Taipei,
22 Oktober 2012
Mengikuti
rombongan VOI RRI melakukan kunjungan kerja ke Taiwan, penulis sempat membandingkan
kedua lembaga milik Pemerintah ini sambil berdecak dan geleng kepala.
Bagaimana
tidak, begitu mencoloknya kesenjangan kedua lembaga peradioan ini. Mulai dari managmen,
kinerja, fasilitas hingga budget yang diterima RRI dan RTI dari Pemerintah
masing-masing.
Kalaupun
ada persamaan dalam hal sejarahnya. Kita tahu RRI memiliki sejarah heroik di
zaman pendudukan Jepang, sebagai corong para pemimpin Indonesia. RRI pulalah
yang pertama kali berani mengumandangkan teks Proklamasi dibacakan langsung
oleh Bung Karno.
Demikian
pula RTI sebagai corong para pejuang, Chiang Kai Shek dan kawan-kawan saat
berperang melawan RRC.
Pagi
itu, sesuai jadwal, dari Grand Victoria yang jaraknya tak seberapa jauh dengan
gedung RTI, kami sudah dijemput oleh seorang penyiar RTI. Jika hari pertama
kami dipandu oleh Ana Shanchong mengunjungi Masjid Moslem tertua di Taipei dan
Shilin Market, maka kali ini Farini yang memandu.
“Bagaimana, Bu Pipiet Senja, sudah siap?” sambut Farini, perempuan WNI yang telah berdomosili di Taiwan separuh hidupnya itu, tersenyum manis. Ia sudah menanti cukup lama, kukira, di lobi hotel itu.
“Sebentar,
satu lagi masih di kamarnya,” kataku, jujur merasa tak enak hati juga dengan keterlambatan
gerak laju rombongan.
Namun,
Zulhaqqi Hafiz, Anhar Ahmad, Kabul Budiono, tiga petinggi RRI tampak selalu
lebih awal siap dari lainnya sejak awal.
“Kita
ditunggu jam sembilan,” ujar Farini menatapku sekilas. Aku melengos, mencari
bayangan dua sosok yang terlambat.
Akhirnya
muncul jua yang ditunggu-tunggu, kami pun bergegas menuju gedung RTI. Hawa
sejuk dan bersih, suhu Taipe 17 derajat Celsius. Banyak anak-anak BMI Taiwan
yang mengingatkanku melalui inbox tentang cuaca dingin ini.
Ternyata
aku merasa nyaman dan cocok saja, karena memang asliku anak gunung Tampomas,
Sumedang. Hawanya jelas jauh lebih dingin dari Taipe.
Begitu
turun dari kendaraan, tampak Mr. President RTI didampingi Tonny Tamsir sudah
menanti. Kembali aku berdecak, berapa lama mereka menunggu, rasanya telat lebih
20 menit.
Tonny
Tamsir, anak muda WNI dengan fasih mengenalkan rombongan satu demi satu kepada
orang nomer satu RTI. Kami kemudian dibawa masuk ke sebuah gedung megah dengan
tatanan modern, serta fasilitas teknologi yang canggih.
“Ibu
Pipiet Senja, saya Amina. Saya mau wawancarai Anda dulu ya untuk program kami,”
ajak Amina, segera menggandengku ke sebuah ruang penyiaran. Kalau tak salah itu
acara spesial untuk wanita: Sosialita Diva (?)
Beberapa
saat lamanya penulis berbagi kisah inspirasi, perihal kepenulisan dan aktivitasku
keliling beberapa negara. Fokusku spesial untuk meneror kaum Buruh Migran
Indonesia agar merekam jejak mereka melalui karya atau buku.
“Wooow!
Semangat sekali nih, Bu Pipiet Senja, jadi ikutan tersulut semangat saya,” kata
Amina mengakhiri siaran kami.
Kembali
penulis bergabung dengan rombongan, diajak keliling gedung RTI. Terus terang,
penulis jelas sangat norak, demi mencermati kemegahan dan keunikan yang
terpampang di sekitar kami.
Museum
RTI, bayangkan, mereka memiliki berbagai koleksi dan rekaman sejarah sejak
berdiri lembaga penyiaran tertua di Negeri Formosa ini. Mulai dari operasi penyiaran
era 1918, berdirinya Republik Taiwan yang memisahkan diri dari Republik Rakyat
China. Hingga era globalisasi, ketika media penyiaran didesak oleh televisi dan
jejaring sosial online.
“Ini
dokumentasi surat-surat dari para pemirsa sejak berdirinya RTI,” jelas seorang
penyiar perempuan dalam bahasa Mandarin. Diterjemahkan oleh Rita Asmara dari
VOI RRI.
“Wooow,
sungguh luar biasa!” semua berdecak kagum.
Usai berkeliling ke berbagai ruangan,
rombongan dibawa ke Meeting Room. Di sinilah dilaksanakan penandatanganan
kerjasama secara formal antara RRI dengan RTI.
“Kita
makan siang di sebuah restoran termegah dan teranggun yang ada di Taipe,” ajak
Tonny Tamsir, hatta idolanya teman-teman BMI Taiwan, saking sering muncul di
majalah, serta bergaul akrab dengan mereka. (Negeri Formosa, Pipiet Senja)
Posting Komentar