Ibuku bersama dua cucunya; Haekal diwisuda dan Butet masih SMA
Waktu kanak-kanak di Sumedang, kami acapkali memergoki suguhan atau sesajen di goah. Goah ini sebutan untuk bilik
khusus tempat penyimpanan beras dan makanan kering. Biasanya suguhan itu
diletakkan di goah setiap malam Selasa dan Jumat. Anak-anak suka menyebutnya
sebagai tempat jurig alias hantu.
Sekali
ini aku lihat ada tambahannya; bubur merah-bubur putih… walaaah… ini makanan
kesukaanku!
Kuingat
lagi, ketika itu Aki telah dipanggil Sang Pencipta karena sakit TBC.
“Eni,
sebetulnya buat siapa sesaji ini?” tanyaku sambil mencermati gerak-geriknya
yang begitu serius menyiapkan sesajen.
“Tentu
saja untuk Embah Jambrong,” sahut Eni sambil menaruh baki perak di atas meja
kecil di sudut goah.
“Embah
Jambrong suka rujakan dan kopi pahit, ya Eni?”
“Hmm…”
“Embah
Jambrong juga suka pisang emas, Eni?”
“Iya,
suka semuanya ini.”
“Suka
semuanya? Baki peraknya juga nanti mau dimakan sama Embah Jambrong, ya Eni?”
Eni
tertawa kecil mendengar komentarku, diusap-usapnya rambutku, terasa penuh kasih
sayang.
“Ya,
selesai sudah. Ayo… sudah maghrib, Neng…”
“Eeeh,
Eni kenapa gak nyisain rujakannya buatku?” tanyaku baru teringat lagi.
“Sekarang
tidak ada sisanya. Lain kali saja, ya?”
Aku
kecewa. Iyalah, biasanya aku bisa menikmati sisa rujakannya. Hm… hmm… cliiink!
Tiba-tiba
saja muncul ide konyol di otak kecilku. Saat tak tampak Eni lagi, aku berlari
kembali ke goah. Rasa takut yang biasanya menghantui sirna seketika. Entah
pembawa rasa kecewa atau marah.
Aku
berpikir, “Huuuh enak saja! Embah Jambrong itu serakah amat, ya?”
Tanganku
meraih cangkir perak berisi rujakan, sekejap saja telah lenyap ke mulutku.
“Hmm…
Sedaaap!” mulutku berdecap-decap.
Sekarang
giliran pisang emas, waaa… ada tujuh!
Aku
menyikatnya semua, tanpa sisa!
Demikian
pula dengan bubur merah bubur putih, kusikat sampai licin tandas. Puas
menikmati isi sesaji kecuali kopi pahitnya, aku pun keluar mindik-mindik dari
goah. Seperti tak terjadi apa-apa, aku melenggang, bergabung dengan adi-adik
dan sepupu mengambil air wudhu di sumur.
Esok
paginya rumah menjadi gempar!
Eni dan
Emih dirubungi oleh para cucu. Sebagian penasaran ingin tahu apa yang terjadi,
termasuk aku yang diam-diam bergabung. Sebagian lagi merasa kebat-kebit, nama Embah Jambrong dan
karuhun dibawa-bawa.
“Sesajen
kita rupanya sangat disukai,” ujar Eni.
“Iya,
Ibu… syukurlah Embah berkenan,” timpah Emih dalam nada takzim.
“Ini
pertanda kita bakal banyak rezeki…”
“Hiiiy…
bagaimana kalau Embah Jambrong semalam datang ke kamar kita, ya?” bisik El
sepupuku.
Kulihat
anak-anak makin mengkeret. Setelah
kutahu permasalahannya aku tertawa geli dalam hati.
“Teh
kenapa cengiran?” tanya adikku En.
Aku
merasa tak tahan lagi. Cepat-cepat menyingkir dengan bibir terus saja cengengesan.
Ops…
kelakuanku yang aneh itu tak luput dari perhatian Bapak yang sedang cuti. Bapak
menghampiriku yang berlagak sibuk main undur-undur di kolong rumah.
“Ada apa, ayoook?”
“Eeeh,
gak ada apa-apa…” elakku.
“Tak mau
mengaku, ya?”
“Iiiih…
Ngaku apa, Pak?”
“Bapak
yakin, kamulah yang menghabiskan suguhan di goah itu. Iya kan ?”
tanyanya langsung menohokku.
Tentu saja
aku kaget setengah mati!
Wajahnya
yang keras dengan sepotong alis yang tebal. Suaranya yang berkharisma dan
berwibawa. Huuu, siapa berani menantang Bapak?
“Eeeh,
kenapa Bapak tahu?” sahutku sambil menundukkan wajah, tak sanggup menantang
matanya yang tajam bagai elang.
Tanpa dinyana Bapak bukannya marah, sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak!
Tanpa dinyana Bapak bukannya marah, sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak!
Aku
menengadah mencari wajahnya. Ya, ayahku sungguh tertawa nikmat. Air matanya
berleleran dari sudut-sudut matanya. Aku kebingungan, beberapa jenak jadi
terpancing ikut tertawa geli.
Untuk beberapa waktu pula kejadian itu menjadi
rahasia kami berdua. Entah dengan pertimbangan apa, Bapak menyembunyikan hal
itu dari Emih dan Eni. Ibu kandung dan ibu mertuanya yang hobi bikin sesajen
itu.
“Ini baru
putri Bapak. Putri seorang Prajurit!” kata Bapak dalam nada bangga.
Ditepuk-tepuknya bahuku. Tepukan hangat dan sarat kasih sayang. Aku tahu itu.
***
Embah jambrong :)
BalasHapusLihat foto itu jd kangen GWW IPB, Bunda :)
Posting Komentar