Jakarta, medio Juli 1994.
Dilla terbangun oleh suara
ribut di depan kamarnya, di sepanjang koridor lantai atas. Belakangan orang
tuanya itu semakin sering bertengkar. Entah apa yang dipertengkarkan mereka
kali itu. Dilla menggerutu sebal.
Hari pelulusan, pekiknya
seketika girang.
Yup, ini hari pelulusan
anak kelas tiga SMPN 1. Dilla merasa yakin akan sukses lagi menyabet predikat
juara umum di sekolah favoritnya. Kalaupun harus seimbang, paling juga
berhadapan dengan Arul si coverboy. Memang hanya anak indo Mesir itulah yang
selalu berhasil mengimbangi angka-angkanya dalam dua tahun terakhir.
“Huuuh!” Disepaknya dengan
sebal bedcover itu dari ujung
kakinya.
Diliriknya jam dinding.
Teddy Bear yang menghiasi tembok kamarnya. Masih pukul tengah lima!
“Ya ampuuun… Mamiii!
Papiii! Ngapain udah ribut-ribut pagi buta begini?” gumam Dilla.
Suara ribut-ribut di luar
pun kian heboh!
“Persetan dengan kamu! Aku
sudah bosan, bosaaan! Pembohong, pengkhianaaat!”
Suara lantang itu
menerobos dinding kamarnya yang full AC.
Ia bayangkan Mami ngambek
sambil bolak-balik sepanjang koridor. Papi menguntitnya dengan setia. Adegan
itu sudah biasa di matanya. Mereka bertengkar sungguh hebat. Tapi, kemudian
berbaikan, bermesraan. Tanpa kenal waktu, bahkan tanpa tahu malu!
“Harus bagaimana lagi aku
menjelaskannya? Yang terjadi semalam itu bukan seperti .. hanya saja kami …”
“Kami? Kau bilang,
kamiii?” lengking Mami.
Suara itu pulalah yang
yang melontarkan tubuh Dilla hingga keluar kamarnya. Mengendap-endap seperti maling, menyusuri tangga yang
menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah.
Di sebuah ruang keluarga
yang mewah dengan lampu-lampu kristal Asfour Mesir, lusinan porselin Belgia,
tiga stel sofa beragam corak dan model, dan permadani Persia setebal matakaki yang menhampar lembut.
Lihatlah! Pasangan
suami-istri itu kembali bertengkar.
Kali ini terasa lebih
hebat, lebih panas!
Dilla terduduk di tangga
dan terus menyaksikan perilaku Mami dan Papi. Dilla sudah terbiasa menyaksikan
hal ini sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu. Dua tahun yang lalu,
ia pun rajin sekali mencatat semua itu dalam buku diarinya. Benar, hal ini
terus berlangsung, berlangsung yang entah kapan berhenti.
“Semuanya itu kabar
bohong, Lies sayangku…”
“Perempuan itu sudah
hamiiiil! Aku tahu itu, Braaam. Aku tahu ituuuu!”
“Tidak mungkin!”
“Kamu gak bisa menyangkal
lagi, lelaki pengkhianaaat!”
“Coba tahan dulu emosimu.
Kami hanya berteman!”
“Berteman? Aha! Berteman
sampai punya anak?”
“Demi Tuhan…aku yakinkan
itu bukan anakku! Dasar saja perempuan murahan!”
“Kenapa sekarang baru
nyadar si Inge murahan?”
“Sudahlah, kumohon jangan
sebut lagi nama itu. Aku menyesal, demi Tuhan! Percayalah kepadaku, Lies.”
“Persetan dengan
penyesalanmu! Dasaaar! Kalian sama-sama berhati binatang, bersosok ibliiisss!”
Suara-suara keras itu kian
bersahutan.
Dilla menutup kupingnya,
tapi ia tak mau beranjak.
“Hmm… siapa yang gak kenal
Mami dan Papi?” gumam Dilla, apabila otaknya menilik profesi dan status sosial
orang tuanya.
“Bintang film sohor dengan
tarif termahal!” di koran-koran dan layar kaca, orang tuanya dikenal sebagai
pasangan selebriti yang sangat menjunjung tinggi moral, senantiasa rukun, dan
penuh cinta.
Di pesta-pesta Valentin
Day pasangan ini sering dijadikan idola kawula muda. Sebuah majalah
kosmopolitan, majalah wanita bergengsi, tak bosan-bosannya menganggurahi mereka
Love Award. Pasangan selebriti yang paling serasi sepanjang dekade itu. Lies
Delina dan Bram Sondah, entah berapa kali mereka menyabet penghargaan aktor dan
aktris terbaik.
“Elo pasti bangga punya
ortu kesohor gitu,” komentar Echa, teman sebangkunya suatu kali.
“Bangga? Mmm… tau, deh?”
elak Dilla tak peduli.
“Wah, kalo aku kayak elo…”
Echa melamun, matanya melayang ke balik jendela kantin, tempat mereka rehat
sambil makan dan minum.
Dilla meliriknya kasihan.
“Emangnya lo mau ngelakuin apa kalo jadi anak pasangan kesohor, hemm?”
“Wooo, banyaklah! Mau
bolak-balik ke Hongkong, Singapur, terus belanja baju-baju bagus, sepatu mahal…
Eh, elo pernah jalan bareng ortu ke Paris, kan? Waktu ortu elo ikutan festival
internasional di mana, tuh?”
“Cannes.”
“Yup! Pasti elo ngikut,
kan?”
“Gak, tuh!” sahut Dilla
ringan.
“Masaaa? Ah, bercanda lu?”
Echa tak percaya.
“Iya. Aku gak pernah jalan
bareng ke luar negeri. Pernah, sih, diajak jalan bareng… itu juga palingan ke
tempat syuting. Tapi, terserah, deh, percaya ato gak, bukan urusan aku!” dengus
Dilla seraya berlalu.
Sayup terdengar teriak
marah Echa. “Boong lu!”
“Huuuh, dia gak tahu
apa-apa, tuh!” Dilla mendumel sendirian.
@@@
Andai Echa tahu
kesehariannya selama tinggal di Jakarta. Aha! Lebih banyak bareng Mbok Yam
daripada ortunya. Padahal Maminya telah berjanji waktu akan mengambilnya
kembali.
“Kami akan merawat Dilla
seperti Ibu merawatnya selama ini,” janji Mami segera diperkuat Papi yang
tampak setia mendampinginya ketika itu.
“Baiklah, kalian memang
patut diberi kesempatan merawat anak,” Nini mengalah.
Ini pun lebih disebabkan
demi memenuhi janjinya terhadap sang suami, tatkala menit-menit terakhir ruh
lelaki itu terlepas dari jasadnya.
“Sebaik-baiknya anak langsung
diasuh oleh orang tuanya. Berjanjilah Amih, sekali ini saja berjanjilah
kepadaku, kembalikan Dilla kepada orang tuanya.”
Demikian amanah terakhir
dari bibirnya yang kering dan keunguan akibat banyak dikemoterapi. Kanker
paru-paru dan komplikasi ginjal telah merenggut hari-hari bahagia sebagai
pendamping hidup lelaki berhati malaikat itu.
Saatnya amanah itu
diwujudkan!
“Tentu saja. Berikan kami
kesempatan, Amih sayang,” tukas Bram Sondah dengan gayanya yang sok gentle, santun yang dibuat-buat
hingga ibu mertua jengah sendiri.
Di layar kaca, menantunya
spesialisasi peran tokoh serba gagah, baik hati, jujur dan hero!
Dipasangkan dengan si
cantil Lies Delina, bomseks masa itu, sejak era 80-an yang serba glamor sebagai
puncak gemilang dunia perfilman Indonesia.
Demi konsistensi dan fokus
terhadap profesi, mereka sepakat menitipkan bayi merah itu kepada neneknya.
Amih sama sekali tak keberatan, bahkan penuh sukacita, sebab ada suara manja
tangis anak kecil lagi di rumahnya. Setelah bertahun-tahun serasa senyap sejak
putri semata wayangnya hengkang ke Jakarta, demi mengejar cita dan mimpinya,
dan hanya sesekali menengok orang tua.
“Mengapa, Nini? Dilla gak
mau dipisahkan dari Nini,” isak Dilla di pangkuan Nini.
“Karena mereka orang tua
kandungmu. Merekalah yang paling berhak atas dirimu.”
“Gak! Dilla cuma dekat
sama Nini. Selama ini Nini yang mengasuh Dilla.”
Bagi Dilla, Nini adalah
ibu sejati. Sosok panutan. Nini yang senantiasa merawat, mengasihi, dan
mengayominya. Nini yang selalu membetulkan selimutnya tiap malam,
mendongenginnya dengan kisah yang sarat petuah.
Dilla selalu menyukai
sekaligus menikmatinya. Sebab, bukan sekadar dongengnya, melainkan elusan kasih
dan rangkaian kata tulus yang melenakan pengantar bobonya.
“Kenapa sekarang kita
harus berpisah, Nini?”
Jari-jemari neneknya
terasa mengelus lembut rambut Dilla. Dibisikkannya kata-kata penghiburan dan
semangat di telinga gadis kecil itu.
Tapi, Dilla tetap tak mau
mengerti keputusan neneknya. Ia sudah senang tinggal di rumah kuno, peninggalan
Aki di kawasan Lembang. Ia tahu persis bagaimana Nini mengasihi dirinya.
“Percayalah, mereka juga
sangat sayang kamu.”
“Bohong!” Air mata
berderaian di pipi putihnya.
“Dilla gak percaya Nini,
ya?” Perempuan itu meraih wajah Dilla, lalu mengecup keningnya lama sekali.
Tangis Dilla semakin
menyayat. Dibenamkan wajahnya ke dada perempuan itu. Kini terasa tangan yang
sarat kasih itu mengelus-elus punggungnya, mengalirkan rasa hangat dan
kenyamanan tak teperi.
Namun, Dilla menyadari
sebentar lagi mereka harus berpisah.
“Kenapa gak dari dulu aja
Dilla tinggal di Jakarta, Nini? Kenapa baru sekarang?”
“Eh, Mami dan Papi kamu
baru sekarang merasa siap lahir dan batin merawatmu.” Nini gelagapan.
“Artinya, dulu mereka gak
mau merawat Dilla, begitu?”
“Eh, bukan begitu,
masalahnya dulu mereka terlalu sibuk.”
“Pokoknya Dilla gak mau
jauh dari Nini!”
“Percayalah, kita harus
beri kesempatan Mami dan Papi. Nanti Nini akan sering menengokmu,” janji
neneknya hanya sekali-dua saja dipenuhi.
Bulan-bulan berikutnya sosok
panutan itu tak pernah muncul lagi.
Rumah megah dan mewah di
bilangan Pondok Indah itu pun terasa lengang dan senyap. Hanya Mbok Yam. Ya,
berdua dengan perempuan sederhana itulah Dilla berusaha kerasan.
@@@
Sejak detik itulah
dunianya bak mengapung hampa. Adakalanya Dilla merasa bagai melesak di dasar
jurang yang tak terbatas dan tak bertepi. Adakalanya pula ia seperti
melayang-layang, menerobos kumparan kabut pekat dan memintal-mintal di sekitar
tubuhnya yang ringkih.
Suatu kali ia merasa
sangat lelah bergulat dengan suatu kekuatan tak terlihat di antara bukit
ilalang. Mereka sangat kokoh mengikatnya. Manakala kelelahan itu tak teperi
lagi, maka dibiarkan segalanya dalam kesuwungan yang pepat!
Hingga suatu saat, entah
kekuatan apa namanya, secara perlahan tapi pasti menariknya, membebaskannya
dari kesuwungan yang mengental dan membalun-balun itu.
Suara lembut, sepasang
bening sendu.
Sebuah melodi dan simfoni
maha cinta, sarat makna, takkan sanggup terjabarkan!
Suatu malam buta Dilla
siuman, menyadari keberadaannya yang lumpuh dan sebagian besar memorinya masih
suwung.
“Kamu sudah sadar, Dilla?
Ya, bangkitlah!”
Ada yang berbisik lembut,
mengalirkan semangat hidup yang tinggi. Seraut wajah cantik. Tapi, ia sama
sekali tak mengenalnya.
Beberapa perawat sibuk dan
di sekitar kamarnya. Memeriksa ini dan itu, membantu sosok cantik yang
dipanggil mereka dengan sebutan dokter Orin.
“Nenekmu sedang umroh,
kepingin mendoakanmu di Multazam, dan tempat-tempat yang diyakininya segala doa
akan dimakbulkan-Nya. Sabar, ya, manis. Besok atau lusa Nini kamu pasti
pulang,” lanjutnya samar-samar.
Dilla hanya mengerang
perlahan, merasa-rasakan situasi yang sangat berbeda dari saat-saat sebelumnya.
Ini bukan dunia hening lagi!
Amih Delina memang pulang
dua hari kemudian. Ia membawa sebotol besar air zam-zam, sebagian
diminumkannya. Sebagiannya lagi dibalurkannya ke sekujur tuuh yamg masih
ringkih itu.
“Oh, cucuku sayang….”
ceracau wanita sepuh yang berbusana putih itu. “Gusti Allah memang sungguh Maha
Kasih. Doa-doa kita telah dimakbulkannya-Nya.”
Nini? Ya! Dialah nenek
tersayang!
“Nini, aku kangen Nini….”
Itulah kalimat pertama
yang terloncat dari mulutnya. Kecuali erangan dari rintihan yang menyayat hati,
memang baru saat itulah mulutnya mampu berkata-kata kembali.
Tapi, kupingnya kerap
menangkap bisikan-bisikan kasih sayang itu.
“Ini nenekmu, Cinta,”
bisikan itu mendesir di kupingnya. “Nini tahu kamu pasti berhasil, pasti! Sebab
kamu anak yang hebat, tak pernah menyerah. Ya, Nini tahu itu, tahu itu. “
“Aku kangen,” ulangnya
sesaat kemudian.
“Iya, Cinta, Nini juga
kangen,” isak Amih Delina dengan buncah air mata.
“Nini, jangan tinggalkan
aku lagi,” lirihnya memelas.
“Iya, Cintaku, Sayangku,
Buah Hati Nini. Makanya, selama ini kamu mampu bertahan, kan?” ceracau neneknya
parau.
Amih Delina semakin
bersemangat dan optimis bahwa cucunya akan kembali normal. Ia sering membawa
serta orang-orang yang dianggapnya pakar spiritual.
Mulai dari ajengan dengan
suluk dan zikrullahnya, hingga terapis atau paranormal yang hanya ingin
memanfaatkan kondisi si sakit, demi meraup untung sebanyak-banyaknya.
“Biarkan aku membawanya
pulang sekarang, Nak Orin,” pinta Amih Delina kepada putri sahabatnya.
Dokter Orin yang mengawasi
klinik kebanggaan mendiang ibunya. Profesor Juliana, akhirnya, mengabulkan
permintaan wanita sepuh itu.
“Ini sebuah keajaiban,”
gumamnya berulang-ulang, masih tak memercayai paseinnya berhasil keluar dari
dunia hening.
Ibunya yang terserang
kanker rahim, mewariskan klinik berikut satu-satunya pasein di situ. Bersama
dua rekannya dan tiga perawat, ia sempat memerjuangkan pasein khusus itu selama
dua tahun. Dengan berbagai pertimbangan, terutama dana, ia terpaksa harus
memindahkan Dilla ke rumah sakit pemerintah.
Beruntunglah ia selalu
mendapatkan optimisme dan semangat dari Amih Delina. Apapun rela dilakukan
wanita perkasa itu demi kelangsungan hidup cucunya. Satu per satu rumah dan
kendaraan yang dimilikinya dilepas. Bahkan pada tahun-tahun terakhir,
perkebunan keluarga besar itu, warisan turun-temurun juga digadaikannya di
Bank.
Semoga mereka masih bisa
hidup nyaman setelah ini, doa dokter indo Belanda-Jepang itu.
Dihampirinya Dilla, gadis
berwajah rembulan bersepuh merah jambu di pipinya itu, dengan perasaan takjub.
Hari bersejarah bagi
timnya, mereka akhirnya melepas pasein luar biasa ini dengan hati
berbunga-bunga. Memang nikmat-Nya yang mana lagikah yang kalian dustakan?
“Selamat datang di dunia
nyata, Dilla Sondah,” berkata dokter yang masih jomblo di usia kepala empat
itu, saat melepas Dilla menaiki ambulans di parkiran rumah sakit.
“Terima kasih, aku tidak
tahu harus bilang apalagi untuk keajaiban ini,” lirih Amih Delina menjawabkan,
sementara cucunya hanya tersenyum-senyum manis.
Dokter Orin melihat
sepasang mata itu berbinar-binar indah. Ada kristal-kristal bening yang
sebentar lagi meluruh dari sudut-sudutnya. Tak tahan mengenang segala
pengorbanannya, ia menjabat erat tangan Amih.
“Jangan khawatir lagi.
Sejak hari ini segalanya akan semakin membaik,” bisik dokter lulusan Utrecht
itu meyakinkan. “Tuhan telah mengabulkan doa-doa Nini selama ini.”
“Terima kasih, Nak. Mamamu
tentu bangga, ikut senang menyaksikan keajaiban ini dari alam kelanggengannya.”
Dokter Orin terus menatap
ambulans itu hingga lenyap dari pandangannya. Ia mulai mengkhawatirkan hal
lain, dampak terlalu lama di ruang isolasi terhadap pasein ajaibnya.
“Apa yang akan terjadi
padanya? Mmm, bagaimana kalau otaknya tidak cukup baik?” Ia bertanya-tanya dalam hati.
@@@
Cinta emang mantap banget deh,,, ^ ^
BalasHapusPosting Komentar