Bandara
Syarif Kasim, Pekanbaru, 10 Oktober 2012
Ketika
berangkatnya dari Bandara Cengkareng, 5 Oktober 2012, mengalami keterlambatan
selama 1 jam 30. Saya masih berharap bahwa itu adalah keterlambatan yang
terakhir kalinya, dan harus saya alami dari maskapai yang satu ini.
Maka,
pulangnya dari Pekanbaru, Bandara Syarif Kasim, ternyata mengalami (lagi!)
keterlambatan. Tidak tanggung-tanggung, Saudara, telatnya selama 3 (tiga) jam!
“Kita
cari minuman hangat saja dulu, yuuuk,” ajak seorang ibu muda.
“Iya,
hayulah,” kataku, baru menyadari butuh air minum hangat untuk melancarkan obat
jantung yang selalu memberi efek mual itu.
Kami
pun harus keluar, dan segera menemukan tempat rehat sambil minum (laonge
eksekutif).
“Mau
apa, Bu?” tanya seorang gadis muda, menatapku dengan tajam.
“Ya,
mau cari minumlah,” sahutku santai.
“Di
sini harus pake kartu kredit seperti itu tuh, Bu,” katanya sambil menuding ke arah
kertas yang ditempel di dinding. Kusodorkan kartu kredit Mandiri jenis Master.
“Gak
bisa, Bu,” kata gadis muda itu, kemudian segera melayani tamu lainnya dengan
sikapmya yang (di mataku) sungguh tak sopan, tidak memandang sebelah mata,
Melihat
gelagatnya dan tekstur tubuhnya yang terkesan menyepelekan, seketika ada yang
menggaruk kelapa bagian kiriku. Apa dikiranya aku gak punya duit, ya?
“Berapa
memangnya, Dek, agar saya bisa minum dan rehat di sini?” nadaku pun mulai
meninggi.
“Kena
charge 75 ribu,” sahutnya, sungguh masih acuh tak acuh.
Kuambil
dompet, sengaja kubuka di depan hidungnya, agar terlihat isinya lebih dari 3
juta, uang ganti tiket dan pemberian panitia Al Ihsan Boardingschool (satu-satunya
yang memberiku honor!), dalam rangka Safari Ramadhan tahun ini.
“Ini,
ya, Dek,” kusodorkan selembar seratus ribu, tanpa menunggu kembaliannya aku
langsung ngeloyor ke sofa paling pojok.
Tiga
jam, Saudara, bukan waktu yang singkat!
Inilah
yang bisa kulakukan, mencoba membuka internet bermaksud memposting kekesalanku
di website pribadi dan jejaring sosial. Bisa ke kamar mandi bahkan menyegarkan
diri, kemudian mengqadha sholat Maghrib, lanjut Isya. Minum dua cangkir jahe
hangat dan Capucino, makan dua potong bika ambon, semangkuk sop jagung yang rasanya
duka teuing alias gak puguh juntrungannya itu.
Duh,
yang bener dong kelas eksekutiiiiif, penganannya kok di bawah standar!
Baru
limabelas menit, sepertinya aku harus menyerah internetan karena tidak bisa
akses, baik modem maupoun Wifi. Mendadak saja aku didatangi seorang pelayan
yang bilang sebagai berikut:”Maaf, ya Bu, kami akan tutup sebentar lagi. Hanya
sampai jam delapan saja. Karena besok pagi sekali kami sudah harus buka….”
“Loh,
kalau memang tidak bisa sampai jam sembilan nanti, mengapa gak dari tadi saja
ketika di depan sana, kami diberi tahu?” cetusku sebal sekali, kepalaku pun serasa
berdenyut.
“Maaf,
ya Bu, iya lain kali kami akan menginformasikannya,” sahutnya dengan mimik
tanpa dosa sama sekali. Preeeet deh!
Daripada
melihat mulut-mulut manyun dan wajah bete, aku memutuskan bangkit dan
meninggalkan ruang eksekutif yang sama sekali tidak memberi kenyamanan itu.
Para penumpang lainnya pun mengikti jejakku.
Namun,
ada seorang bapak berlogat Batak bersikeras bertahan di situ. Dia berbantahan,
lumayan heboh dengan logatnya yang khas, plus bentak-bentak. Hadeeeew,
buang-buang enerji saja!
Ketika
kembali ke ruang tunggu, diharuskan lagi melalui pemeriksaan sama seperti
sebelumnya.
Jam
di dinding menunjukkan pukul 20.05. Artinya masih satu jam sepuluh menit lagi!
Kulihat
banyak yang sudah tepar, tiduran di bangku dengan wajah yang ditutup koran,
entah apa alasannya. Gak sempat kutanya, lagian takut ditabok, kalau iseng
ganggu orang suteres!
Kulihat
ada nasi kotak, meskipun tak ada lagi
petugasnya, kuambil satu. Waktu kubuka ternyata isinya sedikit nasi dengan
sayur daun pepaya dan ketimun yang sudah basi, lauknya ikan mujair yang banyak
cucuknya itu. Sori, gak bisa kumakan, kuatir bikin keselek, bisa-bisa semaput
digotong ke ICU!
Tiga
jam, Saudara, bukan waktu yang singkat!
Di
dalam aturan main penerbangan, jika mengalami keterlambatan selama tiga jam,
maka penumpang berhak mendapatkan kompensasi sebagai ganti rugi sebanyak 300
ribu? Tetapi, mana realitanya? Hanya permintaan maaf di atas pesawat dan nasi
bungkus dengan sayur basi dan lauk penuh cucuk!
Penerbangan
macam ini sungguh tidak bisa direkomendasikan.
Sumpah, kapok berat, dan akan
kucatat baik-baik dalam memori otakku yang sudah manini ini (56 tahun), di
waktu mendatang; jangan pernah memakai jasa maskapai ini lagi. Kepada panitia, kumohon
dengan sangat, plis deh, ah, jangan pernah memberiku tiket: LION AIR!
(Pekanbaru, Pipiet Senja dalam perjalanan)
Posting Komentar