Ilustrasi Pribadi
“Umiiiii!
Umiiii…!”
Nadia bersahutan
dengan Butet.
“He,
salamlekoooom…, gitu!” Amalia menegur mereka.
“Eh, iya,
salamlekoooom…, ” ralat Nadia.
“Gituuuu!” tegas
Butet.
Si sulung, Nadia,
semester empat Teknik Informatika ITB, diiringi oleh kedua adiknya. Mereka
terbiasa pulang bareng. Kebetulan sekolah Amalia dan Butet tak berapa jauh dari
kampus sang kakak. Bila sang kakak masih kuliah, kedua adik dengan setia
menanti di selasar masjid Salman sambil mengikuti kajian Islam.
“Biar aman-suraman atuh! Kalo ada apa-apa,
lawaaaan bleeeh!” demikian kilah Nadia, dengan gayanya yang tomboy, cuek-bebek.
Sering Diah
mengherani tingkah-polah si sulung. Dara jelita mirip Inneke Koesherawati, IPK
nyaris sempurna, mengenakan jilbab sejak duduk di bangku SMP. Nadia dikenal
sebagai mentor paling komunikatif, aktivis Rohis mumpuni, istilah Eko, rekannya
dari BEM.
Seakan tak ada
wilayah yang bisa menghalangi gerakannya. Ia juga memotori beberapa buletin
bergengsi kampusnya. Konon, para birokrat kampus bila sudah berhadapan dengan
Nadia, biasanya lebih suka cepat-cepat menyetujui proposalnya daripada
menundanya. Siapapun tahu, anak ini sanggup menggerakkan massa.
Amalia lain lagi.
Anak kelas tiga SMU ini paling bijak di antara saudari-saudarinya. Wajahnya
putih bersih mirip sang bunda, belum lama dijilbab. Kepingin sekali menjadi
seorang praktisi hukum. Kutu buku berat, menguasai berbagai macam bahan
perdebatan; baik yang sedang hangat maupun yang menyangkut asbabunuzul,
sejarah, politik dunia. Amalia inilah yang sering menjadi wasit bila kedua
saudarinya berantem.
Si bungsu nama
aslinya Farah, kelas satu SMU. Di rumah dipanggil Butet, nama kesayangan orang
tua, ternyata tak jauh beda dengan sulungnya. Meskipun tak setomboy Nadia, tapi
dalam hal aktivitas…. Hampir semua eskul di SMU diikutinya!
“Aku akan menyamai
prestasi Teteh!” tekadnya sesumbar suatu kali di hadapan ibu dan
saudari-saudarinya.
“Emang bisa?”
ledek Nadia.
“Bisaaa! Harus
bisaaa!”
“Coba aja kalo
bisa Teteh hadiahi…, si Mio!”
Tapi si Mio, motor
bersama itu, siang tadi baru mereka ketahui mengalami tabrakan waktu dipinjam
seorang sabamnya di dojo. Sebetulnya Nadia marah sekali. Butet tak minta izin
dulu waktu meminjamkannya. Hanya pas mendengar akibat tabrakan yang menimpa
Gamal, sehingga harus dioperasi karena mengalami gegar otak… Aduuuh, innalilahi
rojiuun!
“Sudahlah, kita
ikhlaskan saja si Mio. Jangan dimintai ganti rugi lagi sama temanmu yang malang
itu,” kata Nadia kini dalam nada muram.
“Iya, lebih baik
kita doakan saja agar dia cepat keluar dari ruang isolasinya,” sambung Amalia
terdengar tulus. “Kalian kok nggak ikut nengok ke rumah sakit kemarin…”
“Yeeeh, kamu pergi
nggak bilang-bilang! Gimana keadaannya?” Nadia menatap adiknya.
“Mereka udah
mengoperasi. Dia mengalami gegar otak rinagn sih…”
“Artinya nggak
kritis lagi kan?”
“Insya Allah,
kelihatannya sudah baikan… Jadi, nggak usah minta ganti rugi, ya?” tegas
Amalia.
“Yeee…, lagian
siapa yang mo minta ganti rugi?” Butet merengut.
Karuan Nadia kesal
melihat ketakpedulian adiknya.
“Pokoknya, kamu
harus buktikan sesumbarmu, Deeek!”
“Oyeee…, kenapa
nggaaak?”
Untuk beberapa
jenak keduanya berhadapan…, frontal!
“Pssst, kalian ini
sudah atuuuh! Jangan berantem melulu, maluuu, aah, maluuuu!” Amalia buru-buru
menengahi.
“Hhhhh…!” Nadia
memelototinya.
“Lagian,” Amalia
tak mempedulikannya. “Hei, sodari-sodariku seiman. Kalian pikir, Mama ke mana,
ya?”
Seketika ketiganya
baru menyadari ketakberadaan sang bunda. Ruangan keluarga terasa suwung.
Biasanya bahkan baru suara mereka yang memasuki koridor, Mama sudah berjalan
menghampiri dengan senyumannya yang lembut dan lega.
“Ketiga buah hati
Mama sudah kembali dari berjihad,” katanya selalu. “Betapa lega hati Mama
melihat kalian selamat kembali di rumah kita…”
Anak-anak akan
menyambungnya; “Surga kiii-taaa!”
Kemudian Mama akan
mengecupi ubun-ubun ketiganya, mengajak mereka ke ruang makan. Mencicipi
penganan dan minuman spesial bikinannya untuk mereka.
“Nggak ada, ya
Teteh?” cetus Butet keheranan. Kepalanya celingukan, mencari-cari sosok Mama.
“Iya, nggak ada nih…?”
“Ngaji ‘kali,”
Nadia berlagak jutek seperti biasa, sambil menghampiri kulas, mengambil minuman
dingin. Gleeek, gleeekkk!
“Kayaknya nggak,
Teteh. Aku tahu kok, Mama liqohnya sekarang tiap Selasa pagi,” bantah Amalia
sambil mengitari ruangan, kemudian melongok ke kamar ibunya.
Upsss…, dikunciii!
Ketiganya kembali
bergabung di ruang keluarga. Saling berpandangan, tiba-tiba…
“Imaaaasss…!”
teriak mereka bagai dikomando.
Imas yang lagi
melamun di dapur terbirit-birit menuju ruang keluarga. Diikuti oleh Bi Ikah dan Mang Umar.
“Oh, oh, apa yang
harus kukatakan sama mereka?” keluh Imas dalam hati dengan mata sembab. “Bilang
terus terang kalau siang tadi ada perempuan sinting, melabrak Ibu, dan mengaku
selingkuhannya Bapak?”
“Kalem, kalem we atuh, Nyi!”5 kata ibunya seperti bisa memahami
pikiran anaknya semata wayang.
***
Malam panjang kali
ini berjingkat perlahan,
seakan enggan meretas nuansa biru yang meruap dari kawasan Dago. Sebuah kawasan
ramai di kota kembang, terutama bila malam panjang tiba. Didatangi kawula muda,
menghabiskan malam di kafe-kafe dan tempat hiburan yang tiap saat makin semarak
disediakan.
“Ah, ini kan hanya
perasaanku saja!” tepisnya membatin, tak mau suuzon kepada mereka yang
berwenang.
“Yap, perasaan
orang yang lagi sakit hati, kecewa, marah. Putus asa? Tidak! Aku tak sudi
berputus asa!” ceracaunya pula, riuh perang sabil dalam hatinya.
Taksi yang
dicarternya sejak petang, sesungguhnya telah berkeliling kota kembang tanpa
arah dan tujuan. Ia telah membuktikan semua ucapan perempuan menor itu. Dengan
mata kepalanya sendiri, ia bisa melihat bagaimana Domu bergandengan mesra di
lobi Hotel Preanger itu. Dan betapa sayang Domu kepada si Ucok, begitu Lience
memanggilnya dalam nada sarat bangga.
Aduuuh, cukuplah,
bukti nyata!
Air mata telah
tertumpah ruah. Sebab serasa begitu dalam luka yang dihunjamkan lelaki itu
terhadap dirinya. Domu dengan segala kemunafikannya… Ya Tuhan!
Betapa tak tahu
malunya lelaki itu, jeritnya membatin. Setiap ada kesempatan bercengkeram
dengan keluarga, di hadapan anak-anak dia akan berpetatah-petitih tentang
moral.
“Jangan pernah
lupakan sholat lima waktu. Sholat itu sungguh senjata paling ampuh dalam
mengantisipasi segala godaan…”
“Nadia, kenapa
pulang bareng anak laki-laki itu?
“Amalia, awas, ya
kalau pulang telat lagi!”
“Butet! Bah! Kau
ini…, bikin kecewa saja! Mau jadi apa kau kalau bertingkah macam anak laki-laki
begitu? Di dalam Al-Quran kan disebutkan…” Bla, bla, bla!
Seketika bintang-gemintang
itu kembali menari-nari di tampuk mata Diah. Ia memejamkan matanya agak lama.
Otaknya berpikir keras untuk mengambil langkah-langkah yang harus diambil dalam
hitungan menit. Terutama manakala berhadapan dengan anak-anak, apa yang harus
dikatakannya kepada mereka?
“Di sebelah mana,
ya Bu?” sopir taksi mengusiknya.
“Eh, di mana nih?”
Diah mengangkat kepalanya, mencoba mengenali jalanan di luar sana.
“Cihideung…”
“Oh, iya, sedikit
lagi… Itu pekarangan yang banyak kembangnya!”
Taksi berhenti
tepat di depan pintu gerbang yang telah terkunci. Diah harus mengedor-gedor
dulu sebelum Bi Ikah dan Mang Umar beriringan membukakannya. Tanpa berkata-kata
ia berlalu terus menuju ruang dalam, hampir tak tersisa gundah-gulana atau
terkejut manakala disambut oleh ketiga putrinya… Seribu tanya!
“Jadi…, bener Papa
sudah nikah lagi…” Butet memecah hening yang lumayan lama mengapung di sekitar
mereka.
“Punya anak
laki-laki...” Amalia menyambung.
“Sudah lima tahun
berlangsung!” suara Nadia menegaskan, terdengar sarat amarah dan kebencian.
Wajah Diah
terdongak. Sepasang matanya yang sembab mencari-cari bola mata si sulung.
Taaap!
“Sini, Teteh,
sini… dekat Mama,” diulurkannya tangannya, hingga Nadia bergerak dari
tempatnya, pindah ke sisi kiri sang bunda. Gerakannya diikuti oleh Amalia,
kebagian duduk di sisi kanan ibunya.
“Hmmm, nggak papa…
di sini aja!” Butet menggeloso dekat kaki Diah.
Ketiganya menatap
wajah wanita yang selalu menjadi idola mereka selama ini. Sosok sempurna dan
nyaris tak ada cacat-celanya. Namun, detik ini mereka seperti dihentakkan pada
kenyataan. Mama bukan sosok yang sempurna. Mama pun punya kelemahan. Sehingga
kalah telak oleh Papa, dan itu telah berlangsung lima tahun!
“Mama bukan sosok
yang sempurna, anak-anak,” kesahnya mengawali seperti bisa menebak pikiran
ketiga buah hatinya. “Tentu banyak kelemahan Mama di hadapan Papa antara lain…”
“Bukan begitu!”
tukas Nadia geram. “Papanya saja yang nggak pernah puas! Pengkhianat!
Munaaafiiiik! Orang seperti itu sama sekali nggak pantas jadi ayah kami…, brengseeek!”
Untuk sesaat semua
terperangah. Kapan pernah seorang Nadia bicara sesadis begini? Nadia yang
mereka kenal memang si tomboy, tapi tak pernah bicara ngawur. Apalagi ditujukan
kepada ayah kandungnya sendiri!
“Nadiaaa!” Diah
ingin berseru, tapi malah terdengar mirip erangan. Ia begitu menyadari betapa
terluka hati si sulung.
Nadia perlahan
bergeser dan bangkit, tak berani menatap wajah ibunya.
“Jangan minta aku
untuk memakluminya, Mama. Aku bukan anak kecil lagi! Aku sudah tahu siapa yang
paling…, edan di rumah ini. Yaah, hanya lelaki ituuuu!” ditudingnya potret Domu
yang tersenyum bijak di dinding ruang tengah.
Seketika ia
bergerak ringkas. Semua masih belum paham.
“Huuuh! Dia nggak
pantas ada di rumah ini lagi!”
Ooh, oouw…
Tangannya seketika menyambar vas kembang kosong dan melemparnya ke potret diri
berukuran besar itu dan… Praaang!
Kaca pigura potret
kepala keluarga itu pecah berantakan, serpihannya berderai di lantai bagai
repihan hati para penghuni rumah itu.
Semua tersentak
kaget, tapi tak ada seorang pun yang bergeming dari tempatnya. Termasuk Bik
Ikah, Mang Umar dan Imas yang diam-diam menguping. Inilah pertama kalinya
suasana dramatis digelar dalam rumah majikan mereka. Sebelumnya hampir selalu
adem-ayem, tenteram, paling banyak diwarnai canda dan tawa anak-anak.
“Aku benciiiii!
Benciiii!” Nadia membalikkan tubuhnya, berlari sambil menahan tangisnya menaiki
undakan tangga menuju kamarnya di loteng.
Butet dan Amalia
serentak memandangi wajah Diah. 0h, Tuhan! Wajah itu tampak mulai mengelam dan…,
seperti dingin membeku?
“Ya Allah.., Mama
jangaan!” lirih Amalia, memegang tangan ibunya.
“Ingat anak-anak,
Mama, ingat…,” pinta si bungsu memeluk kaki sang ibu erat-erat, mencoba
mengalirkan semangat baru, harapan baru.
Diah menunduk,
memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak perlahan. Diah berzikir, menyeru
Sang Khaliknya. Memohon kekuatan-Nya.
“Iyaaa…, Mama
nggak apa-apa kok. Kakakmu butuh waktu untuk merenungkan kejadian ini. Tapi
kalian berdua, bagaimana?”
“Saya nggak
apa-apa, Ma, insya Allah. Kan ada Mama,” bibir Amalia mengulas senyum lembut.
Meski siapapun
bisa melihat bagaimana ia berjuang keras untuk menyembunyikan kepedihan
hatinya. Air matanya telah tertumpah selama penantian sang bunda yang serasa
berabad-abad. Ia harus berkali-kali pergi ke kamar mandi untuk membasuhnya
dengan air wudu.
Sebab ia tak ingin
Mama melihat matanya sembab. Hati Mama telah sangat luka. Jangan lagi ditambah
luka anak-anaknya. Beban hati Mama niscaya takkan tertahankan. Pedihnya,
lukanya sesungguhnya demi sang bunda tercinta.
Manakala tatapan
Diah singgah di wajah oval milik si bungsu, gadis belia itu sempat melengos,
menahankan gejolak perasaannya hingga menyemu kemerahan. Namun, dalam hitungan
detik dia segera membalas tatapan ibunya dan mengangguk mantap.
“Apa, ayo, kok
manggut-manggut?” Amalia menggoda, mencoba mengalihkan ketegangan.
“Nggak papa kan
manggut-manggut? Emang burung celepuk aja yang boleh manggut? Mama, tenang aja,
ya Ma! Butet nggak apa-apa, cuma mengkhawatirkan Mama…”
“Mama nggak
apa-apa, Nak. Mmm, memang goncang sih, tapi itu wajar. Kalau kita saling
menguatkan, insya Allah!” janji Diah.
“Kita pasti bisa
bertahan dan…” Amalia mengerdip ke arah adiknya.
“Melawaaaann!”
Diah seketika
merangkul kedua anak gadisnya erat-erat. Disembunyikannya wajahnya di antara
kedua kepala itu. Ada air mata yang memburai, tapi kali ini tidak sampai di
pipi melainkan hanya di ujung-ujung hatinya.
Dan itu
sesungguhnya jauh-jauh-jauuuh…, lebih sakiiit!
***
Posting Komentar