Kuala Lumpur, 5 Desember 2011
Menyambung postingan saya kemarin tentang dua TKW kita yang hendak pulang kampung ke Kebumen.
Ceritanya, kami mendarat di Bandara Cengkareng, saya dan dua anak mantan TKW kilang itu yang dokumennya ditahan majikan. Sehingga keduanya kemudian memakai program yang disebut pengampunan alias pemutihan.
Sebuah paspor sementara atau paspor pengganti, berwarna hijau pulas, tipis, tidak sama dengan paspor kebanyakan.
"Nanti, kalau ditanya akan ke mana pulangnya, bilang ke rumahku saja di Depok," pesan saya wanti-wanti.
"Jadi, Ibu saya anggap sebagai guru kami saja, ya?" kata salah satu yang berwajah manis.
"Iya, begitulah!" tegas saya, meyakinkan mereka.
"Iya, begitulah!" tegas saya, meyakinkan mereka.
"Kami sungguh tak bawa uang, ini hanya 20 ringgit saja," ujar temannya.
"Saya pun hanya 50 ringgit...."
"Baiklah, bersikap tenang dan santai saja," kataku menenangkan keduanya, dan saya lupa meminta mereka untuk berdoa!
Padahal, dada saya terus dipenuhi dengan zikrullah. Mohon dimudahkan saya untuk membantu anak-anak ini, gumamku membatin.
Para penumpang dinaikkan ke bis Air Asia, tengah malam!
Ini dampaknya delay satu jam. Perut mulai keroncongan, tetapi ajaibnya, menghadapi sesuatu yang tidak tahu entah macam mana; rasa lapar itu raib seketika.
"Kami di depan, ya, Bu?"
"Saya saja yang di tengah, nah, kalian satu di depan. Satunya lagi di belakang saya," demikian menurut pemikiran awamku, jika aku lebih dahulu, bagaimana bisa membantu mereka?
Formulir tentang identitas dan barang yang dibawa, ternyata mereka belum isi. Mengikuti antrian para penumpa di Imigrasi, kuminta mereka segera mengisinya.
Antrian terus melaju, hatiku pun terus riuh berdoa. Duh, sumpeee deeeh, jadi ikutan deg-degan.
"Tampaknya tak ada orang dari calo-calo itu, mungkin ini karena sudah malam," bisik gadis manis Kebumen.
Sementara si adek di belakang kelihatannya semakin gugup, sama sekali tak berbicara.
Dalam hati, aku pun merasa heran, ke mana itu sosok-sosok yang berseragam dan biasanya mengaku petugas BNP2TKI?
Seorang anak BMI dari shelter Iqro beberapa hari yang lalu pun tak bisa dikeluarkan oleh rekan-rekan tim LPAM dari Dompet Dhuafa. Harus menanti dipulangkan sesuai prosedur BNP2TKI, yang hatta; ini peraturan dibuat untuk melindungi TKW.
Ahai, melindungi apa sumber pungli dan pemerasan? Bayangkan saja, bahkan hanya untuk diantar pulang di kawasan Jabotabek sekalipun dimintai 250 ribu!
Bandingkan jika kita memanfaatkan Damri yang hanya 20 ribu saja.
Okti Li, muridku juga, BMI asal Taiwan bahkan harus mengeluarkan uang sampai 900 ribu, demi bisa keluar dan bergabung dengan keluarga yang menjemput dirinya tempohari.
Okti Li, muridku juga, BMI asal Taiwan bahkan harus mengeluarkan uang sampai 900 ribu, demi bisa keluar dan bergabung dengan keluarga yang menjemput dirinya tempohari.
"Ayo, sana pergilah," kudorong bahunya begitu giliran si gadis Kebumen maju ke hadapan Imigrasi.
Beberapa jenak diperiksa, tiba-tiba si petugas meminta formulir kedatangan yang biasa kita sebagai visitor miliki, jika untuk pulang harus diserahkan kembali ke Imigrasi.
Si gadis Kebumen diminta pergi ke belakang untuk mengambil formulir dimaksud. Giliranku maju, dalam sekejap sudah selesai.
Sempat kukatakan kepada petugas:"Dua anak itu adalah murid saya, ya Pak. Kami akan pulang bareng ke Depok."
Dia hanya mengangguk saja, entah paham entah tidak terdengar.
Sempat kukatakan kepada petugas:"Dua anak itu adalah murid saya, ya Pak. Kami akan pulang bareng ke Depok."
Dia hanya mengangguk saja, entah paham entah tidak terdengar.
Kuawasi terus dua anak itu mengisi formulirnya, seorang petugas melintas di sebelahku dan menanyaiku:"Mengapa, Bu, masih di sini?"
Maksudnya, dia menyuruhku agar segera keluar.
Terpaksa aku keluar dan mengambil koper. Kembali kuawasi dua anak Kebumen itu hingga mereka berhasil keluar dari ruang Imigrasi.
Alhamdulillah, gumamku lega, kusambangi keduanya dan mulai melenggang untuk keluar. Hanya satu koper kecil saja yang dibawa mereka, satunya lagi bisa dibawa di bagasi bersama bawaan penumpang lainnya.
Nah, ketika itulah, saat kami bertiga sudah merasa lega sekali dan akan terus keluar dari terminal 3. Air Asia khusus di Terminal 3, ya Saudara.
Tiba-tiba ada dua orang petugas, lengkap dengan jaket beremblem BNP2TKI, menghampiri kami.
"Mohon maaf, Bu, bisa melihat paspornya?" tanyanya kepadaku, demikian juga kepada dua gadis Kebumen.
Degggh!
Aduuuh, mengapa salah satu gadis itu masih memegangi paspornya hingga tampak jelas perbedaannya? Agaknya dia pun tidak menyadari bahna girangnya sampai lupa, malah teleponan dengan yang mau menjemput.
"Ibu kerja di mana?" tanya petugas berjaket BNP2TKI, menjejeriku sambil memeriksa paspor.
"Kerja saya, ya, seniman, penulis buku. Saya mengajar para TKW di Malaysia, Melaka, Hong Kong..., bla, bla!" kicauanku ternyata sama sekali tak ditanggapi.
Mereka segera menyerahkan kembali paspor ke tanganku. Sementara paspor dua gadis kilang itu segera ditahan.
Aku berusaha ngotot."Kami mau pulang bareng, Pak, ke rumahku di Depok!"
Aku berusaha ngotot."Kami mau pulang bareng, Pak, ke rumahku di Depok!"
"Tidak bisa, Bu. Ini peraturannya; para TKI harus digabungkan dengan lainnya di Terminal 4!" tegasnya, tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
"Pak, sekarang saya ikut sajalah ke Terminal 4, ya?" kataku masih ngotot.
"Ibu, tidak bisa! Ini urusan TKI, sedangkan Ibu kan bukan TKI!"
Aduuuh, mau nangis rasanya, merasa gagal!
Kulihat sekilas kedua wajah anak Kebumen itu langsung pucat-pasi.
"Maafkan saya, ya naaaak! Maafkaaaan!" jeritku serasa mengawang langit, tetapi sekujur tubuhnya rasanya lemah, lungkrah.
Aku hanya bisa berdoa, semoga dua anak itu tidak sampai diperas, tidak dilecehkan. Ah, pokoknya, seoga mereka baik-baik saja diperlakukan santun oleh para petugas yang bersimaharaja di Terminal 4.
Oh, oh, Terminal 4!
Mengapa harus ada sebuah tempat diskriminasi begitu yang dibuat oleh Pemerintah, dikuasai oleh orang-orangnya Jumhur Hidayat?
Niatan awalnya, hatta, demi melindungi para TKI. Namun, kenyataan di lapangan malah sebaliknya. Banyak korban pungli, pemerasan, bahkan pelecehan.
"Ya, susah dan trauma saya di sana. Masa harga aqua saja 20 ribu, pulsa kata petugas isinya 100 ribu, ternyata cuma 2000 perak saja," keluh anak BMI Hong Kong yang pernah dua hari dua malam ditahan di Terminal 4.
Satu kali, saya harus masuk ke sana, ya; ke Terminal 4!
Benarkah banyak hantu gentayangan di sana? Hantu berwujud manusia yang lebih sadis daripada kuntilanak atau hantu aslinya! (Pipiet Senja)
Aku hanya bisa berdoa, semoga dua anak itu tidak sampai diperas, tidak dilecehkan. Ah, pokoknya, seoga mereka baik-baik saja diperlakukan santun oleh para petugas yang bersimaharaja di Terminal 4.
Oh, oh, Terminal 4!
Mengapa harus ada sebuah tempat diskriminasi begitu yang dibuat oleh Pemerintah, dikuasai oleh orang-orangnya Jumhur Hidayat?
Niatan awalnya, hatta, demi melindungi para TKI. Namun, kenyataan di lapangan malah sebaliknya. Banyak korban pungli, pemerasan, bahkan pelecehan.
"Ya, susah dan trauma saya di sana. Masa harga aqua saja 20 ribu, pulsa kata petugas isinya 100 ribu, ternyata cuma 2000 perak saja," keluh anak BMI Hong Kong yang pernah dua hari dua malam ditahan di Terminal 4.
Satu kali, saya harus masuk ke sana, ya; ke Terminal 4!
Benarkah banyak hantu gentayangan di sana? Hantu berwujud manusia yang lebih sadis daripada kuntilanak atau hantu aslinya! (Pipiet Senja)
Subhanallah, pengalaman yang mendebarkan, ya, Bunda..
BalasHapussemoga hantu-hantu itu lekas lenyap di bumi.. (maksud An agar tak mengganggu lagii)
Kasihan para TKI...
iya nanda; semoga baik-baik sajalah dua gadis wonosobo tersebut; kudoakan dari jauh
BalasHapusPosting Komentar