Ilustrasi: cucuku zein
Kejadiannya Anno 1965 di Sumedang
Sejak
dinyatakan berpenyakit kuning beberapa waktu ruang gerakku agak terbatas. Ada beberapa famili dan
tetangga yang sangat alergi terhadapku. Hingga mereka sampai hati menutup pintu
rumahnya. Begitu pula pengaruhnya terhadap pergaulanku. Beberapa anak tak sudi
berdekatan denganku.
Ini
bersamaan dengan masa-masa PKI. Entah dari mana datangnya kebencian itu. Ada tiga anak perempuan
yang paling kuingat sering menyakiti fisikku; Eneng, Eros dan Iyen. Eneng dan
Iyen anak gembong PKI. Eros anak Brigadir Jenderal yang juga pendukung berat
PKI. Ketiga anak perempuan itu sangat kompak memprovokasi anak-anak, agar
membenci dan memusuhi aku.
Tingkah
mereka sungguh sering melewati batas kewajaran. Selama berada dalam kelas, tak
henti-hentinya mereka merusak konsentrasiku. Melempari aku dengan kapur, batu
kerikil atau biji kemiri. Terkadang mereka bergantian menjegal kakiku secara
sengaja. Hingga aku terjatuh, hidung menyusut lantai dan berdarah.
Aku masih
ingat, Emih berteriak-teriak menantangi bapak si Iyen.
“Hoooy,
keluar kamu PKI! Beraninya suruh anak kamu mencelakakan cucuku! Kalau jantan
keluaaar, woooi!” Seru mantan anggota Laswi itu dengan keberanian luar biasa.
Lain lagi
reaksi Mak dan Eni. Keduanya tampak lebih banyak bungkam. Pernah aku pergoki
Mak sedang mengemasi barang-barang milik Bapak. Ya, segala macam atribut
keprajuritan dan buku-buku militer disembunyikan oleh Mak. Termasuk
potret-potret ayahku yang semula tergantung di ruang tamu dicopotnya pula. Mak
takut sekali ada yang menyambangi rumah kami, mengetahui kalau kami ini
keluarga seorang prajurit.
Oh, apa
artinya semua ini?
“Mengapa
anak-anak itu sangat membenciku, Mak?” tanyaku penasaran.
“Sabar,
ya Teh. Kamu harus tawakal, kita memang dalam posisi sangat sulit,” Mak
mengusap-usap rambutku yang habis dijambaki anak-anak. Mengapa cuma begitu
reaksi Mak?
Ya,
rasanya penuh dengan misteri!
Kutahu
kemudian Emih mendatangi Pak Guru yang mengajar kelas kami. Mengadukan ulah
anak-anak nakal itu. Namun, aneh sekali, Pak Guru jelas-jelas tak menggubris
pengaduannya. Belakangan diketahui Pak Guru ini juga anteknya PKI.
Suatu
hari, begitu bel berdentang tanda pulang, aku langsung keluar kelas, Maksudnya
untuk menghindari anak-anak jahil itu. Namun, ternyata Eros dan Eneng sudah
berdiri di depan pintu gerbang. Bukan
hanya dua anak itu saja, melainkan hampir seluruh kelas, di mataku anak-anak
itu semakin banyak!
Mereka
bergerak untuk menzalimi diriku, tentu saja dipelopori Eros dan Eneng. Mereka
mengarakku, sejak dari pekarangan sekolah sampai sepanjang jalan Empang menuju
rumah. Tak ubahnya mengarak seorang penyihir yang akan digantung dan dibakar
rame-rame.
Sepanjang
jalan itu mereka menzalimi diriku, habis-habisan. Ada yang menjengguti dan menarik-narik
kepangku, ada pula yang menggeplak-geplak kepalaku. Sambil teriak-teriak,
tertawa-tawa, dan berjingkrak-jingkrak. Menirukan badut dan ondel-ondel.
Oh,
Allah…. Aku tak pernah bisa melupakan kejadian hari itu. Tak pernah, sepanjang
hayatku masih menempel kuat di memori kenanganku. Entah apa dosaku. Hingga
anak-anak itu begitu membenciku.
Apakah
karena aku penyakitan?
Karena
aku anak seorang tentara?
Cucu
seorang ulama NU yang sudah tiada?
Mereka
mengejek nama Bapak, Mak, Emih, dan Eni. Mengejek pula mendiang kakekku.
Pendeknya, melecehkan orang-orang yang aku sayangi dan yang aku hormati.
Anehnya,
orang-orang yang melihat kejadian itu hanya tertawa-tawa geli. Seolah-olah
arak-arakan itu sangat kocak. Tontonan gratis yang amat menggelikan.
Tuhanku,
kemarahan sudah sampai di ubun-ubun kepala. Tak ada yang membelaku. Aku harus
membela diri sendiri!
Terngiang nasihat auahku:"Dalam dunia prajurit, ada ajaran begini, Teteh. Kalau tidak mau dibunuh, ya, bunuhlah lawan kita!"
Entah
dari mana kekuatan itu muncul. Mungkin juga karena seketika jelas terbayang wajah bapakku, seorang prajurit, pejuang 45 dengan bintang Ekapaksi dan bintang Gerilya.
Beberapa meter sebelum rumah bernomor 34 C itu,
aku menghentikan langkah. Air mata yang sejak tadi bercucuran, aku susut habis.
Kemudian,
aku menyambangi Eros dan Eneng. Tiba-tiba aku membungkuk, menyeruduk kedua anak
bengal itu dengan kepala.
Bruuuak
…. Bluuug, gedeblug!
“Aduuuh,
gelo siah, sakiiit!” jerit keduanya serempak.
Eros dan
Eneng terjengkang. Saling bertindihan. Anak-anak terperangah. Pasti mereka tak
pernah mengira aku punya nyali untuk membela diri. Dalam beberapa saat tak ada yang berani bereaksi.
Seketika
tanganku memungut sebuah batu besar. Siap untuk ditimpukkan kepada siapapun ….
Huh!
“Lariii!”
seru Eros dan Eneng sambil lari terbirit-birit.
Seminggu
aku tak berani masuk sekolah. Aku sampai mengira, seumur hidupku takkan pernah
kembali ke bangku sekolah, SD Sukaraja di jalan Empang itu. Bapak yang selalu
membela, melindungi dan membuatku bangga, entah kapan kembali!
Hampir
dua tahun ayahku bertugas ke pedalaman Kalimantan,
berlanjut ke Sulawesi. Hatta, demi mengamankan
Tanah Air dari gerombolan Kahar Muzakar.
Saat aku
kehabisan alasan mendengar pertanyaan orang serumah atas keenggananku masuk
sekolah itulah, tiba-tiba terjadi keributan di mana-mana. Anak-anak KAPPI turun
ke jalan. Demonstrasi besar-besaran.
Belakangan
aku baru tahu ada peristiwa pemberontakan G30S/PKI di Jakarta, tujuh Jenderal
dibunuh secara keji. Tentara berhasil mengendalikan keamanan, kemudian terjadi gerakan
balas dendam. Imbasnya sangat berpengaruh ke daerah-daerah. Banyak orang yang
selama itu suka menjahili, menzalimi para santri, ulama, dan keluarga prajurit,
ditemukan telah bergelimpangan di pinggir sungai atau sawah.
Suasana
menjadi sangat menegangkan. Mencekam nian!
Aku
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Bagaimana rumah keluarga Iyen, Eros
dan Eneng luluh-lantak dijarah massa.
Bapak Eros yang Brigjen pasukan Cakrawala itu diberitakan telah ditangkap di Jakarta.
Sementara
ayah si Iyen dan Eneng digiring oleh massa
ke alun-alun. Kalau tidak segera diamankan oleh tentara entah bagaimana
nasibnya. Sejak saat itu, aku pun tak pernah melihat kembali ketiga anak
perempuan itu. Raib entah ke mana!
Menghabiskan
sisa tahun itu merupakan saat-saat menyenangkan bagiku. Tak ada lagi si
penganggu konsentrasi. Prestasiku pun berkembang dengan baik. Di akhir tahun
pelajaran, aku mendapat peringkat pertama di kelas empat. Itulah kemenangan
pertama dalam hidupku.
Posting Komentar