Mengenang Masa Silam di Jembatan Victoria HK
Memasuki
usia kehamilan 30 minggu.
Untuk
kesekian kalinya aku diharuskan menjalani rawat inap, ditransfusi dan perawatan
intensif. Sejak minggu sebelumnya suami sudah kuberi tahu tentang hal ini, dan
dia menanggapinya dingin, acuh tak acuh. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya
sendirian.
Dimulai mencari dananya, karena tak semuanya bisa ditanggung oleh Askes, janji dengan dokter, antri darah di PMI sampai mengupayakan mendapat tempat untuk diopname. Aku lebih banyak melakukannya seorang diri.
Begitu aku telah berhasil mendapatkan semuanya itu, tahu-tahu dia berang sekali bahkan menudingku telah berselingkuh!
“Ya Tuhan, astaghfirullahal adzim,” erangku pedih sekali.
“Tak
mungkinlah kamu bisa melakukan semuanya itu sendirian, tak mungkin itu! Mengaku
sajalah kamu sudah dibantu seseorang. Pasti ayah anak kamu itu, ya kan!”
ceracaunya dengan mata memerah dan wajah perseginya sarat dengan aura kebencian
tak teperi.
“Demi Allah, demi Rasulullah, biarlah aku celaka kalau melakukan perbuatan senista itu,” pekikku tertahan
Dadaku serasa bergolak dan mendidih, perpaduan antara kemarahan terpendam dengan ketakberdayaan. Entah mana yang sanggup kuraih, dan sudut mana yang masih berkenan menerima ikhlas, dan semangat yang masih tersisa dalam dadaku.
Petang itu, aku tetap melanjutkan jadwal transfusi, meskipun dia telah berusaha keras menahanku. Bahkan mengancamku dengan mengataiku; “Dasar perempuan murahan, ibu tak bermoral, bla, bla!”
“Tidak, ini demi kelanjutan hidup bayiku!” pekikku mencoba mempertahankan sisa-sisa keberanian yang kumiliki.
Antri beberapa jam di PMI Pusat, akhirnya kuperoleh pula lima kantong darah cuci. Menenteng kantong plastik berisi darah, perut keroncongan dengan uang pas-pasan yang tersisa di dompet, kuayun langkah menuju RSCM.
Begitu menaiki penyeberangan, seketika langkahku terhenti tepat di tengah-tengah jembatan. Lama aku tertegun-tegun, sepasang mataku nanar memandangi mobil-mobil berseliweran di bawah kakiku. Tiba-tiba aku merasai seluruh perlakuan tak adil mencuat, membebat sekujur jiwa dan ragaku!
Dari suami, orang tua, saudara, teman-teman, oh, betapa dunia serasa menjadi kejam!
“Matilah
kau, matilah kau!”
“Tak
patut kau hidup di dunia ini!”
“Sudah
penyakitan, jelek, murahan; matilah kau!”
Demikian seketika terdengar suara-suara menghakimi muncul entah dari dimensi mana. Inilah saat-saat mengerikan dalam hidupku, bahkan aku tak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan.
Apakah aku pun sudah menjadi seorang psikosomatik, seorang skizoprenia? Tiada jawaban!
“Baik,
baiklah, kelihatannya aku harus menyerah,” desisku hampa dan putus asa.
Tubuhku terasa sudah ringan, bagaikan melayang-layang, tinggal menyelinap ke lubang di bawah kakiku dan; pluuuung!
Duhai, bila itu kulakukan akan usaikah semuanya?
“Tidak!
Bunuh diri takkan menyelesaikan masalahmu, malah akan menambah masalah baru
untuk keluargamu!”
Seketika wajah-wajah yang pernah menyayangi diriku pun berkelebatan di tampuk mataku. Wajah ibuku yang lugu hingga banyak rentenir yang memanfaatkannya, wajah bapakku yang tegas dan terkadang terkesan angkuh dengan disiplin militernya, wajah adik-adikku yang tak berdaya, kemiskinan yang masih melilit mereka.
“Kamu masih memiliki harapan, ada sepotong nyawa lain di dalam kandunganmu!”
“Bangkitlah,
jangan terpancing jebakan setan dari dasar neraka!”
“Betapa
tak tahu berterima kasihnya kamu kalau mengakhiri hidup. Bukan hanya satu nyawamu melainkan dua,
ingatlah itu!”
“Jangan pernah menjadi pembunuh anakmu sendiri!”
Wajah bayi
mungil, meskipun belum tampak rupanya, tapi sudah kudengar denyut nadinya
berulang kali, kulihat perkembangan bentuknya melalui foto ultrasonografi.
Dia anakku, belahan jiwaku, kepada siapa kelak aku bisa berbagi dukalara. Deegh!
“Ya
Tuhan, aku akan menjadi seorang ibu! Tidak berapa lama, tinggal beberapa pekan
lagi!” jeritku dalam hati.
Seorang ibu sebaya bundaku, seketika berhenti dan menyentuh tanganku, ia menanyai keadaanku; “Neng, kurang sehat ya Neng? Pucat amat, Neng, apa yang bisa Ibu bantu?”
Ada nada
cemas di sana, mengingatkan diriku bahwa masih kumiliki pula seorang ibu nun di
Cimahi sana.
Tergagap aku menyahut, “Eh, iya, agak pusing. Mau ke rumah sakit, Ibu, bisa tolong aku, ya?”
Aku ingin
menangis, tapi masih mampu kutahan. Hanya di dalam hati, tangisku tentu telah
melaut, menyamudera, tumpah-ruah dan membasahi relung-relung kalbuku.
Entah bagaimana selanjutnya, kurasa memoriku mendadak tertutup rapat di sana. Yang kutahu adalah ibu itu telah lenyap, sementara diriku telah terbaring di ruang rawat inap, dan darah mulai menetes satu demi satu melalui pergelangan tanganku, selang infus mengalirkan darah orang.
Belakangan kutahu dari para perawat, bagaimana ibu itu mengantarku ke ruang UGD, sesaat mendengar ceracauanku yang sulit dipahami.
“Betapa mulia, tanpa pamrih membantu sesama, terima kasih Ibu, siapapun dirimu. Engkau wakil Emak, bidadari penyelamatku!”
Petang beranjak malam, baru satu kantong darah yang memasuki tubuhku saat sosok tinggi besar itu muncul, pulang kuliah tak menemukanku di rumah. Dengan dalih bahwa aku telah meninggalkan rumah tanpa izinnya, dia merasa berhak untuk memarahi, memaki-maki, berakhir dengan diharuskannya diriku bersumpah setia di bawah saksi Al Quran.
“Nah, sejak sekarang ke mana pun kamu pergi harus atas izinku!” dengusnya seraya meninggalkanku sendirian.
Saat itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai saatnya melahirkan. Aku merasa telah kehilangan segala kepercayaan diriku, takut suatu saat kembali menyerah dan melakukan perbuatan nista; mengakhiri hidupku. Hanya karena tak tahan lagi dengan segala caci-maki, kemarahan dan kebenciannya yang harus kutanggung.
@@@
salut sama perjuangan mbak pipiet. nggak nyangka banget, mbak pipiet punya pengalaman yang 'strange'. tapi Allah sangat sayang pada mbak pipiet, karena-Nya mbak pipiet menjadi tegar dalam hidup :)
BalasHapusPosting Komentar