Rupanya
penderitaan baru diawali dalam keluargaku. Tak berapa lama setelah Mak
melahirkan, giliranku yang jatuh sakit lagi. Kali ini parah sekali, harus
diopname di RSPAD. Pelbagai macam tes dilakukan. Peralatan kedokteran sudah
lebih canggih. Saat itulah baru diketahui penyakitku yang sebenarnya. Bukan
cacingan, bukan malaria, dan sama sekali bukan penyakit kuning.
“Putri
Bapak mengidap penyakit kelainan darah bawaan, thalassemia,” vonis dokter
Qomariah.
“Apa
artinya, dokter?”
“Penyakit
kelainan darah bawaan, genetik. Penderitanya tak bisa memproduksi darah secara
normal…”
“Bisa
disembuhkan, dokter?”
“Ini
penyakit seumur hidup. Artinya, anak Bapak harus ditransfusi secara berkala
seumur hidupnya!”
Aku bisa
merasakan. Bagaimana hancur hati Bapak mengetahui kenyataan itu. Sepasang
tangannya yang kukuh, aku lihat gemetar hebat. Kurasa, saat itulah untuk
pertama kalinya ayahku menyadari betul, bagaimana tak berdaya putri sulungnya.
Wajahku sangat pucat bak mayat. Perut buncit mirip orang hamil dan peralatan
transfusi tergantung di samping ranjang.
“Takaran
darah atau HB kamu hanya empat setengah persen gram,” kata Suster Patty, kepala
ruangan, seorang perempuan Ambon .
“Apa
artinya, Bu Suster?” tanyaku takut-takut.
“Jadi
kamu harus ditransfusi sebanyak mungkin. Biar takaran darahmu normal kembali.
Kamu juga cacingan dan kekurangan gizi. Kelihatannya kamu harus tinggal lama di
sini!” cerocosnya tak tertahankan.
Hiiiy,
serasa berada dalam cengkeraman si Samber Nyawa!
Aku takut
sekali kepadanya. Di mataku, perawat Ambon itu galaknya minta ampun. Umurnya
sudah tua, rambutnya keriting gimbal, perawakannya tinggi kekar. Sikapnya judes,
kalau berjalan tampak seperti orang sedang baris. Ngomongnya keras, suaranya
lantang dan ia memang senang berteriak-teriak, main perintah. Konon, dia mantan
seorang prajurit.
Kalau
menginjeksi, jeees, jeees, jeees….
Huh! Mana
dalam seharinya bisa dua-tiga kali pula diinjeksinya.
“Gustiii…
suuuaaakiiit buangeeett!” aku hanya bisa mengeluh dalam hati, air mataku
berlinangan, tak ada yang menghiburku.
Saat itu
mencari donor darah sangat sulit. Harus donor langsung, bisa dicari dari
keluarga, kerabat atau teman. Bapak beruntung dihormati dan disayangi oleh anak
buahnya. Tanpa banyak kesulitan Bapak berhasil membawa pasukan kecilnya ke
RSPAD. Para prajurit berhati mulia itu menyumbangkan darah untukku. Kalau sudah
diambil darah di PMI, mereka pun rame-rame mampir ke ruang rawatku.
Di sini
masih juga mereka memberikan sumbangan yang lain. Ada yang berupa makanan
ringan, susu, penganan, dan buku-buku bacaan. Yang terakhir itulah yang paling
aku sukai.
Subhanallah,
betapa mulia hati para prajurit ini. Hanya Allah Swt yang bisa membalas budi
baik mereka. Terima kasih, semoga bapak-bapak prajurit mendapat balasan pahala
berlipat-lipat dari Sang Maha Pengasih.
Ada
pengalaman yang tak terlupakan saat pertama kali diopname. Hari kedua aku harus
menjalani tindak medis yang biasa disebut BMP, entah singkatan apa, intinya diambil
cairan sumsum dari dadaku.
Aku
menjerit-jerit kesakitan sambil menyeru asma-Nya.
“Allaaahu
Akbaaar! Allahu Akbaaar!”
Esoknya
aku mulai menjalani transfusi, sungguh, aku ingat sekali tak ada yang menemani.
Perawat mulai memasang selang transfusi sekitar pukul sepuluh pagi. Tangan yang
sedang menerima aliran darah ditutupi perban. Dari ujung jari sampai sebatas
pangkal lengan. Kemudian tanganku diletakkan di atas sebilah papan kecil.
Persis orang yang sedang patah tangannya!
Aku
menangis ditahan dan merasa sangat ketakutan. Belum ada yang datang membesuk,
Bapak harus dinas setelah semalam menungguiku. Mak terpaksa hanya sesekali
membesuk, karena belum lama melahirkan. Kondisi Mak juga tak begitu baik.
Aku harus
tabah menanggung rasa sakit itu seorang diri. Tak bisa aku lukiskan, bagaimana
sengsaranya menangung keadaan itu. Tak boleh bergerak banyak, bahkan duduk pun
dilarang. Alasannya, biar jalan darahnya lancar, tidak macet, aarrggh!
Beberapa
jam aku masih bisa bertahan, nyaris tak bergerak sama sekali. Tapi
lama-kelamaan terasa ada yang mencucuk-cucuk, menggerogoti di bagian pangkal
lenganku. Rasanya gatal bukan main, gataaal!
“Ini gataaal…. Gataaaal!” aku menjerit tak tahan lagi.
Ini transfusi entah ke berapa ribuan kalinya
“Ini gataaal…. Gataaaal!” aku menjerit tak tahan lagi.
Ibu-ibu
berlarian menghampiriku dan heboh membujuk.
“Tolong…gataaal,
gatal sekali, Bu,” akhirnya aku mengerang.
“Gatal,
ya?” Tanya seorang ibu muda.
“Coba
kita intip saja, Bu,” kata temannya.
“Iya, ada
apa sih di balik perbannya itu?” usul ibu-ibu lainnya, terdengar penasaran.
Ibu itu,
entah siapa namanya, memeriksa perban yang membalut seluruh lenganku, sehingga
tampak seperti patah tulang. Perlahan-lahan dikuak sedikit dan; bruuul!
“Tumbilaaaa!”
teriakku ngeri sekali.
“Bangsaaat…
eeeh, kutu busuuuk!” jerit ibu-ibu.
Ruangan
itu mendadak heboh. Kurasa, bahna syok dan ngeri melihat gerombolan kutu busuk,
mungkin juga karena takaran darah terlalu rendah, seketika itu juga aku
semaput!
Begitu siuman
kutemukan diriku sudah nyaman, aroma minyak kayu putih yang segar menyeruak
hidungku. Dua orang ibu masih memperhatikanku dari sebelah-menyebelah
ranjangku. Keduanya langsung tersenyum begitu melihat aku memicingkan mata.
“Tenang,
ya Neng, tenang saja. Kita sudah urus kutu busuknya!” ujar ibu yang paling
peduli memerhatikan diriku itu.
“Sekarang
mendingan tidur saja lagi, ya Neng,” bujuk ibu satunya lagi, entah siapa pula
dia.
Kemudian
kusadari bahwa ibu-ibu yang menunggui pasien di bangsal 14 itu ternyata
ramah-ramah dan perhatian. Mereka sama berusaha menenangkan hatiku, meringankan
penderitaanku.
Ada yang
memberi buah-buahan, ada juga yang menghadiahiku kue-kue dan coklat. Mereka
pasti bisa melihat, lemari kecil di samping ranjangku hampir tak ada isinya
selain termos dan gelas. Tak seperti lemari lainnya di bangsal itu. Ada banyak
makanan, kue kaleng, dan buah-buahan segar. Mereka pun tentu tahu, aku
satu-satunya pasien kecil di situ yang tak pernah dibesuk selain oleh Bapak dan
Mak.
Sebenarnya
Mak punya kaum famili lumayan banyak di Jakarta. Bahkan beberapa di antaranya
termasuk orang berada. Namun, entah mengapa tak seorang pun dari mereka yang
sudi membesuk aku.
Masa-masa
diopname untuk pertama kalinya itu, bagiku serasa bagaikan hidup di dalam
kerangkeng. Kalau sudah pernah, barangkali seperti itulah rasanya dipenjara.
Aku takkan melupakan bagaimana raut wajah ayahku saat menyampaikan kondisi
kesehatanku.
“Dirawat
itu, bagaimana, Pak?” tanyaku belum paham.
“Teteh,”
demikian aku sekarang dipanggil oleh orang tua dan adik-adikku, panggilan
kesayangan karena aku anak sulung. “Diopname di sini, artinya tidak boleh
pulang untuk sementara. Karena para dokter akan mengobati penyakitmu. Teteh mau
sehat lagi, bukan?” ujar Bapak, entah mengapa di kupingku suaranya terdengar
agak bergetar.
“Iya, Neng,
mendingan juga dirawat, ya. Di rumah mah kita gak bisa apa-apa kalau melihatmu
kesakitan,” sambung Emak.
“Kalau
Teteh tinggal di sini, apa ada yang nungguin?” tanyaku mulai diterpa rasa cemas
dan takut.
“Bapak
akan menunggumu kalau malam saja….”
“Dan
tidak sedang dinas,” ibuku menukas kalimat ayahku.
Takaran
darahku hanya 4 % gram. Tak boleh tidak, aku harus segera ditransfusi. Meskipun
menangis sejadi-jadinya dan mencoba untuk berontak, tapi tenagaku memang tak
seberapa. Entah dengan pertimbangan apa, mungkin juga tak ada tempat di bangsal
anak, aku ditempatkan di bangsal 14 untuk pasien dewasa.
“Sekarang
kamu harus mengikuti kata-kata dokter dan aturan rumah sakit, makan obat yang
teratur. Biar cepat pulang, sehat dan sekolah lagi,” ujar ibuku sebelum pulang,
tangannya yang lembut megusap-usap kepalaku sepenuh sayang.
“Bapak
juga harus balik lagi ke kantor. Nanti malam Bapak ke sini,” janji ayahku.
Maklum, seorang tentara punya kewajiban mutlak sesuai sumpah prajurit; lebih
mengutamakan tugas dari apapun jua.
Aku hanya
mengangguk pelan. Kasihan Bapak, pikirku, jadi bertambah beban di pundaknya.
Bukan diriku saja yang dikhawatirkannya, kondisi ibuku pun sungguh
memrihatinkan.
Keadaan
ekonomi kami morat-marit. Sementara kedudukan Bapak di kantornya yang baru pun
tentu belum ajeg benar. Bapak baru
dimutasikan dari Kodam Siliwangi ke Kodam Jaya. Acapkali aku merasa, orang
tuaku sudah tak mampu memberiku makanan yang sehat, karena itu lebih baik
menitipkanku di rumah sakit.
***
Posting Komentar