Ilustrasi: Bayi itu kini telah punya Balita seperti ini, alhamdulillah
Bayiku
Pernah Ditahan di Perinatologi
Anno,
Jakarta, 1981
Terbaring
sendirian tanpa sanak saudara di tengah para ibu yang sedang menyusui bayinya,
seketika aku baru menyadari satu keganjilan!
Di
ruangan perawatan yang berisi enam pasien baru melahirkan itu, ternyata hanya
diriku yang tidak bersama bayiku.
Ya,
bayiku tidak bersamaku! Di manakah gerangan sosok merah mungil dengan tanda
titik hitam di pelipis kiri itu?
“Mana
bayiku, Suster? Mengapa tidak diberikan kepadaku seperti ibu-ibu lainnya?”
tanyaku kepada setiap perawat yang muncul di kamar kami.
“Sabar,
tenang ya Bu. Bayinya sedang dalam perawatan Dokter.”
“Apa
maksudnya? Apakah dia tidak sehat?” tanyaku gemetar, mulai membayangkan hal-hal
mengerikan menimpa bayiku.
Maklum,
selama mengandung dirinya hampir tiap minggu ditransfusi.
“Bukan,
bukan begitu. Bayi Ibu sehat-sehat saja. Hanya para Dokter sedang memeriksanya
lebih teliti lagi. Ibu kan punya kelainan darah bawaan, bla, bla, bla!”
Satu
hari, satu malam, tanpa makhluk yang telah kulahirkan, kuperjuangkan selama 34
minggu itu. Rasanya aku mulai gila.
Segala
macam pikiran buruk berseliweran di benakku. Jangan-jangan ini permainan
keluarga suami. Jangan-jangan suami hendak memisahkan kami, ibu dan bayiku.
Jangan-jangan,
oh, jangan terjadi apa-apa, Gusti Allah!
Lelaki
itu, sosok berjuluk suami yang kini telah bergelar seorang bapak itu, belum
muncul jua menengok istrinya ini. Jangankan mengazankan anaknya yang baru
lahir. Bahkan kemungkinan ingat pun dirinya tidak kepada kami.
Aku
harus berpikir waras, gumamku. Jangan sampai terpancing untuk menjadi gila, tak
waras, apalagi menyerah. Tidak, jangan pernah menyerah!
Sedang
apakah dirinya sekarang?
“Bapak
ada saja di rumah, tidak ke mana-mana. Tapi tidak mau pergi ke sini,” lapor Mae
yang setiap hari sampai dua kali menjenguk, membawakan berbagai keperluan
untukku.
Dua
hari, dua malam, payudaraku serasa sakit luar biasa. Bengkak, karena tidak
disusukan kepada bayiku. Sepanjang malam itu aku nyaris tak bisa memejamkan
mata. Sambil mengeluarkan air susu, memompanya pelan-pelan, airmataku deras
bercucuran.
Sesungguhnya
rasa sakit yang mendera sekujur tubuhku sama sekali tak berarti, jika
dibandingkan dengan kepedihan yang meluas dan melaut. Kepedihan itu bak hendak
mengubur jazadku, mengingat ketakjelasan keberadaan bayiku.
“Ini
seharusnya ASI untukmu, Anakku,” desisku
dalam kepedihan yang serasa hendak melenyapkan seluruh kewarasan otakku.
Meskipun
tidak bisa mendirikan shalat, aku terus berzikir dan bermunajat, memohon
pertolongan langsung dari Sang Maha Pengasih.
Namun,
akhirnya pada hari ketiga aku tak mampu lagi menahan diri!
“Tidak,
ini sudah keterlaluan!” geramku, kuputar otak agar bisa berpikir jernih. “Aku
harus pulang. Ya, harus membawa bayiku pulang serta!”
Ketika
Dokter ruangan datang memeriksa pagi itu, aku sudah memutuskan untuk pulang.
Meskipun menurut dokter kondisiku belum memungkinkan untuk dipulangkan. Bahkan
menurutnya, aku harus dikembalikan ke ruang perawatan bagian Hematologi.
“Tidak,
demi Allah, saya baik-baik saja dan merasa sehat!” kataku menahan kemarahan
yang terus bergejolak liar di kepala dan dada ini.”Pokoknya, aku mau pulang
hari ini, sekarang juga!”
“Kalau
begitu, Ibu harus menanda tangani surat pernyataan pulang paksa.”
“Tidak
masalah, sini, Dokter, akan aku tanda tangani!” ujarku tegas dan mulai geram
sekali.
“Kami
tidak bertanggung jawab jika ada masalah setelah berada di luar ruang
perawatan. Bahkan kami tidak akan mau menerima Ibu dan bayinya untuk dirawat
lagi di sini.”
Aku
tidak meladeninya. Sudah kuperiksa hasil laboratorium, HB atau takaran darahku
10, karena sebelum melahirkan memang baru saja ditransfusi. Aku merasa diriku
akan baik-baik saja, dan siap menjadi seorang ibu untuk bayiku!
Setelah
kutanda tangani beberapa surat, kelengkapan sebagai persaratan pasien Askes
pulang, muncul masalah. Mae si janda kampung Cililin sungguh buta urusan
beginian. Kalau sendirian mengurusnya entah bisa entah tidak, malah mungkin
saja tersesat di tengah hiruk-pikuk RSCM.
“Mana
suaminya sih, Bu?” Entah untuk ke berapa kalinya perawat itu menanyaiku,
bolak-balik dari ruang kerjanya ke kamar perawatanku.
Nyaris
saja aku menjawab dengan jahat:”Barangkali sudah mati, ya, hatinya memang mati!
Sebentar lagi juga kami akan bercerai!”
Mujurlah,
Mae bantu menjawab:”Ada di rumah, mengurus orangtuanya.” Sehingga mulutku
langsung bisa kuredam, tidak berkata-kata apapun.
“Lantas
ini bagaimana? Siapa yang akan mengurus administrasinya?” desak perawat itu
pula.
“Aku
sendiri yang akan mengurusnya, Suster,” kali ini aku menjawab tanpa berpikir
panjang. Sebab yang ada dalam otakku, duniaku dan keutamaan perhatianku
hanyalah; bayiku!
“Bagaimana
bisa? Memang sudah kuat jalan?”
“Suster,
tolong bantu kami saja, ya. Minta pinjam rooster, biar Mae yang
akan mendorongku ke loket Askes,” pintaku tegas.
Demikianlah
akhirnya, Mae mendorongku yang duduk di atas rooster, kami
menuju loket Askes di bagian belakang. Masih ada kekurangan persaratan, maka
kami pun kembali ke ruangan.
Bolak-balik, wara-wiri menyusuri
koridor-koridor rumah sakit sepagian itu. Ternyata lumayan menguras enerji.
Peluh bercucuran di sekujur badan kami berdua.
Setelah
selesai urusan administrasi, kami pun membawa selembar kertas izin pulang untuk
kedua kalinya ke bagian Perinatologi.
Awalnya
mereka bersikukuh tidak mau mengeluarkan bayiku begitu saja. Semua ada
prosedurnya. Aku mencoba memberi pengertian. Kami tak boleh masuk. Pintunya
terbuat dari besi, ini sungguh membuat perasaanku semakin tak nyaman. Segala
prasangka buruk berseliweran di otakku.
Baru
membayangkan anakku dijamah tangan-tangan para calon dokter saja, aduh, rasanya
hampir meledak kepala ini. Apalagi jika mereka menjadikan bayiku sebagai
kelinci percobaan. Awas saja!
“Seharusnya
kami menyerahkan bayi ini kepada perawatnya,” kata seorang petugas.
“Para
perawatnya sedang sibuk. Jadi kami langsung ke sini, heeee, haloooow!”
Detik
itulah kemarahan sudah mencapai ubun-ubunku. Aku mulai menjerit-jerit histeris.
Menuntut mereka menyerahkan bayiku, darah dagingku yang telah ditahan sejak aku
melahirkannya tiga hari yang lalu.
“Aku
minta bayiku! Kembalikan, kembalikan anakkuuu!” jeritku melolong-lolong ke
seantero rumah sakit terbesar di Tanah Air itu.
Mae
hanya terbengong dan menangis melihat kelakuanku. Badanku pun telah gemetar,
bahkan mulai menggigil, bukan karena demam melainkan disebabkan terbakar api
kemarahan.
Agaknya
kelakuanku dilihat oleh seorang dokter perempuan yang melintas di kawasan itu.
Ia segera masuk dan entah apa yang terjadi di dalam sana. Kurasa itu adalah
ruang penelitian.
Ya,
aku baru menyadarinya, kemungkinan sekali mereka memang telah menjadikan bayiku
sebagai sumber penelitian, kelinci percobaan. Hanya karena memiliki seorang ibu
kelainan darah bawaan.
Baru
tersadar kembali, mengapa dokter meminta kerelaanku agar menyumbangkan plasenta
bayiku. Ya, ya, tentu saja itu memang dimaksudkan untuk penelitian. Dungunya
diriku ini!
“Sungguh,
kurang ajar!” seruku geram setengah mati.
Aku
sudah bertekad, andaikan tidak dikeluarkan juga bayiku dalam tempo sepuluh
menit itu, demi Allah!
“Aku
akan menelepon Hanna Rambe, Aristides Katoppo, semua teman-teman jurnalis yang
kukenal dengan baik. Biar mereka meliput kezaliman yang telah menimpa diriku
ini!”
Seorang
petugas perempuan muncul juga dari ruangan berpintu besi itu. Ia memangku bayi
merah, kupandangi dengan cermat wajahnya, ada titik hitam di ujung pelipis
kirinya.
“Ya,
dia bayiku, anakku, buah hatiku, cintaku, benteng cahayaku,” ceracauku sambil
merebut makhluk mungil yang terbalut kain hijau pupus itu secepatnya dari
tangannya.
“Mari
saya bantu mengganti pakaiannya dulu, ya Bu,” kata petugas perempuan itu dengan
sopan.
“Tidak
perlu, biarlah kami yang akan menggantinya!” ketusku, memelototinya dengan
kemarahan puncak gunung Mahameru.
“Tapi
kan kasihan, masa dibuka di luar begini….”
“Kalau
kasihan, biarkan kain jelek ini membungkusnya untuk sementara. Berapa aku harus
menggantinya dengan uang?” kataku sambil mendekap erat bayiku.
Airmata
kembali membuncah, kali ini airmata bahagia karena telah berhasil memeluk
bayiku, sosok mungil yang telah merajam sukma, jiwaku dalam tiga hari tiga
malam terakhir.
Aku
takkan pernah melepaskannya, takkan pernah, walau seandainya langit runtuh dan
bumi jungkir-balik sekalipun!
“Ya,
sudahlah, silakan dibawa pulang. Hati-hati saja di jalan, ya Bu. Selamat,” kata
pegawai perempuan menyalamiku, kemudian bergegas berlalu dari hadapan kami.
Beberapa
jenak aku masih menangisi anakku, rasanya malang nian keadaannya. Lihatlah,
bahkan ia tidak mengenakan baju, hanya berbungkus kain hijau pupus yang jelek
ini. Dan ayahnya pun entah bagaimana sikapnya.
“Hmm,
bagaimana, Teteh?” tegur Mae, merasa kelamaan juga agaknya membiarkanku dalam
situasi menyedihkan begitu.
“Oh,
iya, doronglah….”
Tapi
belum usai kalimatku, seorang petugas dari ruang perawatan menghampiri kami
”Roosternya
tidak bisa dibawa melewati tempat ini, Mbak. Harus dikembalikan ke ruangan,”
katanya bersikeras.
“Tidak
bisa pinjam sampai gerbang saja, kita cari bajaj di depan sana, Bang?” pintaku.
“Harus
bayar 25 ribu!”
Saat
itu, 25 ribu senilai honorarium satu cerpenku, mahal sekali!
“Ya,
sudah! Bawa saja rooster sialan ini!” Aku tersentak bangkit, menendang ujung
rooster itu dengan geram. Buukkk!
Selanjutnya
perjalanan dari RSCM menuju rumah tinggal di jalan Kalipasir itu, kami lakoni
dengan bajaj. Sepanjang jalan kupeluk erat bayiku, sesekali airmata bahagia
mengalir deras menuruni pipiku, sebagian membasahi wajahnya.
“Anakku,
inilah dunia kita. Mulai detik ini, Mama tidak akan pernah menangis untuk
hal-hal yang tidak penting!”
Aku
menyusut airmata hingga kering,dan hanya meninggalkan mata sembab. Kulirik
sekilas di sebelahku Mae hanya terdiam. Kurasa dia masih terkesima, mungkin
juga syok berat menyaksi segala sepak terjangku seharian itu.
"Teteh
mah meuni hebat, wanian pisan," demikian sesekali dari bibirnya keluar
gumam pujian.
"Kamu
juga bisa melakukan hal yang sama kalau berada pada posisiku, Mae," kataku
tegas. Ia mengangguk-angguk, entah paham atau tidak dengan penekanan kata demi
kata yang kuucapkan.
Dalam diam yang menikam, maka kubisikkan ke telinga bayiku: “Dengarlah, Anakku! Demi Allah, demi Nabiyullah!
Apapun yang terjadi, Mama bersumpah, takkan pernah meninggalkan dirimu. Mari
kita berjuang bersama, ya pahlawan tangguhku! Allahu Akbar!”
@@@
kerennn
BalasHapusPosting Komentar