Menghemat tenaga, kadang bersimpuh
Seriusnya ibu-ibu; woooow!
Ternyata ada Vice Presiden, dokter, para manager dan Ustad.
Inilah Evatya Luna; novelis muda dari Surabaya
Geeeeer, meledak tawa!
Para penulis terpilih
Ternyata Pak Solikhin, petingginya loh!
Terimakasih, Mbak Yasmin dan si cantik
Tembagapura, 18 November 2012
Pagi
sekali sudah meluncur dari Guest House 104, harus mengantar Evatya Luna lenih
dulu ke Hospital Tembagapura. Matanya endadak bintitan sejak semalam. Mulai mengganggu
dan bikin pening kepala, katanya.
“Kalau
kata orangtua, ini namanya bintitan, Va,” kataku meledeknya.”Emang habis
ngintipin siapa sih?”
Evatya
Luna sampai cemberut dan melotot mendengar ledekanku kali ini. Kuusap-usap lembut
pundaknya:”Canda, weeei, jangan dimasukkan ke hati, ocreee beib.” Terpaksa kami
tinggal Elly Lubis yang masih berada di kamar mandi.
"Mereka harus memanggil dokter spesialis mata dulu, Teteh," kata Ustad Dedi. Maka, kami pun diminta menunggu.
Ustad Dedi yang mengantar kami dengan mobil Landrover, kendaraan khas milik perusahaan Freeport, begitu sigap mengurus; pendaftaran, mengisi formulir, memberi semacam jaminan atau sponsor.
Ustad Dedi yang mengantar kami dengan mobil Landrover, kendaraan khas milik perusahaan Freeport, begitu sigap mengurus; pendaftaran, mengisi formulir, memberi semacam jaminan atau sponsor.
Di ruang tunggu ada dua orang warga asli. Kutanya sakit apa, eeeh, ndilalah dia malah balik bertanya:”Dokter tak ada, ya sudah, tunggu?” Hadeuh, kagak nyambung men!
Ternyata serba cepat, hanya sekitar 10 menit Evatya Luna sudah ditangani oleh seorang dokter spesialis mata.
Aku geleng-geleng kepala, takjub juga, sempat kubandingkan penanganan pasien yang sering kuterima di RSCM. Ya, sudahlah!
Ternyata serba cepat, hanya sekitar 10 menit Evatya Luna sudah ditangani oleh seorang dokter spesialis mata.
Aku geleng-geleng kepala, takjub juga, sempat kubandingkan penanganan pasien yang sering kuterima di RSCM. Ya, sudahlah!
Kami
meluncur ke Mesjid Darussa’adah, tampaklah ibu-ibu dan bapak-bapak sudah
memenuhi aula. Aduh, ini membuat hatiku tak enak. Biasanya dirikulah yang datang lebih awal daripada peserta.
Acara
pun dibuka oleh MC, ibu muda, bergaun dan berkerudung ungu, Caca Hasibuan, lama
tinggal di Bogor, alumni IPB. Entah mengapa kulihat panitianya semua beraroma
ungu, semoga bukan karena demi menyenangkan diriku yang penyuka ungu. Geer
banget, yah!
Abrar
Rifai dipersilakan untuk menyampaikan prolognya; betapa pentingnya menulis. Kemudian
aku dipersilakan untuk memberi motivasi, inspirasi dalam koridor serupa;
keutamaan menulis.
Berkelana
dengan buku, slide-slide dengan backsound
Gie, menggambarkan perjalananku dalam rangka; Menyebar Virus Menulis. Mulai
dari kampungku Depok hingga menyusuri Malaysia, Singapura, Hong Kong, Macau.
Agaknya
para peserta langsung tertawan hati, kucermati semuanya fokus mengikuti
kicauanku. Demikian pula ketika disambung dengan berbagi pengalaman, contohnya
kuambil dari pengalaman pribadi, sahabat dekat dan sastrawan Indonesia.
Mereka
gelak tertawa mendengar humor-humor yang kuceletukkan secara spontan,
istilah-istilah khas diriku pun berseliweran; Nah, itu honornya kan duit. Ya,
duit meeen! Kamsepay, Onse alias oon sekali dan banyak lagi.
Jika
sudah mendengar gelak tawa dan tepuk tangan riuh begitu, lega rasanya. Artinya,
setidaknya keberadaanku dan materi yang kusampaikan (bukan teori!) berkenan di
hati audiens. Alhamdulillah.
Penampilan
Evatya Luna pun keren, ini penulis muda asal Surabaya keturunan Arab, memang
memiliki talenta bagus sebagai pembicara. Kudoakan kelak, dalam tempo tidak
lama lagi, seiring karya-karyanya berlahiran, sosok jelita ini akan memiliki
penggemarnya sendiri.
Jam
demi jam tanpa terasa terus berjalan, disambi dengan rehat, ada foto bersama
pula. Ini unik, menurutku, karena sejauh yang kualami biasanya foto bersama
setelah usai acara. Tapi, ya sudahlah!
Ibu-ibunya, wow, memiliki antuasias dan semangat tinggi. Ada beberapa ibu muda yang datang membawa bayi dan Balita. Apabila bayinya minta ASI, maka sang ibu segera menyusuinya sampai bayinya tertidur.
Bapak-bapaknya
pun ternyata memiliki kebiasaan menulis surat. Terutama mereka yang jauh
dari keluarga, istri dan anak-anak. Maka, ketika diberi kesempatan agar mereka
menuliskan pengalaman saat pertama kali tiba di Timika, hampir semua tulisan
sudah bagus.
Karena
panitia menyediakan hadiahnya terbatas, maka kami terpaksa hanya memilih 11
orang saja.
“Anda
tinggal fokus untuk menuangkan segala yang ada dalam pikiran dan perasaan. Mau
menajdi penulis, ya, menulislah sejak sekarang. Jangan ditunda lagi!” celotehku
sebagai tukang terror untuk para calon penulis.
Ternyata
di antara peserta sekitar 50-an ini, menyelipkan seorang novelis muda. Dia telah
menerbitkan buku pertamanya di Gramedia. Tito, apa ya kepanjangannya, maaf,
Evatya Luna sudah bobo, daftar peserta dipegang dia di lapinya.
Belakangan, ketika acara selesai dan saling mengenalkan diri, barulah kutahu peserta memang berlatar belakang istimewa. Ada Vice President, para manager, supervisor bahkan dokter dan ustad.
Dipromotori oleh Akbar Literasi, Elly Lubis, tentu saja kuharapkan
sekali dari workshop ini; akan
berlahiran para penulis hebat dari Tembagapura. Kami menantang peserta untuk
menulis, kemudian mengirimkan karya kepada Akbar Literasi.
Insya
Allah, kami akan bantu untuk menyunting kemudian mengirimkannya ke berbagai
penerbit Nasional.
Nah,
ibu-ibu dan bapak-bapak Himpunan Masyarakat Muslim khususnya, dan para calon
penulis di bumi Papua pada umumnya; Mari Merekam Jejak Melalui Sastra! (Pipiet
Senja, Papua)
Posting Komentar