Transfusi rutin, 2012
Incoma di ICU, 2009
Menjelang operasi, 2009
Lakonku menjelang pngangkatan limpa dan kandung empedu, 2009.
Ternyata takaran darahku rendah hanya 4,1!
Aku pun segera ditransfusi secara terus-menerus. Anehnya,
HB-nya bukan bertambah malah naik-turun tidak menentu. Ya, ada kejanggalan baru
dengan kondisi kesehatanku, yakni sistem darahku menjadi kacau-balau.
Trombositku anjlok ke tataran 50 ribuan dari yang biasanya 150 ribuan.
Sementara itu rasa nyeri dan sakit yang menghebat di perutku
(ajaib!) secara perlahan menghilang. Kurasa itu berkat obat mahal bernama OMZ
yang diinjeksikan melalui vena. Harga per ampulnya 130 ribu, sehari diinjeksi 3
kali. Demi bisa menebusnya, aku terpaksa mengajukan kasbon ke kantor.
Sekarang fokus untuk urusan darah!
“Kita akan beri transfusi plasma dan trombositnya, ya Bu,”
demikian dokter yang merawatku memutuskan saat memeriksaku.
“Boleh tahu, dok, kenapa jadi kacau-balau begini urusan darah
saya, ya?”
Pakar penyakit dalam, hematologi dan ginjal yang juga seorang
polisi itu, kemudian menjelaskan beberapa hal tentang kondisiku saat ini.
Kemungkinan sumsum tulang belakangku mengalami kerusakan, tidak bisa
memproduksi trombosit, leukosit, eritrosit, hematokrit dan unsur lain yang
seharusnya melengkapi darah secara normal.
Aku malah jadi bingung, istilah-istilah medis itu serasa
berseliweran dan tak memiliki makna lain di kupingku kecuali; penyakit baru dan
parah!
“Seperti anemia aplastik, ya dokter?”
“Kalau melihat hasil laborat ini, ya, mengarahnya ke sana;
anemia aplastik.”
“Apa iya, dok?” tanyaku semakin terheran-heran. “Dari thalasemia
bisa berubah menjadi anemia aplastik, begitu?”
“Untuk lebih jelasnya kita memang harus melakukan BMP….”
“Oh, tidak, tidak!” tukasku cepat. “Saya sudah di-BMP beberapa
kali, dulu, dan itu sangat menyakitkan!”
Entah singkatan apa (try googling!) istilah BMP ini, teknisnya
diambil cairan sumsum dari tulang belakang kita. Dalam sejarah hidupku, sejak
kecil dan bisa mengingat, ada beberapa kali para Dokter melakukan BMP
terhadapku. Tanpa mampu kutolak, karena alasannya masuk akal; demi mencari
penyebab anemiaku.
Dan sekarang ini sungguh penjelasan yang sama sekali tidak
jelas!
Aku jadi teringat kepada seorang teman kecilku, dulu sekali,
ketika dirawat pertama kalinya di RSPAD, 1969. Anak perempuan itu, teman
sekamarku dalam beberapa bulan adalah pasien anemia aplastik. Hampir setiap
sepekan sekali dia ditransfusi, baik darah maupun trombosit. Perutnya lebih
besar dari perutku, pertanda limpanya membengkak dan jauh lebih besar dari
limpaku.
Seingatku, ia hanya mampu bertahan enam bulan!
Hari itu, untuk pertama kalinya aku mendapat transfusi trombosit
sebanyak 15 kantung. Dalam formulir permintaan tertulis 30 kantung, tapi PMI
memberi separuhnya. Ini sudah biasa terjadi, karena persediaan trombosit
terbatas.
Aku sendirian, terbaring dalam kebingungan yang mulai
menyesakkan dada. Biasanya meskipun sedang diinfus atau transfusi, aku masih
bisa menulis. Karena laptop milik kantor selalu kubawa serta. Kali ini mendadak
aku tak bersemangat menulis. Otakku serasa suwung. Kurasa aku harus segera
menemukan jawabannya.
“Nak, coba browsing tentang anemia aplastik, ya,” pintaku kepada
Butet melalui SMS.
“Buat apa, Mom?”
“Trombosit Mama anjlok. Tadi Dokter bilang, kemungkinan Mama
anemia aplastik.”
“Oke, Mom…. Oya, Mama sendirian ngedrakulinya nih yeh?”
“Gak apa-apalah.”
“Pulang kuliah Butet langsung ke situ, Mom. Luv U!”
“Makasih, Luv U 2 dan TTDJ,” balasku, maksudnya; hati-hati di
jalan.
Tidak harus menunggu lama, ternyata, Butet kembali melayangkan
SMS.
“Serius, Ma, dokter bilang Mama anemia aplastik?”
“Begitulah.”
“Pasti salah! Mama jangan tambah penyakit dunk! Mama harus
sehat! Mama harus panjang umur!”
“Iya, eeeh…, pastinya iyalah!”
“Kita belum jalan-jalan keliling dunia, Mama!”
“Iya sih…, tapi eh?”
“Pastinya tuh dokter: salaaah!”
Ops, ada apa dengan si Butet? Seolah-olah aku akan mati saja,
pikirku.
Karena aku tidak membalasnya, dia langsung menelepon.
“Mama, jangan tinggalin Butet, ya Ma?” kudengar ada isak di
sana.
“Yeeeh…, siapa yang mau ninggalin kamu sih? Mama masih
ditransfusi nih, buruan saja, siniiii!”
“Iya, iya, bentar lagi ke situ. Tapi Mama harus janji, ya,
jangan tinggalin Butet, pliiiis…,” pintanya terdengar memelas sekali.
Kubayangkan anak itu sedang berurai air mata, duduk menyendiri
di pojokan ruangan. Entah di kampus, entah di rumah, mungkin pula di dalam
angkutan kota.
“Iya, Mama masih di rumah sakit, tauuuk! Boro-boro mau pergi
jauh, ini mau ke kamar mandi saja…, ribeeet!”
Selama ini jika ditransfusi di poliklinik Hematologi RSCM, aku
lebih sering menjalaninya seorang diri. Hampir tak pernah didampingi siapapun.
Transfusi darah yang harus kujalani sepanjang hayat, bagi keluargaku sudah
dianggap rutinitas yang tak perlu dikhawatirkan. Karena aku akan tampak sehat
dan baik-baik saja jika telah ditransfusi. Tak ubahnya orang mengisi bensin
pada saat-saat tertentu. Sejauh itu aku selalu berhasil memanipulasi kondisiku
di depan mereka.
Ya, aku baik-baik saja!
Malam itu, Butet menemaniku, kutandai perilakunya agak berubah.
Ia jadi lebih perhatian dan lebih mengasihiku dari biasanya. Sedikit-sedikit
menanyai keadaanku, sedikit-sedikit mencium pipi-pipiku, menempelkan tanganku
ke wajahnya, kemudian mengecupi tanganku itu dengan sepenuh sayang.
“Yeeeh…, ada apaan sih ini? Jadi curigason, euy!” candaku,
kujawil pipinya yang memerah bagai buah stroberi. “Biasanya kalau begini ada
maunya nih….”
“Ih, gaklah! Butet sayang, sayang, sayaaaang buanget sama Mama,”
sahutnya mengelak, kembali menghujani pipi-pipiku dengan kecupan sayangnya.
“Jadi terharu, euy…., makasih, ya Nak.”
Dinihari kulihat ia bangun, melakukan shalat tahajud dan lama
sekali berdoa. Aku sendiri tak bisa bergerak leluasa, ada botol infus dan
transfusi di tangan-tanganku. Aku hanya bisa shalat sambil berbaringan. Situasi
yang sama sekali tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi?
Paginya ia sudah sibuk wara-wiri ke laborat, menebus resep dan
cari makanan enak buatku. Untuk mengambil darah hari itu diserahkan kepada
bapaknya. Berhari-hari sebelumnya ia bergantian dengan abangnya bolak-balik
antri darah ke PMI pusat di Kramat Raya. Acapkali mereka berdua sampai dinihari
baru berhasil membawa darah untukku. Tak jarang pula Butet pergi seorang diri
malam-malam, biasanya dengan busway atau mikrolet.
Pagi itu aku sarapan bubur ayam yang dibeli di luar. Bukan tak
mau makan ransum rumah sakit, ini karena sudah lapar, sementara waktu sarapan
rumah sakit pukul delapan.
Butet membuka laptopnya dan memperlihatkan sebuah file tentang
anemia aplastik. “Ini nih, Ma, hasil browsingan Butet,” cetusnya.
Aku duduk dengan nyaman disangga tumpukan bantal. Butet duduk di
kursi di samping ranjang. Beberapa saat aku mencermati file yang tampaknya
berupa naskah skripsi atau penelitian seorang mahasiswa kedokteran.
Anemia Aplastik: gangguan pada sel-sel induk di sumsum tulang
yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami ansitopenia yaitu kekurangan sel
darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah
merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang
dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering”
dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak.
Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan
menghilangkan agen penyebab. Pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen
penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini
diduga merupakan keadaan imunologis. Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan
dengan pansitopenia. Penurunan leukosit yang bisa mengakibatkan pasien mudah
terpapar penyakit lain.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
1. Ekimosis dan (pendarahan dalam kulit)
2. Epistaksis (pendarahan hidung)
3. Pendarahan saluran cerna
4. Pendarahan saluran kemih
5. Pendarahan susunan saraf pusat.
Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit
jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang
dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian dan infeksi, pendarahan dalam beberapa
minggu atau beberapa bulan. Penderita yang lebih ringan dapat hidup
bertahun-tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai
terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan pendarahan yang
disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian, maka
penting untuk mencegah pendarahan dan infeksi.
Pencegahan: tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang
dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman)
dan higiene yang baik. Pada pendarahan atau infeksi perlu dilakukan terapi
komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit
dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti androgen diduga
menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita anemia
aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan
transfusi darah secara periodik
Untuk sesaat rasanya otakku dipaksa merekam berbagai hal tentang
kelainan darah akibat “keracunan kimia” itu. Padahal menurutku intinya sama;
penyakit kelainan darah bawaan!
Lalu apa bedanya dengan penyakit yang sepanjang hayatku harus
kuidap ini?
“Oke, gak apa-apalah, Nak. Kalaupun sekarang Mama anemia
aplastik, jalani sajalah,” komentarku tenang,
Butet menatapku terheran-heran. “Loh, memangnya Mama gak takut?”
Aku tertawa kecil. “Apa sih yang harus Mama takutkan lagi selain
azab Allah?”
“Iiiih, Mama…, ini penyakit serius banget, tauuuk!” Butet tampak
gemas sekali, ini malah membuatku geli sendiri.
“Yeeh, memang semua penyakit itu serius, tauuuk!”
“Ini kan berarti Mama jadi lebih tergantung lagi dengan darah,
trombosit, plasma en soon…. Pendeknya, hidup Mama akan berubah 180 derajat!”
“Walah, baguslah itu, Nak!” tukasku ketawa. “Yang asalnya cuma
drakuli kecil-kecilan, lantas jadi Master Drakuli kayak di Twilight itu, ya?
Siiik, siiik, asiiiik!” sambungku berlagak berjoget-joget, maksudku
tangan-tanganku saja yang geal-geol.
Sepasang mata bening yang semula terheran-heran itu, sekejap
berubah jadi berpendaran, riang dan terharu. Dengan sebelah tanganku yang bebas
dari infusan, kuraih wajahnya, dan kukecup sekilas keningnya.
“Begini, ya Nak,” ujarku sambil terus menikmati sarapan. “Seumur
hidup Mama harus menanggung penyakit kelainan darah bawaan ini, selalu
ditransfusi dan beberapa kali nyaris lewat. Buktinya Mama masih bisa bertahan
sampai sekarang, iya kan? Jadi, kalaupun ada komplikasi tambahan, ya, sudahlah
jalani saja. Yang penting kita tetap disiplin berobat, ikhtiar terus untuk
tetap sehat. Semuanya kita serahkan kepada kehendak-Nya sajalah. Dengan begitu
gak ada beban di hati dan pikiran kita….”
“Tapi, Ma, Butet kan takut Mama meninggal,” pintasnya.
“Pssst, orang beriman tidak boleh menakutkan kematian. Semua
makhluk hidup memang akan berujung pada kematian. Itu sudah kodratnya.”
Tampaknya Butet masih belum rela menerima semua perkataanku. Aku
mengingatkannya untuk mensyukuri segala nikmat dan karunia Tuhan yang telah
dikucurkan-Nya kepada kami. Kuingatkan pula bahwa ibunya ini telah melewati
masa-masa kritis penyakit abadinya, dan itu telah beberapa kali.
Lihatlah di klinik Hematologi, di Yayasan Thallasemia sana.
Begitu banyak anak-anak yang menderita, sudah didera kemiskinan harus
menanggung penyakit tak tersembuhkan pula. Seorang ibu harus kehilangan lima
anaknya secara bergiliran dari tahun ke tahun, karena semua anaknya mengidap
kelainan darah bawaan.
“Bayangkan, Mama masih bertahan sampai 53 tahun begini. Masih
bisa berkarya pula, cari nafkah buat kita…. Eh, pernah jalan-jalan ke luar
negeri pula. Bahkan diumrohkan dan dihajikan gratis. Nah, coba, nikmat-Nya mana
lagi yang ingin kita dustakan?” ceracauku dalam nada serius, tapi diseling rasa
humor yang tinggi.
“Hmmm, hmmm….”
“Eh, habiskan sarapanmu itu, Say!”
“Gak, ah, mendadak kenyang.” Dia hendak menaruh mangkuknya di
atas lemari kecil di samping ranjang.
“Ya wis, Mama juga sudah kenyang….” Aku pun berlagak mengikuti
jejaknya.
“Eh, no, no, no!” cepat ditariknya kembali mangkuknya. “Ayo,
kita balapan! Yang kalah gak boleh ngenet hari ini!”
“Lagian modemnya dibawa Abang kemarin.”
“Iiiih, tuh bocaaah…, gheeerrrr!”
Aku menyambungnya dengan mata melotot. “Iya, yah…, gherrrr!”
Demikian ternyata kami berdua masih bisa ketawa-ketiwi. Tiga
pasien lain di kamar ini tampaknya terheran-heran: kok bisa, ya?
Seketika kami bertatapan lalu terkikih ditahan. “Lah iyalaaah…,
bisa! Hehe!”
Ketika dokter datang, Butet langsung menerornya dengan berbagai
pertanyaan seputar penyakitku. Seperti sebelumnya, dokter baru bisa memastikan
apakah anemia aplastik atau bukan, jika aku sudah diambil cairan sumsum tulang.
“Jalani saja, ya Ma, biar semuanya jelas, pliiiiis,” bujuk
Butet.
“Taklah!” kataku tegas sekali. “Butet saja yang di-BMP!”
“Yeeeh, siapa yang sakit lagee!”
“Pokoknya Mama gak sudiiii! Tenang saja, ya, Nak. Mama masih
mampu bertahan dari penyakit apapun. Kan ada Butet, cinta dan sayangmu yang
selalu menemani Mama.”
Tampaknya mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
semester lima itu berhasil juga kuyakinkan.
“Sudah, ah, Butet kuliah dulu, ya Mom. Doain, siang ini ada tes
HD…”
“Apaan tuh?”
“Hukum Dagang, Mamiku sayaaaang…. Mmmhuaaa, sudah, istirahat
lagi, ya!”
Sejak hari itu, aku dpaksa agar terbiasa melepas putriku
berangkat kuliah dari ranjang rumah sakit. Ada kepiluan dan rasa bersalah di
hatiku, tentu saja, tak bisa menyiapkan sarapan untuknya seperti biasanya.
Nyambung deh….tralalala….
buuu, sedih nih T_T udah pernah baca sih.. tapi tetep aja..sehat terus ya bu
BalasHapusHaya Najma; terimakasih telah berkunjung, salam ukhuwah yah...insya Allah sehat, ini sedang di bandara cengkareng akan berangkat ke taipei, doakan ya saaaay!
BalasHapusPosting Komentar