Sabtu,
22 Desember 2012
Prolog
Mama
Ini
memang hari Ibu, tetapi kutahu putriku yang biasa dipanggil Butet itu, tidak
akan pernah mau mengatakan bahwa ini adalah hari spesial untukku.
“Semua
hari selalu spesial kalau menyangkutmu, Mom. Butet sayang selalu setiap hari,
setiap waktu, sueeeer!” cetusnya sejak kecil dulu, jika aku mengingatkannya
bahwa 22 Desember ini adalah Hari Ibu.
Meskipun
demikian, dia akan diam-diam menuliskan catatan cintanya untukku. Setahun yang
lalu, ketika dia diamanahi magang sebagai pendamping BMI Hong Kong, dia masih
menyisihkan waktu.
Kuingat,
malam-malam, dia SMS, Mama sudah Butet tulis ya catatan cinta buat Mama.
Cekidoooot!
Kubuka
akun FB, benar saja ada catatan cintanya untukku. Dia menitip rindu, menitip
yang lucu-lucu, masa dia bilang:”Sosokmu ada di mana-mana, setiap lihat
warna ungu, tas ungu, dompet ungu, ada Mama di situ. Lihat nenek-nenek di
lapangan Victoria, bayangan Mama juga kulihat di situ….”
Ada
satu hal yang menarik pada catatan cintanya, 2011. Bahwa dia berjanji akan
menghadiahiku seorang mantu yang baik, yang bisa membantunya, diandalkan
untuk mengantar-antarku ke rumah sakit.
Aku
selalu tersenyum setiap kami mencermati catatan cintanya. Tapi, sekaligus
airmataku pun tanpa sadar akan berlinangan, membasahi pipi-pipiku yang pucat
karena sudah saatnya ditransfusi.
Nah,
kali ini pun demikian adanya. Aku sempat mengingatkannya,”Nak, mana catatan
cintanya. Nulis yang bagus, ya Nak, hehehe….”
Beberapa
menit yang lalu dia WhatsApp:”Ini bukan untuk dipublikasikan, tapi catatan saja
buat kita berdua, ya Mom! Maafkan Butet, ya Mom, belum bisa memberimu hadiah
apapun, mhuuuuaaa!”
Oh,
tidaaak!
Bagiku,
bukan hadiah yang kuharapkan darimu, dari anak-anak, mantu atau cucu.
Perhatian, kepedulian, menjaga perasaan dan saling empati, itulah yang utama.
Maafkan,
ya Nak, catatan ini adalah sebuah karya.
Jadi,
izin tak izin, pokoknya Mama posting sajalah di website pribadi ini. Kelak,
kita akan menceritakannya kepada anak-anakmu.
Oiya,
satu hal, Nak:”Mama gak mau dipanggil Oma, ah, mendingan disamakan saja dengan
Zein dan Zia. Panggilnya nanti anak-anakmu kepada Mama adalah; Manini.
Ocreeeh,
beeeib, Mama doakan selalu. Hidupmu, setiap helaan napasmu, setiap detak
jantungmu senantiasa barokah. Dan bakal cucu Mama dalam kandunganmu itu:
berkahlah dengan Asma-Nya.”
Butet
Bukan
Hanya Hari Ibu
Banyak
literatur yang mengatakan, Hari Ibu di Indonesia punya sejarah yang berbeda
dengan Hari Ibu di negara lainnya.
Pada
22 Desember 1938, “Hari Ibu” yang punya sejarah lebih kuat, mandiri dan berani.
Karena di hari itulah para wanita mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang
pertama.
Terlepas
dari literatur ataupun celotehan kaum akademisi tentang Hari Ibu, memang
seperti itu pulalah aku mengingat Mama: kuat, mandiri dan berani.
Aku
menulis ini di malam hari, setelah selesai mencuci, Padahal baru saja tiba dari
perjalanan subuh yang melelahkan.
Entah
karena lelah terlalu lama menyetir atau jongkok terlalu lama kala mengucek baju
sendiri, bayi di perut ini mendadak berontak. Mendera dengan rasa sakit luar
biasa. Hingga sesak, ya Allah!
Otomatis,
aku memekik mengaduh. Suamiku yang ada di sebelahku menoleh. Bukan cemas, bukan
juga prihatin.
Hanya
bereaksi;”Kenapa sih teriak-teriak?” Lantas pergi setelah mengomel lagi
sedikit.
Pasti
karena dia juga capek dan mengantuk. Tapi aku seketika tertegun. Lama sekali
termenung sambil terus mengucek dan menunggu cucian selesai.
Mungkin
karena terlalu lama dimanja suami, atau memang sensitif sedang hamil, pikiranku
mendadak melayang kemana-mana. Ah, selama ini betapa dimanjanya aku, semua
serba mengandalkan suami.
Mungkin
dia juga capek dengan istri manja, sejak hamil sakit terus, berisik, banyak
maunya, minta tolong terus. Tanpa terasa berurai airmata, tetapi, aku terus
melanjutkan mencuci.
Kalau
boleh bela diri, aku juga tidak minta sering kontraksi dan sakit begini. Apa
dia menyesal ya nikah sama aku?
Aku
juga tak nyangka nikah sama dia. Padahal dulu… ah, pikiran yang tidak-tidak
bermunculan di kepala. Jadi penyakit.
Sambil
sesenggukan dan menahan sakit di perut, aku lanjutkan penyesalan berlarutnya.
Apalagi suasana sekeliling mendukung sekali.
Laba-laba
besar yang sesekali lewat, nyamuk yang mengerubuti, sampah pohon, tumpukan
rongsokan.
Dulu
aku mampu menikah dengan yang lebih baik dari ini. Tapi kusia-siakan. Aku juga
tak minta takdir bawa ke tempat seperti ini.
Kenapa
hidup begini amat?
Capek.
Ingin tutup mata dan tak dibuka lagi!
Tiba-tiba
saja teringat Mama. Aku ini, sungguh anak manja, ya!
Baru
mencuci, pake mesin cuci pula, masih saja mengeluh. Aku teringat kembali, Mama
cuci semua baju, piring, masak pula, beres-beres, dan semua pengabdiannya untuk
suami.
Semua
dikerjakan dalam diam tanpa keluhan atau bantingan tidak ikhlas. Tidak ada
dalam catatan sejarah hidupnya, Mama minta tolong suami jemurin baju. Atau
bantu apapun, sekecil apapun itu, sekalipun sedang sakit!
Aku
takkan pernah lupa, Mama dengan kaki pincang sehabis dipukuli suami hingga
lututnya retak, tersaruk-saruk ke Jakarta, demi mengambil ambil honor.
Demi
mengganjal perut anak-anaknya, bahkan makannya si sosok yang telah
menganiayanya itu!
Entah
tak terhitung berapa kali di masa kanak-kanakku, Mama jinjing aku yang cengeng
dan suka mabok darat ini. Mama akan mengetuk satu per satu pintu kantor penerbit.
Bukan mengemis. Cuma minta hak royalti yang dijanjikan entah sejak kapan.
Ya!
Hanya minta honor yang seharusnya sudah diberi sekaligus, begitu resmi dibeli
oleh Inpres. Namun, penerbit sialan itu tak pernah sudi membayarnya sekaligus,
melainkan dicicilnya sedikit demi sedikit.
Kami
akan menunggu berjam-jam, acapkali bahkan hanya mendapatkan sedikit saja.
Sungguh tak sesuai dengan waktu yang tersia-siakan yang seharusnya bisa dipakai
Mama untuk menulis.
Pulangnya,
Mama sisihkan sedikit uang untuk beli roti miskin. Kuberi nama seperti itu,
bentuk rotinya panjang, ada keju murah di atasnya, tapi seringkali kutemui
hijau-hijau jamur di sela-selanya.
Meski
begitu, sering aku tak bilang-bilang. Kujejalkan ke mulutku sambil nyengir
karena ada rasa asam-kecut begitulah.
Aku
sudah mengerti sedari kecil bahwa hidup itu keras, dan jangan pernah biarkan
hal kecil layaknya sakit perut, membuatmu takut atau menangis.
Di
kemudian hari, betapa banyak orang memuji-muji Mama, lantas mengidolakannya,
menjadikannya sebagai Bunda inspirasinya. Kurasa, mereka menganggapnya beken
sejak dulu.
Padahal
baru belakangan ini saja, Mama tak perlu ketuk sana ketuk sini demi hak
sendiri.
Yang
kupelajari dari Mama adalah hidup itu keras. Maka ketika seorang pengacara
besar, Rahmat Soemadipradja, menatap langsung ke mataku dan berujar, “Hidup
akan memperlakukanmu seperti kau memperlakukan hidup itu sendiri. Kau, masih
sangat muda tapi sudah begitu keras pada hidup. Jangan.”
Aku
lantas tak berkutik. Padahal itu pertemuan pertama, dan ia baru sepuluh menit
lalu bersalaman dengan tanganku yang kasar ini. Ingin rasanya menjawab,
tanganku kasar karena sedari kecil kerja, main dan belajar, tak ada waktu untuk
berdamai dengan hidup.
Seperti
itu pula Mama. Keras. Lebih dari orang Batak, sehingga kerap kali orang mengira
yang Batak itu Mama dan bukan Papa.
Sekarang,
aku sudah dimanja oleh hidup. Sudah ada orang yang bisa diandalkan. Tapi yang
kupelajari dari Mama lagi adalah jangan pernah mengandalkan orang lain, termasuk
laki-laki.
“Ya,
terutama laki-laki, ingat itu!” kata Mama mewanti-wanti.”Kita sebagai perempuan
tetap harus kuat dan mandiri!”
Maka
aku hapus airmata yang dari tadi tak berhenti keluar. Kuselesaikan dengan
ringkas segala cucian dan jemuran. Kucuci piring dan kurebus air panas untuk
menghilangkan sakit di kepalaku.
Baiklah,
Mama, lihatlah anakmu!
Aku
bersumpah dalam hati, takkan pernah lagi meminta bantuan siapapun, merepotkan
siapapun. Biarlah hidupku jadi dunia tanpa pria di mana cukup ada aku dan Mama
kelak!
Kuelus
si bayi di dalam perut, “Nak, jadilah orang hebat seperti Omamu nanti. Gagahlah
pada hidup. Garanglah pada takdir. Jangan ambil keputusan-keputusan salah
seperti ibumu ini. Belajarlah tentang semua kesialanku, kebodohanku,
kesalahanku dan ambillah segala keberanian Omamu ya.”
Berlinangan
aku menyadari bahwa kehamilan membawa kita ke persepsi yang luar biasa berbeda,
mengacak-acak prioritas hidup yang sebelumnya sudah kau susun sesempurna
mungkin.
Setiap
anak memenggal cita-cita orangtuanya hingga ke titik tertentu. Membatasinya
bahkan bisa jadi menghancurkannya. Adalah tugas setiap anak untuk mengemban
harapan-harapan yang tercapai itu.
Itulah
mengapa aku sedih. Karena belum bisa membayar itu semua pada Mama.
Belum mampu
kulunasi segala harapan, kebaikan dan kehebatan yang diam-diam pasti diidamkan
setiap ibu untuk anaknya.
Semoga
ada waktu. Semoga ada kekuatan. Bismillah. (Adzimattinur Siregar)
sesuatu sekali manini+butet... sama seperti prinsipku sekarang "JANGAN MENGANDALKAN ORANG LAIN, SUAMI SEKALIPUN" (y) (y) (y)
BalasHapusAku baru mengerti semua tentang rasa iriku melihat penulis2 besar seperti manini,( karena aku juga ingin jadi penulis) adalah rasa yg tidak baik untuk kupelihara. Aku bahkan tidak melihat awal dr perjuangan Manini yg begitu gigih dlm berjuang. Tp dari tulisan antara ibu dan anak ini aku cukup mengerti bahwa SUKSES itu dari KERAS terhadap hidup.
BalasHapusTerima kasih telah mnjd inspirator bg sy dn bnyk pengagum tulisan anda Ibu Pipiet Senja. Semoga anda diberi Kesehatan selalu Oleh Allah Yang Maha Penyembuh.
Wina sayangku; karena pengalaman mengajariku demikian, sukses dan bahagia ya nanda dan terimakasih telah mampir ke rumah karya kami ini.
BalasHapusYa Lefi sayang;
BalasHapusKadang saya suka bingung jika ada yang bilang; Bun, saya ingin seoerti bunda...laaaah?
Mau penyakitan? Mau capek setengah mati, tak kenal lelah, tak boleh menyerah? Mau dianiaya, sering dizalimi, di-KDRT?
Alamaaak; saya sudah merasakan benar, sungguh tak nyaman hidup macam itu.
Jadi, maru, kita lihatnya jangan hanya dari satu sisi; sukses ya jadi penulis!
Tidak seperti itu, semua profesi, semua takdirNya, mari kita lakoni dnegan sabarm menjalani proses dan kita baru akan menikmari apa kebahagiaan sejati, kelak...
Pelajaran sangat berharga di sepertiga malam ini ku temui di web pribadi ini, web org yg ku kagumi....
BalasHapusTidak ada kata manja lagi dlm kamus hidup ini, itu sumpahku makasih bun smg allah terus beri kekuatan pada bunda amieen
Iya sayangku salam sayang untukmu dan kudoakan senantiasa
Hapusjadi kangen ibuukk ;)
BalasHapuszhizhi itu cantik, cerdas, logis dan realistis.. bunda alhamdulilla ya AllAh di karuniai anak2 yang beriman pada ALLAH
BalasHapusSukses selalu ya Bunda
BalasHapusPosting Komentar