Di
penghujung tahun 1973, tiba-tiba kami mendapati Mak berpenyakit aneh. Dibilang
aneh karena kejadiannya mendadak. Mula-mula Mak tidak bisa merunutkan kalimat-kalimat
dan ucapan-ucapannya. Mirip anak yang baru mulai belajar ngomong. Anak-anak
merasa keheranan, ketakutan, campur bingung, kasihan dan ngeri juga.
“Tulis we nya naon nu dipikahayang,”4
Tuliskan saja apa yang mau diomongkan,” saran Bapak seperti biasa dengan sabar
sekali bila sudah menghadapi Mak.
Kami
diminta Bapak untuk selalu rajin menemaninya. Menyegarkan ingatan Mak dan
membimbingnya, agar mau menuliskan yang diinginkannya di atas kertas. Selama
seminggu Mak masih bisa menuliskan keinginannya. Lama-kelamaan tulisannya
miring-miring dan turun naik.
“Ikuti
Bapak shalat, ya, Mak,” pinta Bapak suatu hari, membimbing Mak shalat maghrib.
Kami
masih mendengar suara Bapak dengan bacaan shalatnya. Sampai usai shalat
maghrib. Hening, senyap sekali. Kami membayangkan Bapak sedang menengadahkan
kedua tangannya berdoa.Kulihat adik-adik duduk manis di ruang keluarga.
Wajah-wajah polos terkesan tegang, takut dan bingung.
Tiba-tiba
terdengar bunyi keras; brak, gedubraaak!
“Astaghfirullah
al adziiim…. Mak, Mak, Lit, Lit! Sadar, Lit, sadaaar, Istighfar!” suara Bapak terdengar
bak lolongan kepedihan di ambang malam itu.
Kami
tersentak, semua berlari, kemudian terpaku di depan pintu kamar. Menunggu apa
yang sedang terjadi. Aku tak sabar lagi mengetuk pintu. Bapak muncul dengan
wajah dibalun mendung tebal.
“Mak
kalian pingsan. Kita harus membawanya ke rumah sakit,” ujar Bapak.
“Biar aku
pergi ke rumah Pak Erte, ya Pak? Minta bantuannya, boleh Pak?” kuajukan diri
membantu.
Tanpa
menunggu jawabannya aku dibarengi adikku En berlari menuju rumah Pak Erte. Pak
Juandi, orang Tasik ini sangat baik. Kami sudah sering mendapat uluran
tangannya. Tanah yang ditempati kami pun dibeli dari sosok kebapakan ini dengan
cara mencicil.
“Baiklah.
Kita akan membawanya sekarang juga,” berkata orang baik dan tulus itu, sungguh
tanpa pamrih.
Malam itu,
hanya karena Bapak belum gajian, pengobatan Mak jadi ditunda-tunda. Akhirnya
Mak dibawa juga ke RSPAD.
“Kalian
harus jaga si My bergantian, ya,” pinta Bapak.
Adikku My
baru berumur tiga tahun.
“Siap,
Pak!” sahut kami serempak.
Tahun ini
adikku En terpaksa menganggur sementara. Tak ada biaya untuk melanjutkan
sekolah ke SMA. Jadi, dia sering ditugaskan menjaga Mak kalau siang hari.
Sementara malam hari biasanya Bapak yang menunggui Mak.
Kami
hampir tak pernah bisa secara rombongan untuk membesuk Mak, mengingat ketiadaan
dana. Untuk adilnya, kami secara bergiliran membesuk Mak. Aku yang paling
sering membesuk Mak. Sebelum atau sesudah sekolah, aku akan mampir ke rumah
sakit.
Suatu
kali aku ditemani beberapa teman membesuk Mak.
“Ini
sangat gegabah, Teteh! Kacow!” cela adikku En tak setuju. “Apa komentar mereka
nanti sama orang tua kita?”
“Ah, sudahlah.
Memang begini kenyataanya,” tukasku lugu.
Benar
saja, selang kemudian di sekolah sudah beredar kabar.
“Ibunya
si Etty itu dirawat di bangsal 13!”
Anak
tentara, keluarga prajurit tentu tahu apa arti bangsal 13 di RSPAD. Pasein
jiwa. Ya, Mak memang ditempatkan di
bangsal pasein penyakit jiwa.
“Kelainan
saraf, sakit saraf kan tak sama dengan orang gila!” bantahku berang sekali.
Tak ada
yang menggubris pembelaanku. Pandangan umum tetap saja begitu. Dengan tabah
kami menerima kenyataan ini. Meskipun acapkali aku menangis diam-diam, berusaha
keras meredam gejolak kepedihan yang menggelombang dalam jiwaku.
Aku
sering memandangi Mak lama-lama. Sosok yang kusayangi itu diisolasi di kamar
sendiri yang berjeruji besi. Sepasang mata yang lembut kini menatap kosong,
hampa, sama sekali tak bersinar. Segala kelembutan yang biasanya mengalir dari
sepasang mata itu, entah ke mana….Ya Allahu Rabbi!
Menitik
air mataku, hancur sudah hatiku. Aku sungguh merindukan kelembutan matanya, kasih
sayangnya dan ajeg-jejeg pikirannya.
“Mak,
kenapa jadi begini?”
Kerap aku
menyalahkan diri sendiri. Mungkinkah Mak begini akibat memikirkan penyakitku?
“Jangan
merasa begitu, Teteh. Mak sakit karena memang lagi diuji oleh Allah. Kita harus
menerima kenyataan ini dengan tabah dan tawakal,” Bapak tak henti-hentinya
menyemangati kami, anak-anak.
Selalu
saja ada orang yang bilang, Mak kena guna-guna yang mulanya ditujukan kepada
Bapak. Karena Mak lemah, maka jatuhlah menimpa Mak.
“Aduuuh….gheeerrrr…
kenapa sih jahat banget manusia itu?” teriak adikku En.
“Sudahlah,
mendingan kita berdoa untuk kesembuhan Mak,” ujarku sambil menahan kepedihan.
“Aku
sumpahi manusia itu masuk neraka jahanaaammm!” sergah adikku En pula dengan
wajah merah padam.
Menurut
dokter, ada pengapuran di sekitar otak Mak. Beberapa saat kemudian Mak disinar
kepalanya, mendapat banyak obat dan injeksi. Namun, sejauh itu Mak hampir tak ada perubahan. Masih tak bereaksi, tak
merespon apa pun yang terjadi di sekitarnya.
Saat-saat
itulah kami menyaksikan kesetiaan seorang Bapak. Seakan-akan tak mengenal arti
lelah, sepulang dinas langsung ke rumah sakit. Mulai dari memandikan,
membersihkan, sampai menyuapi, serta menghiburnya dengan kata-kata lembut atau candanya
yang segar.
Bapak pun
selalu menuntun Mak untuk ikut larut dengan tilawahnya, bacaan kalimatullah
yang didengungkannya. Tak jemu-jemunya, tak henti-hentinya. Ah, Bapak kami yang
saleh dan berhati mulia!
“Kelak
kalau punya suami, Teteh kepingin yang punya karakter seperti Bapak,” ujarku
kepada adikku En.
“Biarpun
melarat?”
“Hmm,
biarlah melarat. Bagiku yang penting lelaki itu baaaaiiiiik, seperti Bapak!”
“Ih, kalo
aku sih kepingin menjadi Nyonya Besar, taaauuuk!” serunya dengan gesture tubuh yang centil alias genit.
“Biarpun
kakek-kakek?”
“Aku gak
peduli!”
“Sekalipun
lain agama!”
“Yap! Aku
dendam dengan kemiskinan yang mencekik kehidupan. Benci dan dendam!” dengusnya
penuh amarah.
“En…
hentikaaan!”
“Ampuuuun…
Di mana Tuhan saat kita memerlukan-Nya? Di mana?”
Ya Allah,
dia mulai menggugat Sang Pencipta!
“Astaghfirullah
al adziiim,” gumamku.
Aku
berdoa, semoga Tuhan tidak mendengar keinginannya. Cuma dalam hati. Memang
kalau dipikir-pikir, rasanya banyak sekali ketidakadilan. Rasa sakit dan derita
tiada akhir menimpa keluarga kami.
Tapi,
pikirku kemudian saat telah tenang kembali. Bukanakah banyak juga nikmat-Nya
yang telah diturunkan kepada keluarga ini? Saat ini, kami telah memiliki sebuah
rumah permanen dengan perabotan lumayan bagus. Sesuatu yang dirasa bagaikan
mimpi, jika dibandingkan saat kami tiba sebagai perantau beberapa tahun yang
lalu.
Ya,
bukankah ini pencapaian luar biasa?
Tiga
minggu sudah Mak di rumah sakit dalam keadaan tak eling-eling. Petang itu, saat
aku berkemas untuk pergi sekolah. Tiba-tiba ada tetangga yang mengabarkan
kejadian menimpa adikku Ed.
“Neng, adikmu
kecelakaan!” lapornya nyaris meruntuhkan jantungku.
Bagai
dikejar setan aku berlari menyusuri gang menuju jalan raya. Di pinggir jalan
dekat lapangan Fajar, tampaklah Ed sedang dikerumuni orang. Seorang tukang roti
menyeruak kerumunan dan menghampiriku.
“Neng!
Maafin yeee…. Ini bukan salah Abang. Adik Neng aja tuh nyang nyeruntul begitu,
nabrakin gerobak roti Abang. Maafin, ye Neng. Jangan diperpanjang, Abang juga lagi
usaha, cari makan buat anak bini…. Eh, ini sekedar buat ke dokter ye Neng!”
celoteh lelaki separo baya itu dengan mengiba-iba.
“Eh,
Abang ini apa-apaan?” Aku masih kaget dan bingung. Tak bisa ngomong apa-apa. Si
Abang menyerahkan beberapa lembar ribuan, ditambah sekantong kresek roti.
Agaknya
si Abang ketakutan demi mengetahui kami adalah anak seorang tentara.
Ed
menangis kesakitan. Tangannya yang sebelah kiri berlumuran darah. Pecahan kaca
menempel di sekitar pergelangan tangannya. Aku dibantu ibu-ibu mengangkutnya
pulang ke rumah. Kami segera sibuk memberi pertolongan pertama. Ada kotak P3K
milik Bapak. Aku dibantu Bu Erte membersihkan luka Ed. Wuiiih, seluruh kegiatan
itu sungguh menguras energi!
“Nah,
istirahatkan saja dulu, ya,” kata Bu Erte sebelum pamitan.
Adik-adik
seketika mengerubunginya. Bukan apa-apa, mereka sama menatap dengan penuh
hasrat ke arah roti di tangan Ed.
“Boleh
bagi dong rotinya, ya?” En memulai.
Dengan
polos adikku Ed menyerahkan semua roti kepadaku untuk dibagikan.
“Hmmm,
enak juga rotinya!” decap Vi.
“Iya nih,
ini sih roti mahal, beneran!” sambung En.
“Kalau
gitu, sering-sering aja nabrakin diri ke gerobak roti, yeee!” cetus adikku Ry dengan
mulut penuh roti keju.
Aku
diam-diam menangis di kamar mandi. Bukan karena urung ke sekolah atau batal
membesuk Mak. Melainkan karena perasaan bersalah, aku sudah lalai mengawasi
adik. Bagaimana nanti laporan kepada Bapak?
Malam
harinya dampak luka di tangan Ed agaknya mulai terasa. Mula-mula kami masih
bisa bergiliran menjaga dan menghiburnya. Namun, menjelang tengah malam
semuanya tumbang, tidur bergelimpangan. Hatiku bagai tersayat-sayat setiap kali
Ed mengeluh kesakitan. Badannya demam, menceracau tak karuan. Aku hanya bisa
mengompresnya dan berdoa.
“Ikuti
Teteh berdoa dan zikir, ya Dik,” pintaku sambil bercucuran air mata.
Dari
adikku laki-laki yang satu ini, aku telah banyak belajar untuk pertama kalinya
tentang rasa keibuan. Dulu di Sumedang, sejak Ed bayi aku lebih banyak yang
mengurusnya. Ketika itu Mak diwajibkan latihan sukarelawati. Terpaksa Ed yang
baru berumur enam bulan ditinggalkan dalam pengasuhanku. Aku mengajarinya
berjalan, bicara, membaca dan berhitung.
Saat aku memasuki
remaja, dialah yang pertama kali memanggilku dengan sebutan Teteh, berupaya
untuk mensosialisasikannya kepada saudara-saudara yang lain. Hanya En yang jarang
memanggilku dengan sebutan Teteh, dalam kurun waktu lama sekali. Mungkin karena
umur kami tak jauh bertaut. Menurut Mak, saat aku baru tiga bulan, Mak sudah
hamil lagi oleh En.
Nah, paginya
kami sibuk menyiapkan Ed untuk dbawa ke rumah sakit. Bagian tugasku pula.
Karena yang lain merasa tak sanggup, asing dengan suasana rumah sakit.
Sementara aku biangnya rumah sakit!
“Kenapa
mesti ke rumah sakit? Kenapa gak ke dokter aja yang dekat?” protes Ed. “Ada uangnya yang dikasih
si Abang roti itu…”
“Sudahlah,
jangan banyak protes. Lebih baik ke rumah sakit. Sekalian bisa besuk Mak,”
sahutku tegas.
Dia tidak
tahu. Uang pemberian si Abang roti sudah aku serahkan kepada En. Buat belanja
hari itu dan sebagian untuk ongkos sepupuku El. Sebelum pergi aku pesan
wanti-wanti kepada En, agar mengawasi si bungsu My. Rasanya jadi trauma dengan
kejadian yang menimpa Ed.
Setelah
keluar gang, kami naik becak menuju jalan raya Tegalan. Dari sini kami naik bus
kota. Ongkosnya waktu itu jigo alias duapuluh lima rupiah. Karena Ed kupangku,
jadi kami boleh bayar jigo saja.
“Stop,
Baaang!” teriakku ketika bis kota akan melintas halte di jalan Kwini.
“Iya,
iya, hati-hati bawa adiknya ya Neng,” kata kernet, menatap kami dengan ibu.
Kondisi
adikku memang mengibakan hati. Lengannya dibalut perban yang penuh dengan obat
merah campur darah. Sementara wajahnya, seperti biasa mendekati kehabisan
darah, niscaya tampak pucat kekuningan.
Sesampai
di RSPAD kami langsung menuju ruang gawat darurat. Para
medis dan dokter di sini selalu bersikap profesional dan disiplin militer.
Tanpa menanyakan ini-itu, pokoknya mereka segera menangani luka Ed.
“Mana
orang tuanya, Dik?” tanya seorang perawat.
Ed yang
menjawabnya. “Bapak lagi dinas di Kodam. Mak diopname di bangsal 13. Kami
berdua saja ke sini. Mana gak bawa uang lagi. Cuma bawa kartu keluarga prajurit.
Iya kan,
Teteh….”
Aku
mengangguk dan mengiyakannya.
“Ini harus
dijahit. Lukanya lumayan dalam,” kata seorang dokter muda, sesaat memeriksa
luka Ed.
“Pssst,
Teteh pusing nih, tunggu di luar saja, ya?” bisikku pamitan.
“Iya…”
sahut Ed pasrah. Barangkali kasihan juga dia melihat wajah si Teteh yang sudah
pucat pasi.
Seorang
Bapak tentara merasa simpati. Dia mengajukan diri untuk mendampingi Ed selama
menjalani tindak medis.
“Duuuh,
terima kasih, ya Pak, terima kasih,” sampai terbungkuk-bungkuk aku di hadapannya,
menyatakan rasa terima kasih yang dalam. Ibaratnya pucuk dicita ulam tiba.
Kemudian
aku duduk di bangku ruang tunggu. Sesekali terdengar jeritan kesakitan Ed. Aku
menutup kuping rapat-rapat, sungguh tak tahan mendengarnya. Memang aku sering
dirawat dan jam terbangku sangat tinggi untuk urusan tindak medis, rasa sakit,
bau obat-obatan, darah dan kematian. Namun, kalau itu menimpa adik kesayangan, duuuh
Gustiii!
Kelakuan
kami itu agaknya mengundang perhatian orang yang hendak berobat pagi itu.
Cerita tentang kami dalam sekejap merebak sepanjang koridor klinik RSPAD.
Beberapa ibu mengulurkan simpatinya. Ada
yang menyisipkan uang ke saku celana Ed. Ada juga yang memberi penganan, buah,
cokelat dan permen.
“Duuuh…
jadi malu nih,” keluhku lirih.
“Biarin,
Teteh… ini rezeki kita,” kilah Ed mulai cengengesan.
“Halaaah,
ayo, kita nengok Mak sekarang!” kuhela tangannya, menjauhi ruang gawat darurat.
“Ayo!” Ed
menyambut ajakanku dengan girang. Mulutnya mengunyah cokelat, roti dan permen
sekaligus. Pipi-pipinya sampai gembil!
“Dengar,
ya,” aku mewanti-wantinya. “Nanti di depan Mak, kamu jangan ngomong apa-apa!”
“Hmmm,
hmmm…” desisnya sambil menikmati cokelat mete.
Setiba di
ruang perawatan Mak, suster yang baik hati mengizinkan kami masuk ke tempat Mak
dikerangkeng, seorang diri.
Untuk
beberapa saat kami berdua hanya berdiri dari balik jeruji besi.
“Kenapa
Mak disel begini, Teh?” Ed seketika melepaskan semua makanan di tangannya. Untuk
pertama kalinya dia membesuk Mak sejak diopname.“Apa Mak suka ngamuk, Teh?”
“Psst,
diamlah!”
Kami
memandangi keadaan Mak dari balik jeruji besi itu. Seorang suster mendampingi
kami.
“Begitulah,
maunya tidur melulu, kalau bangun suka ngamuk!”
“Oooh!”
seru kami kaget sekali.
“Tuhan,
Tuhanku,” jeritku membatin.
Serasa
ada yang berguguran di hatiku. Mak memang sedang tidur. Kedua tangan dan
kakinya diikat ke sisi-sisi ranjangnya.
“Mak tak mau
makan dan minum kalau tidak disuapi Bapak. Terkadang Mak membentur-benturkan
kepalanya ke dinding. Mak paling sering mengeluh sakit kepala yang amat sangat,”
jelas perawat itu tanpa diminta.
“Duuh,
Gusti Allah!” erangku dalam hati, demi Allah, sungguh hancur rasanya hatiku.
Tiba-tiba
mata Mak terbuka. Ya, sepasang matanya nanar memandangi kami. Menyelusup terus
melalui jeruji besi, seperti sedang mengembara ke mana-mana… akhirnya,
akhirnya… plaaas!
Sepasang
mata itu berubah menjadi lembut. Ya, mataku tak keliru!
“Teteh, Ed… Ka dieu asup ka jero,5” panggil Mak dengan suaranya yang
gemetar. Sarat dengan kerinduan. Kami memandangi suster.
Suster
yang setia menemani mengizinkan kami masuk ke dalam kamar Mak.
“Ed, aduh anaking, iyeuh, etah kunaon
atuh leungeun teh? Meni dibengker kitu?”6 Mak bertanya sambil meraih wajah Ed. Kulihat
sekilas ada butiran air bening yang bercucuran dari sudut-sudut matanya.
Ya Allah!
Nalar Mak sudah jejeg kembali. Ruh
Mak sempat mengembara ke mana-mana, akhirnya kembali pulang.
“Ini
sungguh mukjizat Ilahi!” pekikku dalam hati sangat terharu, air mataku pun
berlinangan.
Ya, kini
sepasang mata Mak telah kembali lembut. Normal seperti sedia kala. Penantian
kami yang bagai tak kunjung berakhir itu tiba jua. Mak dinyatakan sembuh. Tepat
saat melihat putranya diperban bernodakan darah.
Selamat
datang kembali ke dunia nyata, Mak tercinta!
Posting Komentar