Papua,
16 November 2012
Untuk
pertama kalinya aku menumpang Airfast, maskapai milik perusahaan Freeport. Kali
ini aku diundang oleh teman-teman Himpunan Masyarakat Muslim, komunitas sosial
dan pendidikan yang giat di kawasan Tembagapura.
“Akhirnya!”
desis Elly Lubis, rekanku yang sangat gigih menyambungkan kegiatan kami dengan
pihak Freeport. “Papua, Teteh, kita akan menuju Papua,” lanjutnya pula sambil
memandang hamparan langit di sebelah jendela kami.
“Ya,
semoga kondisinya di sana aman-aman saja,” sambutku, sesungguhnya masih ada
rasa was-was. Mengingat pemberitaan perihal gangguan keamanan di Timika.
“Insya
Allah, aman, menurut teman-teman,” kata Elly Lubis meyakinkanku untuk ke sekian
kalinya.
Akbar
Literasi, digagas Elly Lubis beberapa bulan yang lalu, tepatnya Agustus 2012.
Dimaksudkan untuk menyebar virus menulis dan cinta baca di kalangan masyarakat
luas, terutama di tempat-tempat terpencil yang masih belum tergarap secara
maksimal oleh Pemerintah.
Kami
mengawalinya dengan Safari Ramadhan di kawasan Jawa Timur dan Madura. Kami,
saya, Evatya Luna, Astry Anjani dan Abrar Rifai bersinerji saling mengisi untuk
meberikan pelatihan-pelatihan menulis di kalangan para santri.
Melihat
sambutan dan antusias peserta terhadap kegiatan menulis dan membaca begitu
menggairahkan, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan hal serupa di berbagai
pelosok Tanah Air.
Elly
Lubis memiliki link yang cukup luas, saya pun menambahkannya dengan link-link
yang saya miliki. Kami menggaet tiga penulis muda yang memiiki potensi dan
talenta bagus di bidangnya masing-masing.
Evatya
Luna, novelis yang telah banyak melahirkan karya bersama antologi cerpen dengan
penulis Nasional. Abrar Rifai selain novelis, mahir pula memberi tausyiah dan
menulis artikel dakwah, maklum seorang jebolan pondok pesantren. Astry Anjani
mantan BMI Hong Kong, penyair muda dengan karya-karyanya yang menggugah jiwa.
Setelah
menempuh perjalanan tiga jam dengan perbedaan waktu satu jam, sampailah kami di
Bandara Makassar. Hanya transit 25 menit saja, kata pramugari, untuk mengisi
bahan bakar. Elly Lubis masih penasaran agaknya, kepingin melacak jejak Evatya
Luna dan Abrar Rifai.
“Mereka
sudah berangkat dengan pesawat Airfast dari Surabaya, yah, sekitar 30 menit
yang lalu,” jelas petugas membuat wajah Elly Lubis yang halak hita itu kontan datar.
Hanya
untuk pergi ke kloset, kemudian kami kembali ke ruang tunggu, saya sempat
membeli minuman dingin yang ternyata salah pilih. Tak berapa lama terdengar
suara perempuan dari mike, memanggil semua penumpang Airfast tujuan Timika
untuk segera memasuki pesawat.
Kembali
makanan hangat dihidangkan untuk kedua kalinya. Aku menolak dan lebih suka
memilih memejamkan mata. Meskipun kutahu tidak pernah bisa tidur lelap selama
perjalanan.
“Akhirnya,
Teteh, kita sampai di bumi Papu,” kembali Elly Lubis dengan noraknya
berdecak-decak. Swejak saat itu, dia memang akan segera takjub dan mengabadikan
berbagai hal dengan kamera milik putriku Butet.
Evatya
Luna dan Abrar Rifai sudah menanti di ruang tunggu. Tampaklah berbagai ras ada
di sini, terutama didominasi oleh warganegara Amerika. Seharusnya, menurut
rencana kami akan dingkut dengan chopper milik Freeport. Tetapi setelah
ditunggu selama dua jam, semua penumpang bergegas menuju terminal bis di samping
helipad.
Petugas
memanggil nama penumpang satu per satu, hingga tibalah giliran nama kami
berempat dipanggil jua. Evatya Luna nyengir waktu dipanggil: “Pak Zubardy….”
Padahal itu adalah fam keluarganya, keturunan Arab.
Tak
kalah kagetnya diriku begitu lihat kendaraan yang disebut bis, ternyata truk
kontainer, didesain menjadi bis yang jendelanya rapat dilapisi bahan anti
peluru. Mujurlah aku mendapatkan bangku di deretan depan dekat pintu, jadi
tidak terasa sesak. Tak terbayang jika di depan atau di tengah, aduhai, auranya
saja sudah sangat “militer”. Bisa-bisa muntah sepanjang jalan!
Karena
semua jendela tertutup lapisan antiupeluru, tentu saja kami pun tidak bisa
mlihat apapun. Jangankan pemandangan Papua yang terkenal permai, bahkan
sopirnya pun hingga terminal terakhiur; tidak pernah kulihat batang hidungnya!
(Pipiet Senja, Tembagapura-Papua)
Posting Komentar