Senin, 31 Desember 2013
Rasanya rugi sekali kalau tidak menuliskan apapun pada
saat terakhir sebuah tahun, sebuah era, sebagai bagian dari suatu peradaban
zaman. Menulis novel, melanjutkan garapan, itu sudah menjadi rutinitas alias
profesi. Harus yang lebih spesifik, unik, hmmm, apa ya?
Melihat kehebohan orang-orang di sekitarku, para
tetangga, di jalanan menjelang malam tahun baru, mata kupasang lebih tajam.
Mencermati berbagai hal yang beraura, bernuansa tahun baru.
Para pedagang buah di pinggir jalan, gorengan sampai
segunung persediaannya ditambah. Belum lagi pedagang jagung, ubi, ketela,
daging, ayam, bebek dan segala macam yang bisa dibakar dan dimakan. Baru
melihatnya saja sudah kenyang, Masbro!
Sepanjang jalan dari Citayam (rumah anakku Haekal
Siregar) menuju kawasan Margonda, demikianlah yang menghampar di sekitarku. Aku
terpaksa jalan karena akan mengambil novel dari penerbit di Depok Timur.
Ternyata penunggu toko bukunya baru saja keluar, cari makan.
Ya, sudah, ke ITC sebentar mengambil uang tunai. Tergoda
beli tas sekolah untuk Zein dan Zia, jilbab ungu saja untukku sendiri. Putriku
yang sedang hamil pesan kebab dan (harus!) Baba Rafi.
“Ke mana lagi nih, Bu?” tanya sopir taxiku.
“Terus saja ke arah Depok Timur, lanjut ke Depok Dua
nanti sekalian melalui GDC balik ke Citayam,” pintaku.
Taxiku belum lama dihebohkan dengan pemberitaan; sopirnya
merampok penumpang. Ternyata itu sudah diskenario, antara sopir taksi yang baru
masuk satu bulan itu, terjalin kerjasama degan penumpangnya. Pura-pura
dirampok, agar ditayang di TV dan media.
“Taktiknya lawan bisnis kami, Bu Haji,” kata abang sopir
meyakinkan sekali memberi alasan. Saya percaya sajalah, karena selama
bertahun-tahun menjadi langganannya, sopirnya selalu baik-baik saja, tak pernah
ada masalah.
“Ini sudah gerobak yang kelima, ya Bu Haji, tutup
semuanya. Biasanya kan memang sore mereka bukanya,” kata abang taksi,
mengingatkanku.
Kutelepon putrku, dia sempat bilang:”Weeei, Manini hebat. Manini pasti
menemukan si Baba Rafi. Lanjutkan, ya, semangaaaat!”
Alamak!
Alamak!
Aku terpelongoh beberapa jenak dengan komentarnya yang
bagai seorang motivator ulung itu. Tapi ini bukan kepenulisan, bukan pula
urusan advokasi sebagaimana bidang yang digeluti putriku yang suka kupanggil;
Butet.
“Beli lainnya saja, ya Nak, nanti sore kita cari lagi,”
bujukku yang diiyakan oleh Butet dengan nada kecewa.
Hadeuh, Bumil, Bumil,; gw juga pernah hamil, tapi gak segitunya kaleeee!
Hadeuh, Bumil, Bumil,; gw juga pernah hamil, tapi gak segitunya kaleeee!
Akhirnya kubeli segala macam gorengan; ubi, pisang, tahu,
tempe. Macam mau buka warung saja!
Dalam perjalanan pulang ke Citayam itulah, tiba-tiba aku
terkenang satu kejadian di malam tahun baru, 1973. Belum lama aku minggat dari
rumah orang tua di Jakarta. Karena marah, mendadak Emak mengeluarkanku dari
sekolah, kelas dua naik ke kelas tiga SMA LPPU.
“Kasihan, Teteh sakitan melulu, jadi berhenti saja
sekolahnya,” demikian alasan Emak yang sangat didukung oleh Bapak.
Marah, geram putus harapan, putus masa depan, aku lari saja ke rumah Emih, sebutan nenek dari pihak Bapak.
Marah, geram putus harapan, putus masa depan, aku lari saja ke rumah Emih, sebutan nenek dari pihak Bapak.
Saat itu, aku belum tahu persis sebenarnya seberapa parah
penyakit yang kuidap. Yang aku tahu sejak umur 10 tahun, secara berkala 2 atau
3 bulan sekali aku harus ditransfusi darah.
Nah, malam tahun baru itu, aku bersama adik dan dua
sepupu jalan ke Bandung. Tak tentu arah tujuan, entah ke mana, pokoknya jalan
saja. Si Mamang oplet (belum ada angkot!) malas melanjutkan perjalanan. Kami diturunkan begitu
saja di perempatan Ciroyom.
Pada zaman itu, kawasan Ciroyom tentu saja tidak seperti
sekarang ada pasar, Mal dan ramai sekali. Suasananya dulu masih sepi, lengang
sekali, dan terkenal juga dengan cerita horornya.
Mamang oplet sempat cerita, sebelum menurunkan kami;”Hati-hati,
ya Neng. Belum lama ada gadis yang hamil duluan, terus bunuh diri, kabarnya di
pohon warudoyong yang tadi kita lewati. Suka gentayangan alias jadi kuntilanak.”
Beberapa saat berempat celingukan, tak tahu harus berbuat
apa, tak ada pula yang pantas dijadikan ketua geng pabaliut ini. Dalam keadaan
kebingungan itulah tiba-tiba muncul gerombolan pengendara motor gede.
“Hei, mau apa kalian?” seru adikku sambil menghindar
ringkas, karena pipinya akan dijawil salah seorang geng moge.
“Kamu maniiiiis, ikut yuuuk!” ajaknya sambil mengekeh tak
karuan.
Motor itu kuhitung sekilas ada lima, mereka
berputar-putar mengelilingi kami. Sehingga kami berada di tengah-tengah,
seperti dalam pusaran air bah yang
setiap saat bisa menenggelamkan kami.
Kepalaku terasa berdenyar-denyar, takut, panik, putus
asa, dalam sekejap telah menimbulkan rasa panas luar biasa. Ya, tubuhku
mendadak serasa bagaikan dibakar api. Menyerang mulai dari ujung kaki, terus
merambat ke perut, leher, kepala dan hidung!
“Hatsyiiiii!” Aku bersin sangat keras, mendadak breeeel
saja, darah memancar dari lubang hidungku.
Banyak sekali, membasahi telapak tangan yang coba kututupkan ke bagian hidung, bahkan meleleh menghiasi wajahku.
Banyak sekali, membasahi telapak tangan yang coba kututupkan ke bagian hidung, bahkan meleleh menghiasi wajahku.
“Mimisan, ya, Teteh,” teriak sepupuku, tidak perlu
kusebut namanya, karena beliau telah tiada.
“Ya, eh, daraaaah!” jerit adikku semakin panik, terdengar
melolong ke seantero Ciroyom.
Aku lupa, entah siapa yang punya ide, tiba-tiba saja
darah di telapak tanganku telah kusimbahkan ke wajahku. Kemudian sepupuku ikut
pula menarik tanganku, dan membasuhkan darah yang semakin belepotan itu ke
wajahnya.
Melihat kami sibuk sendiri, geng moge itu berhenti
sebentar, semua mata mencermati kami agaknya. Hening, senyap, hingga ada salah
seorang yang berteriak ngeri dan horor sekali:”Kuntilanaaaaaak! Lariiiiii!”
“Ah, beneran banci tuh anu garelo teh!” gerutuku sambil
terkekeh-kekeh, diikuti adik dan sepupuku.
Ajaibnya, aku merasa baik-baik saja alias pulih dalam sekejap pula.
Ajaibnya, aku merasa baik-baik saja alias pulih dalam sekejap pula.
“Buruan, cari angkot, pulaaang!” ajak adikku tegas.
"Oke, tapi ingat; jangan bilang-bilang ke Bapak, kalau Teteh mimisan, ya!"
"Bereeees!" janjinya serius sekali. (Citayam
menjelang petang, Pipiet Senja)
selalu bikin ngakak, hehe...
BalasHapustapi sempet tegang ya bun.. ^_^
Aaaaaah ternyataaa jail juga bundaq ini, good job buun ide cemerlang, memang mrk yg dmg ada kerjaan gt sekali2 harus dikeejain
BalasHapusPosting Komentar