Sebuah rumah sakit di Bandung , medio Juli 2004.
“Satu-dua-tiga kelokan
lagi… betul! Aku gak keliru!”
Gadis kurus 23-an mengayuh
kursi roda di lorong rumah sakit, mencoba menghitung dan berpikir untuk
menentukan langkah selanjutnya.
Tiga kelokan, lurus ke
selatan, satu kelokan lagi menuju pintu gerbang belakang.
Nenek janji akan
menjemputnya di situ. Ia tahu terapi yang dijalaninya ini menguras tenaga, dan
beberapa kali telah diingatkan oleh instrukturnya, Suster Atik.
“Jangan terlalu diforsir,
Dilla sayang,” ujarnya saat berada di ruang terapi.
“Aku ingin bisa berjalan
normal secepatnya, seperti orang-orang,” kilah Dilla kesal.
“Insya Allah, kamu akan
bisa berjalan lagi, hanya perlu bersabar.”
“Berapa kali Teteh janji
begitu?” Ia mengajuk. Sesaat dipandanginya ujung kaki yang kurus di balik
balutan celana gombrongnya.
Suster Atik tersenyum
lembut. “Coba hitung, berapa kali ya?” balasnya menggoda.
“Kayaknya gak kehitung,
tuh! Makanya, jangan banyak ngumbar janji,” jawab Dilla.
“Baru juga seminggu.
Niatnya, sih, bukan janji, tapi memotivasi, gitu lho, Non!”
“Alaaah apa bedanya?”
Dilla masih bernada menggugat.
“Beda dong, Sayang.”Suster
Atik tetap tersenyum.
Terdengar dengus jemu dari
mulut Dilla. Suster Atik tetap menyemangati dengan kalimatnya yang khas.
“Alooow Dilla, hati-hati.
Ups!”
Di kuping Dilla kadang
hanya terdengar seperti, “Dilla…ups! Dilla…ups!”
Banyak pasein di klinik
terapi yang berjuang untuk mendapatkan kondisi normal. Perilaku mereka
macam-macam, mulai dari yang menyikapi cacatnya dengan defensif, tertutup, atau
sebaliknya agresif dan temperamental hingga putus asa dan mengakhiri terapinya.
Bersama rekan-rekan
relawan, Suster Atik berusaha memompa semangat hidup mereka. Adakalanya bukan
rasa terima kasih yang mereka dapatkan, tapi sebaliknya caci-maki dan
sumpah-serapah. Namun, mereka harus menerimanya dengan hati lapang sebagai
konsekuensi tugas.
“Perlu diantar, La?” ujar
Suster Atik saat Dilla memutuskan mengakhiri terapi hari ini.
“Gak perlu, Teteh sayang.”
Dilla menolak campur tangan lebih jauh gadis berkerudung itu.
Seketika ia termenung.
Yup!
Seperti yang terjadi
belakangan ini. Ada
satu kesadaran yang merayapi batok kepalanya. Ia mencoba konsentrasi pada satu
titik saja!
Apa itu? Samar-samar
kupingnya seperti mendengar suatu kehebohan, caci-maki, kemarahan,
amuk-mengamuk, sumpah-serapah, dan berujung dengan jeritan-jeritan histeris.
Perasaan mencekam yang sangat melukai jiwa dan raga, kemudian keheningan yang
maha hebat!
Sedetik tubuhnya serasa
mengejang, hawa dingin merayapi kakinya, parat terus ke atas, dan lehernya
dalam sekejap bagai membeku. Detik berikutnya ia merasa menemukan setitik
terang, sebuah kejelasan dan tanda tanya besar itu.
Nah!
Titik-titik itu kemudian
begitu terang. Sekejap ia seperti melihat kesamaan antara dirinya dengan gadis
berkerudung itu.
“Ah, tapi tentang apa?
Perawakan, penampilan, perilaku…bukan itu! Hm, apa ya? Demi Tuhan, bantu aku!”
erangnya mulai merasakan sesuatu yang melukai.
Sesungguhnya dalam
beberapa hari ini, Dilla mulai merasakan suatu misteri yang menyelimuti
dirinya. Tapi, ia tak bisa mengungkapkannya meskipun kepada neneknya tercinta,
sosok yang pernah perhatian manakala dirinya terbangun histeris di malam buta.
“Aku gak bisa merinci
misteri itu, dinding benteng nalarku,” kesahnya sendiri.
“Kamu baik-baik saja, kan ?” Suster Atik tampak
khawatir memandangi wajah Dilla.
Refleks, Dilla mengeratkan
cekalan pada tanganan kursi rodanya. Kuat-kuat sehingga buku-buku jemarinya
memutihnya. Kepalanya menggeleng-geleng lemah. Ia tak mau menerima sesuatu yang
ingin menerjang, sebuah kekuatan maha, merasuki dirinya. Menghancur-leburkan
secuil asa, secuil mimpi yang masih berada dalam jangkauan pandangnya.
Kadang ia merasa tiba-tiba
berada dalam kegelapan. Tak tahu kiri dan kanan, ke mana arah yang harus
dituju. Persis!
Seperti detik itu, dia
merasakan kembali raganya seketika hampa, senyap dan hening.
“Mm… aku pergi dulu, ya!”
suaranya terdengar parau.
“La, biar kuantar saja!”
Khawatir Suster Atiek berdiri di belakangnya.
“Gak apa-apa, Teh! Jangan
biarkan aku lemah selamanya!” sergahnya membuat wajah perawat itu berubah rona.
Perpaduan antara terkejut dengan khawatir.
Mereka tinggal berdua di
ruang terapi yang luas dan hening. Dilla menggumam tak jelas. Ada perasaan menyesal dan hasrat minta maaf.
Tapi untuk apa? Tembok itu begitu kuat membentengi kejernihan otaknya. Mungkin
inilah saatnya ia menyerahkan segala keputusan kepada gerak naluriah belaka.
“Mungkin kami punya satu
kesamaan. Tapi, apa ya?”
Tangannya pun refleks
mengayuh kursi rodanya, menyingkir dari tempat yang baginya mirip kampus
derita. Ekor matanya sempat melirik tangan Suster Atiek.
Aha, dia merogoh ponsel
dari saku seragam putihnya!
“Pasti menghubungi Nini,”
geramnya dalam hati.
Kesadaran itu, oooh!
Mereka, orang-orang di
sekelilingnya itu, terasakan sekali selalu memandang iba, entah mengkhawatirkan
atau mengejeknya. Ini sungguh menambah keyakinannya akan suatu misteri. Ya,
misteri besar yang melingkupi dirinya itu, entah apa dan bagaimana menguaknya.
“Ada di sini, tepatnya menyelimuti jiwa dan
raga kamu, Dilla!”
Sebuah suara sayup-sayup
menembus gendang pendengarannya.
“Uh, siapa itu?”
Tiada jawaban, dan itu
sungguh melelahkan!
“Tolong aku!” Gundah kian
merasuki hatinya. Ia terus mengayuh kursi rodanya menuju pintu gerbang
belakang.
Braaaak!
Dia telah menabrak
seseorang dengan telak. Tubuh di depannya langsung terjerembab. Sementara
dirinya pun tersungkur, lengkap berikut kursi rodanya di sudut taman.
Lamat-lamat terdengar
dengung takjub, gumam keheranan dari arah rombongan koas, calon dokter.
Dilla tak peduli, dalam
dadanya serasa begitu banyak kemarahan, kejengkelan, dan kekecewaan. Ia tahu
persis perasaan itu dan jawabannya, karena tatapan orang yang menusuk,
melecehkan dan mengasihani dirinya. Bahkan banyak yang memandangnya dengan
sorot aneh seakan-akan ia adalah makhluk jejadian!
“Gimana keadaanmu, Arul?”
Yance Marland, demikian
mereka memanggilnya, bergegas menghampiri dan mengelus tangan Arul. Meskipun dikibaskan,
dia tampak cuek-bebek meraih dan
mengelus-elusnya.
“Kita harus cepat. Arul …
buruan banguuun!” sergah rekannya yang lain tak sabaran.
“Iya, seminar kali ini
penting sekali buat kita! Ini hidup dan mati kelompok kita, Arul!”
“Sudah, kalian jangan ikut
campur! Sana
pergi duluan,”usir lelaki berwajah rupawan, mengingatkan orang akan ketampanan
Roy Martin di masa mudanya.
“Gak bisa gitu, dong!”
protes Yance Mrland.
“Ya! Kami nengandalkanmu,”
sambar rekan lainnya.
“Pergiiii!” sergah Arul
tiba-tiba terdengar berang.
“Sudahlah, biarkan saja!”
“Iya, biar sekalian gak
lulus sendirian! Huh, kamu ini menyebalkan!” dengus Yance Marland, serentak
bangkit dan mendelikkan biji-biji matanya yang indah.
“Insya Allah, aku pastinya
bakal lulus,” sahut Arul tegas.
Rombongan calon dokter itu
meninggalkan dengung ketakpuasan dan kekecewaan.
Arul seolah tak mendengar
gerutuan mereka. Ia kembali memerhatikan Dilla, memandanginya lekat-lekat
hingga bibirnya menggumamkan sebuah nama dari alam bawah sadarnya.
“Kamu… Dilla, kan ? Ya, La Dilla Sondah
dari Lembang. Kamu sudah sembuh, Dilla?” ceracaunya dengan sorot mata indah.
Ia bergerak
menghampirinya.
Sementara Dilla tertegun
kebingungan, tapi ia tahu sesuatu telah terjadi. Ia telah bangkit dan berdiri
dengan ajeg, kokoh dan tegar.
“Ya Tuhan, aku bisa
berdiri sekarang!” serunya.
“Kamu…ya, kamu
kelihatannya memang sudah sehat.” Arul mengulang ketakjubannya, mencermati
gerak-gerik dara cantik dan bertubuh ramping itu.
Dilla menyadari kepalanya
seketika berhenti berdenyut. Entah ke mana rasa sakit maha dahsyat yang
menyerangnya sekejap tadi. Yang dirasakannya kini adalah sesuatu yang hangat,
nyaman, sebuah sensasi, apakah namanya ini?
Ia memandang lelaki di
hadapannya yang masih memelototinya dengan segala ketakjuban. Dilla pun
tertegun lama. Tiba-tiba tabir misteri itu, ia merasa telah berhasil
mendobraknya. Bukan, tepatnya terkuak sesaat mengenali wajah lelaki yang
ditabraknya itu.
“Arul, ya! Aku tahu ini
kamu!” desis gadis itu terdengar parau.
Dipandanginya terus wajah
ganteng di hadapannya. Jarak mereka kini begitu dekat. Dilla bisa membaui aroma
aftershave meruap dari sosok yang
menjulang perkasa di depannya.
“Tentu saja aku Arul. Yup!
Arul si coverboy. Eeeh?”
Pemuda itu mulai melangkah
lambat-lambat, memutari bundaran kecil air mancur di sebelah kanan mereka. Arul
spontan mengikuti langkahnya, menjejerinya, dan ingin meyakinkan gadis itu
bahwa ia siap memberikan bantuan.
“Kamu beneran sudah sehat,
nih? Hebat!”
“Hebat bagaimana?”
“Ya, hebat dong.
Bayangkan, sebulan yang lalu aku masih membaca laporan kondisimu di jurnal
kedokteran.”
“Apa?” Dilla merandek dan
melirik tak paham.
“Iya! Tim dokter terakhir
yang merawatmu menyatakan bahwa kamu sudah siuman. Ini suatu keajaiban di dunia
kedokteran. Bayangkan! Sepuluh tahun, kamu berada dalam kondisi yang hampir
tanpa harapan.”
Seorang wanita sepuh
tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Dia diikuti seorang lelaki paro baya.
“Dillaaa! Cinta duh, ada
apa denganmu, Cinta?”
Dilla meliriknya sekilas.
“Nini….” Tapi ia kembali menatap Arul, masih dengan sorot mata bingung. “Kamu
ini tadi mau bilang apa?”
“Ini suatu keajaiban!
Sepuluh tahun kamu berada di ruang isolasi!” tegas Arul.
“Ruang
isolasi….bagaimana?” Dilla bertanya gamang.
‘Hei, apa yang sudah kamu
lakukan pada cucuku?” sergah Amih Delina terdengar galak. Diraihnya pundak Arul
sehingga mereka berhadapan.
“Maaf, aku tida berbuat….”
Arul membantah.
“Jangan coba-coba
menyakitinya!” ancam wanita itu.
“Nini…jangan begitu!”
protes Dilla.
“Lihat Ibu, lihaaaat!
Dilla sudah bisa…” Arul tak melanjutkan ujung kalimatnya.
Sebuah sentakan di pundak
membuatnya nyaris terjengkang. Lelaki paro baya itu, Mang Ujang, seketika ikut
campur mengeroyoknya.
“Apa-apaan, sih, Mang
Ujang?” Dilla membelalak.
Lelaki yang bisa berubah
menjadi centeng itu tak menyahut, hanya nyengir kuda. Ia menanti titah majikan
sepuhnya dengan setia.
“Kita kembali ke klinik,
ya, Sayang. Ayo, sini duduklah. Eh, Jaaang, ambilkan kursi rodanya!” perintah
neneknya bak rentetan peluru.
Dilla ingin memberontak.
“Tapi, kepalaku, kepalaku
ini…Aduh, mengapa, apalagi ini?”
Seolah-olah ada ribuan
tawon yang mencucuki kepalanya dengan sengatnya yang berbisa.
Ekor mata Dilla sempat
mengkap bayangan Mang Ujang yang tergopoh-gopoh cemas, mengambil benda yang
nyaris melemparkan cucu majikannya ke pembuangan limbah. Dilla pun melirik
neneknya, kecemasan dan kepanikan menggurat tajam di wajah tua itu.
Dan betapa rikuh orang
yang mengaku bernama Arul, sobat ABG-nya.
“Bagaimana, Jang?” seru
Nini terdengar tegang.
“Masih bisa dipake, Amih.”
Mang Ujang berusaha
menarik kursi roda dari samping sumur pembuangan limbah. Ia mencermatinya
beberapa saat, kemudian melipat dan memanggulnya dengan ringkas. Tampak ringan
saja ia melangkah menuju majikannya. Maklum, mantan jawara!
“Syukurlah!” Sambut Amih
agak lega.
Mang Ujang menurunkan
benda itu dari bahunya dan meletakkannya di hadapan cucu sang majikan. Dilla
dipapah neneknya agar segera menduduki kursi roda.
“Mengapa Nini tak
mengomentari perkembangan ini?” pikirnya.
Ia sudah bisa berdiri
tegak dan berjalan meskipun tertatih-tatih!
Sedetik kepalanya serasa
mereda.
“Pulang kita, Amih?” tanya
Mang Ujang.
“Jangan! Kita harus temui
dokter Orin dulu untuk konsultasi. Ini perubahan hebat. Sudahlah! Ayo Jang,
dorong!” perintahnya tak ada yang bisa membantah, termasuk Dilla yang memilih
mengikuti kemauannya.
Sebab, matanya mulai
berkaca-kaca, pedih. Aduuh, ada apalagi di batok kepalaku ini? Kepalanya
kembali senut-senut, sakiiit!
“Kamu mau bilang apa,
Arul?” ulangnya penasaran, kembali kepalanya
menoleh ke arah pemuda itu.
Sejak tadi ia hanya
memandangi semua adegan di hadapannya dengan membisu.
“Sepuluh tahun kamu in
coma.” Arul berkata pelan.
“Apa itu iiiin-kooo-maaa?”
“Gak sadar, pingsan lama.
Mmm , seperti sekarat!”
“Bercanda kamu!”
Dan rasa sakit itu mulai
terasa menghebat, menghajar telak batok kepalanya. Menyiksa!
“Percayalah, sekarang kamu
sudah sembuh!” kali ini Arul menyahut dengan yakin.
“Aku gak percaya, gak
percaya!” Dilla seketika menggeleng-geleng kepalanya. Semakin sakit!
“Sungguh, Dilla,
percayalah!” Arul menatapnya terus dengan sorot haru.
“Sepuluh tahun aku
pingsan?” suara Dilla terdengar mengabut.
Rasa sakit itu telah
kembali dengan lengkap dan serasa semakin menyiksa. Langit seolah hendak
meluruh dan runtuh menimpa kepalanya. Warna pelangi berseliweran di
sekelilingnya.
“Jangan dengarkan apa-apa,
Cintaku,” desis Amih Delina.
Dilla sekarang merasakan
dadanya sesak. Ada gemuruh yang tiba-tiba menggelombang, bergulung-gulung di
sekujur tubuhnya. Sehingga tubuhnya serasa melesak di kursi roda yang mulai
menggelinding dari hamparan rumput ke atas koridor.
Lelaki itu masih mengawasi
dari lapangan sambil melambaikan tangan. Dia… tentu saja!
Ah, tidak mungkin! Dia
bukan Arul si Coverboy. Bukan! Sosok itu memang mirip sobat ABG-nya. Tapi
tidak, dia sudah dewasa! Hmm, mungkin sepuluh tahun lebih tua dari…. Aha?
Memangnya berapa umurnya sekarang?
“Apa yang terjadi
denganku?” serunya parau dan gemetar.
Sebagai jawaban, terasa
usapan lembut di punggungnya. Matanya mulai mengabut, ada sesuatu yang lain.
Misteri itu sesungguhnya
mulai terkuak. Dilla tahu itu!
Ia bisa mengenali orang
dengan baik, tak seperti hari-hari sebelumnya. Semuanya terasa asing walau
masih berupa kepingan-kepingan slide yang berseliweran, seakan-akan menuntutnya
untuk segera dibukakan.
Sebuah pintu kebesaran!
“Tenanglah, Sayang,
semuanya akan baik-baik saja,” sebuah elusan lembut kembali melintas di
punggungnya.
“Ke klinik atau ke mana?”
tanya Mang Ujang bernada kebingungan.
“Ujang, diamlah!” sergah
Amih Delima, menahan marah.
“Mengapa Nini
marah-marah?”
“Nini hanya tak ingin
terjadi komplikasi yang ….”
Serangan itu datang
kembali datang!
“Kepalaku, kepalaku,”
erang Dilla.
Tubuhnya sedetik terasa
mengejang sakit.
“Dokter Orin, Jang!
Panggilkan Dokter Orin!” perempuan sepuh itu tampak panik.
Ketika kursi rodanya
didorong kian cepat oleh Mang Ujang, mata Dilla deras berair. Ia bisa merasakan
kepanikan di wajah neneknya. Koridor demi koridor, suara-suara asing, akhirnya
sampailah mereka di paviliyun Anggrek.
“Di mana dokter Orin?!”
teriak Amih Delinan kian panik, marah berbaur dengan ketakberdayaan. Sia-sia
Mang Ujang memintanya supaya tenang.
“Ya Tuhan, apa yang
terjadi dengan diriku?”
Dara itu mulai merasa
dirinya tak mampu bertahan. Perasaan aneh makin menguasai dirinya. Ah, ia
yakin!
Sesaat lagi otaknya takkan
mampu berpikir jernih. Ya, sesaat lagi….
Dan benar saja!
Gelap total pun
menyelimuti dirinya.
@@@
Posting Komentar