mereka sambil melewati kami.
Tadinya saya hampir sekedar mempersilahkan mereka lewat, sampai akhirnya saya memberanikan diri bertanya, “Ke puncak, mas?”
“Iya,” jawab salah satu dari mereka.
“Iya,” jawab salah satu dari mereka.
“Gini Mas, senter kami mati. Bisa pinjam senternya gak mas? Atau kita jalan bareng deh, biar kita bisa ikut senter mas”
Mereka saling memandang sebentar, mungkin mencoba memutuskan, apakah kami perampok atau bukan :D
“Boleh aja sih, Mas. Ini Mas, pegang aja senter saya,” jawab salah seorang dari mereka.
“Wah! Makasih banget nih, Mas,” jawab Seli kegirangan.
“Wah! Makasih banget nih, Mas,” jawab Seli kegirangan.
Mereka kemudian hampir berlalu lagi. Mungkin pikir mereka, nanti saja senternya dikembalikan di puncak (pede banget mereka, kami bakal sampai ke puncak, ya :D ). Dari perlengkapan yang mereka bawa sih, jelas bahwa mereka sudah terbiasa hiking! Persediaan minuman saja, mereka bawa 4 botol mineral ukuran 1 liter untuk masing-masing orang!
Waaah… kesempatan minta air minum juga nih :D
“Mas, boleh minta air minumnya gak?” tanya Syahrial gak pake malu lagi :D
“Emang gak bawa minuman, mas?” tanya mereka keheranan.
“Bawa sih, tapi botol kecil,” jawab Seli.
“Mas, boleh minta air minumnya gak?” tanya Syahrial gak pake malu lagi :D
“Emang gak bawa minuman, mas?” tanya mereka keheranan.
“Bawa sih, tapi botol kecil,” jawab Seli.
Kelihatannya sih mereka benar-benar kebingungan kali ini. Nih orang, beneran niat naik puncak gak sih?
Untungnya, mereka akhirnya berbaik hati memberikan sebotol air mineral ukuran 1 liter kepada kami.
“Ok, mas… kami duluan, yah,” ujar salah seorang dari mereka sambil berlalu.
“Ok, mas… kami duluan, yah,” ujar salah seorang dari mereka sambil berlalu.
“Mas…,” panggil saya lagi.
“Ada apalagi, ya Mas?”
“Ada apalagi, ya Mas?”
“Bareng aja yuk? Soalnya kami juga baru pertama kali nih, hiking,” ujar saya malu-malu.
“Ooh, boleh. Hayu Mas,” jawab mereka agak ragu.
“Ooh, boleh. Hayu Mas,” jawab mereka agak ragu.
Ok, mungkin pada tahap ini, kami sudah sampai pada tahap abusive pada kebaikan orang :P tapi mau bagaimana lagi? Ternyata hiking mulai terlihat tidak seperti kegiatan jalan-jalan biasa seperti yang saya perkirakan sebelumnya…
Figure 10. Pada saat melewati jalur ini, saya mulai mikir, “Ok, mungkin hiking bukan seperti jalan-jalan di Puncak Tangkuban Perahu!,” Warung di mana yah?
Akhirnya, kami memperoleh teman perjalanan! Setelah berkenalan, kami mengetahui bahwa nama mereka Riko dan Alan.
Tersaruk-saruk, kami mencoba mengimbangi kecepatan mereka mendaki. Walaupun pada akhirnya, kami sering meminta mereka menunggu kami yang ngejoprak kelelahan.
Pos demi pos, dalam gelap, kami lewati. Hampir setiap melewati pos pendakian, saya berfikir untuk menyerah saja, lalu buka tenda. Untung masih ada Syahrial yang menyemangati kami untuk jangan menyerah! Untuk tidak menyia-nyiakan usaha kami sampai sejauh ini. Dan terus terang, hanya karena harga diri saja (malu ke Syahrial yang notabene teman main saya sejak kecil) yang bisa memaksa kaki ini terus melangkah.
Selangkah, selangkah lagi, sebentar lagi, pikiran itu seperti litani yang mengisi kekosongan pikiran saya saking capeknya! Otak saya sekedar fokus ke kaki saya, boro-boro melihat-lihat pemandangan (yang toh isinya memang cuma kegelapan!).
Oh, tambah lagi, hujan sesekali turun sepanjang jalan. Terkadang deras, terkadang rintik, tapi tetap basah! Untung Seli bawa payung. Soal repotnya naik gunung sambil bawa payung, urusan nomer dua!
Akhirnya! Pukul 23.30, kami sampai di Pos Kandang Badak! 7 jam 30 menit! Seumur hidup, baru kali ini saya berjalan selama dan sejauh ini (di luar mall, di dalam mall sih, masih kalah sama rekor nyari baju lebarannya Seli :D)
“Ini puncaknya, Mas?” tanya Seli sambil ngos-ngosan.
“Belum Mbak, tapi sudah dekat kok. Dari sini kira-kira 2 jam lagi ke puncak. Kami akan menunggu teman-teman kami di sini,” jawab Riko.
“Belum Mbak, tapi sudah dekat kok. Dari sini kira-kira 2 jam lagi ke puncak. Kami akan menunggu teman-teman kami di sini,” jawab Riko.
“Dua jam lagi! Dan itu terhitung sudah dekat?!!!,” batin saya sambil ngos-ngosan (bahkan otak saya pun, ngos-ngosan!).
“Btw, McD-nya di mana, ya Mas?” tanya saya akhirnya.
Kali ini, pertanyaan saya rupanya menghenyak mereka sampai tidak sanggup berkata-kata. Setelah beberapa menit mencoba memutuskan apakah saya bercanda atau tidak, Alan menjawab dengan hati-hati,
“Ya, nggak ada McD sih Mas di sini... Aneh!”
“Ok, gak ada McD. Warung juga gak apa-apa,” jawab saya masih polos.
Dan akhirnya mereka tidak tahan lagi! Benar-benar terbahak-bahak! Cukup lama juga mereka terbahak-bahak di depan kebingunan saya… walaupun kecurigaan mulai terbersit di otak saya.
“Gak ada McD dan gak ada warung, Mas,” jawab mereka akhirnya.
Tampangnya itu lho! Benar-benar seperti melihat orang yang helpless :D :D
“Ooh…,” jawab saya pendek saking shocknya.
“Ok Mas, kita set up camp dulu ya?” ujar Riko sambil nyari tempat buat mendirikan tenda.
“Ooh…,” jawab saya pendek saking shocknya.
“Ok Mas, kita set up camp dulu ya?” ujar Riko sambil nyari tempat buat mendirikan tenda.
Berhubung suasana di Kandang Badak memang gelap (semua orang sedang tidur, mungkin karena hujan jadi malas keluar), kami ikut aja dengan mereka untuk menentukan space yang tepat untuk mendirikan tenda.
Setelah dapat space (agak pojok karena tempat lain sudah penuh), baru deh saya menurunkan tenda yang dari tadi saya tenteng-tenteng. Soal bikin tenda ini juga, sempat bingung bagaimana caranya.
Untung Syahrial sudah pernah bikin tenda sebelumnya, jadi kita mengikuti arahan dari Syahrial aja, soal caranya.
Jauh setelah para penolong kami selesai mendirikan tenda, baru tenda kami jadi.
Figure 11. Tenda pertama saya
Setelah tenda selesai, baru terasa betapa dingin rasanya tubuh ini. Baju yang basah plus keadaan berdiam diri dan angin yang berhembus sepoi-sepoi, makin membuat badan menggigil. Bergantian, kami ganti baju, walaupun saya (yang tidak membayangkan sama sekali bahwa baju akan basah), tidak membawa baju dalam ganti. Jadilah baju luar diganti, sementara baju dalam tidak. Tetap saja jadi terasa dingin :’(
Tenda selesai, ganti baju sudah, sekarang jadi bingung mau ngapain lagi. Masak makanan? Boro-boro bawa
kompor, mie bungkus saja Cuma bawa 2 biji. Kalau dimakan mentah-mentah, sayang banget. Pasti tidak terasa apa-apa :P
Sementara di tenda Riko dan Alan, mereka sudah asyik memasang kompor gas dan memasak air panas. Benar-benar bikin ngiler!
Karena bingung bagaimana cara mengakali kendala masak-memasak ini, akhirnya kami hanya bisa memandang ke arah Riko dan Alan yang sedang dengan asyiknya menyeruput minuman hangat mereka. 1 menit, 5 menit, 15 menit, kami terus memandangi mereka.
Mungkin mulai merasa terganggu melihat pemandangan 3 orang yang pasang tampang memelas, akhirnya Alan menawarkan air mereka, “Mau air panas, Mas?”
Yang dijawab serempak oleh kami secara antusias, “Mau!”
Yang dijawab serempak oleh kami secara antusias, “Mau!”
“Ya ambil aja sih, mas… kami sudah selesai kok,” tawar Alan.
“Sip… sip… sip…,” jawabku antusias sambil mengambil ketel masak mereka.
“Sekalian pinjam tempatnya, ya mas… soalnya kami gak bawa tempat air panas,” pintaku sambil pasang mode tampang memelas lagi :D
“Sekalian pinjam tempatnya, ya mas… soalnya kami gak bawa tempat air panas,” pintaku sambil pasang mode tampang memelas lagi :D
“Ok,” jawab mereka singkat, mungkin sampai titik ini, mereka mulai sadar bahwa kami memang tidak bawa apa-apa.
Cuma 2 bungkus mie yang ditaruh di ketel berisi air panas (yang tidak berapa lama, langsung dingin lagi karena dinginnya cuaca), tapi terasa bagaikan makanan penyelamat nyawa! Bergantian, kami memutarkan ketel tersebut sampai habis (termasuk kuahnya!).
Setelah mengembalikan ketel (beserta sendok dan garpunya), kami memutuskan agar langsung tidur saja karena cuaca dingin benar-benar tidak tertahankan dan kami berharap dengan tidur kami bisa melupakan dingin tersebut.
Satu-satunya benda yang bisa membantu menghangatkan badan hanyalah selembar sarung yang harus dipakai bergantian oleh saya dan istri! Syahrial sih enak, dia pakai jaket motornya, jadi mungkin terasa lebih hangat (mungkin yaaaah).
Tidur!
Tidur!
Dan 15 menit kemudian, bangun!
Benar-benar tidak bisa tidur!
Sudah saya coba meringkuk sekecil mungkin, tapi dinginnya memang tidak tertahankan! Sarung juga sama sekali tidak membantu. Kalau badan terasa dingin dan ditutupi sarung, badan akan hangat tapi kaki kedinginan. Kaki ditutupi, badan yang kedinginan!
Akhirnya menyerah berjuang untuk bisa tidur, kami memutuskan untuk duduk melingkar sambil memeluk lutut. Mencoba mengobrol pun susah! Gigi gemeletukan kedinginan. Jadi kami hanya bisa duduk berhadap-hadapan membentuk lingkaran, sambil sama-sama terdiam, masing-masing berjuang melawan dingin!
Jam 12 malam, rombongan Alan dan Riko terdengar datang. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kapan sampai, Ko?”
“Baru banget nyampe,” jawab Riko.
“Lah? Tumben? Biasanya lo cepet jalannya?”
“Itu, tadi ketemu 3 orang lagi nongkrong di pinggir jalan. Kasian banget, cuy! Gak bawa senter, minuman, makanan, gak tau jalan juga. Jadi gw barengin aja, daripada kenapa-kenapa,” jawab Riko.
Percakapan tersebut terjadi di luar tenda kami, tapi terdengar juga karena tendanya bersebelahan. Kami sih hanya bisa mesam-mesem mendengar deskripsi Riko tentang kami :D
Jam 3 subuh, mata sudah terasa berat sekali, tapi badan masih tidak bisa dipaksa tidur.
Jam 4 subuh, akhirnya otak menyerah menangkap sinyal dingin, dan berhasil mengabaikannya, akhirnya saya bisa tertidur juga!
Jam 5 subuh, badan memutuskan untuk menerima sinyal dingin lagi, jadi bangun lagi…
Jam 6 pagi, saya masih berharap ada tukang jualan yang akan berkeliling menjajakan makanan. Perut rasanya keroncongan bangat! Namun harapan tinggal harapan, yang terasa hanyalah badan yang terpapar dingin dan perut yang makin keroncongan.
“Yowis, kita langsung jalan aja ke puncak!,” putusku akhirnya. Daripada Cuma menggigil doang di sini… mending sekalian meneruskan perjalanan ke puncak! Paling tidak, dengan bergerak, mungkin tubuh ini bisa terasa hangat!
Setelah dapat petunjuk jalan dari anggota rombongan Riko, yang sedang menghangatkan diri dengan perlengkapan mantab seperti sarung tangan dan jaket, kami meneruskan perjalanan bertiga ke puncak. Tenda dan barang-barang kami titipkan saja ke rombongannya Riko.
Sekitar 2 jam kemudian, setelah hampir mati rasanya ketika melewati Tanjakan Setan (namanya kami peroleh setelah kami turun nanti), akhirnya kami sampai ke puncak! Sampai! Ke puncak!
Figure 12. Tanjakan Setan. Ketinggian sekitar 10 meter
Ketika sampai ke puncak itulah, saya mengalami cinta pertama saya kepada hiking! Setelah semua perjuangan untuk mencapainya, proses kedinginan dan kebasahan, kelaparan dan kelelahan, semua terasa hilang ketika memandang apa yang alam sediakan untuk kita di puncak.
Figure 13. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada ini? Bukan orangnya sih :P, tapi pemandangannya itu lho!
Benar-benar terasa seperti melayang di atas awan! Seumur hidup, baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini!
Setelah 2 jam memuaskan diri mereguk kenikmatan alam, kami kembali turun ke Kandang Badak.
Perjalanan turun ternyata jauh lebih mudah (baru tahu nih :D ). Sekitar 1 jam, kami sudah sampai lagi ke Kandang Badak.
Setelah bertanya-tanya, kami baru tahu kalau di Kandang Badak disediakan fasilitas kucuran air untuk minum dan cuci-cuci.
Figure 14. Pancuran air di Kandang Badak
Ketika kami (saya dan Syahrial) selesai mencuci baju, kembali ke tenda, Seli sudah tidak ada! Lah?
Ternyata Seli sudah bergabung ke tenda lain, sambil makan nasi bareng sama salah seorang pendaki yang berjilbab juga! Kereeeen! Bisa aja cari solusi nih anak!
“Ayo gabung bang!” ajak Seli tidak pakai malu lagi (maksudnya, tidak pakai ijin ke yang ditumpangin makan :D )
Setelah teman baru Seli terlihat mengangguk menyetujui, saya dan Syahrial bergabung makan di situ. Nasi pakai teri dan abon, makanan paling enak yang saya rasakan!
Ternyata, teman baru Seli (namanya kalau gak salah, Dini) ini adalah anggota dari rombongan pendaki yang baru saja turun dari Pangrango. Ia jalan bareng sama suaminya dan teman-teman mereka.
Sekarang suami dan teman-temannya sedang naik ke Puncak Gede. Saat itu, gak kebayang gimana bisa ada orang yang bisa naik 2 puncak sekaligus sekali jalan!).
“Kok bisa kenal?” tanya saya ke Seli.
“Kok bisa kenal?” tanya saya ke Seli.
Ternyata setelah sekitar 10 menit memasang tampang memelas ke Dini yang sedang memasak nasi (mereka bawa beras!), akhirnya Dini luluh juga dan mengajak Seli gabung untuk makan :D
“Sori nih, mbak. Ngerepotin,” kata Syahrial sambil mulutnya penuh makanan :D :D
“Gak apa-apa kok. Ini juga kami kebanyakan bawa makanan, jadi daripada berat bawa lagi turun, mendingan dimakan sekalian sih.”
Setelah makan (yang disisipi segala curhat soal kegiatan hiking pertama kami ini), kami akhirnya packing dan turun (tidak lupa mengucap terima kasih ke semua tenda sekitar kami yang telah membantu kami bisa pulang dengan hidup :D ).
Figure 15. Pas pulang, tidak lupa pasang gaya hiker sejati! :D
Sesampainya di warung tempat kami bertanya sewaktu naik (itu lho, yang bilang di atas ada warung!), saya langsung marah-marah ke tukangnya, “Gimana sih, bang! Katanya di puncak ada warung! Kami sampai gak bekal makanan gara-gara percaya di puncak ada warung!”
“Eh? Emang jalannya sampai puncak, mas?” tanya si tukang sambil pasang tampang polos.
“Iya laaah. Untung di atas ada yang bagi makanan, kalo nggak, udah pada mati kelaparan nih!,” kata Syahrial ikutan ngomel.
“Laaah… kirain Cuma sampai Taman Cibodas. Soalnya bajunya gak kayak yang mau hiking, lebih kayak mau ke mall,” jawab si tukang sambil masih tidak merasa berdosa.
Figure 16. Ok, jadi lain kali, hati-hati pilih baju. Jangan pakai baju ke mall kalau mau hiking, daripada salan dapat info seperti saya :’(
Pas mengingat-ingat setelan baju Seli pas nanya, saya akhirnya malah ketawa juga sih. Emang orang gak bakal percaya kalau kita mau hiking ke puncak, kalau bajunya seperti itu :D
Yowis, berhubung energi juga sudah habis, saya tidak lanjutkan marah-marahnya. Langsung pulang saja, pakai motor, dengan kaki luar biasa pegal, dan cuaca hujan deras, oh iya, jangan lupa kondisi jalanan macet parah seperti biasanya jalur puncak kalau minggu sore. Senin sampai Rabu, saya ijin sakit ke kantor :D :D
Saya dan istri cuma bisa tiduran di rumah, gak ada yang bisa turun dari ranjang saking pegal-pegalnya!
Overall, kalau diingat-ingat lagi, bisa turun dengan selamat saja, rasanya benar-benar beruntung sih :D
Posting Komentar