Anno
1990, RSCM, Jakarta
Betapa
bahagia hatiku ketika di-USG, Dokter memberi tahu bahwa janinku adalah bayi
perempuan. Bagaikan anak TK yang dapat selusin balon indah, aku berkeliling
menyalami ibu-ibu di ruang tunggu klinik kandungan, siang yang terik itu.
“Kata
Dokter barusan, yah, ibu-ibu. Bayiku ini perempuan, aduh, meuni seneng sayah
teh, seneng,” demikian ceracauanku niscaya membuat ibu-ibu hamil itu bete, bisa
jadi mereka menyebutku; norak banget sih!
Aku
tak menghiraukan wajah-wajah yang menatapku dengan sorot mata aneh itu. Sejak
saat itu aku sungguh menjaga kondisi badanku agar selalu fit. Takaran darahku
harus di atas 10 % gram. Maka, tiap pekan aku dengan senang hati menjalani
kewajiban ditransfusi.
Ya,
saat ini aku telah berdamai dengan penyakit abadiku. Mau bagaimana lagi? Toh
meskipun berontak, selalu menangis, meratap dan menggugat-Nya. Keukeuh saja aku
punya bakat kelainan darah, seperti drakula. Yo wis, mendingan berdamai dan
bertahan sajalah!
“Sekarang
Ekal boleh dong dipanggil Abang, ya Ma?” sambut putraku, ketika aku pulang sore
hari.
“Iya
Nak, eh, Abang. Mau Abang Jampang apa Abang Becak nih?” candaku sambil mengusap
keringatnya yang berleleran di dahinya.
Pulang
sekolah ia selalu berjalan kaki, karena uang sakunya suka ditabung untuk beli
buku di akhir pekan. Saat itu ia sudah hobi mengisi buku hariannya. Belum lama
tulisannya dimuat di majalah Bobo, kalau tak salah rubrik Taman Kecil.
“Iiih,
Abang, ya Abang saja!” dia merengut, tapi sebentar kemudian tertawa riang saat
kusodori oleh-oleh bakeri kesukaannya.
Tiba-tiba
ibu mertua muncul dari kamarnya. Sebelumnya, pertama-tama yang kulakukan begitu
masuk rumah, segera menyediakan penganan bawaanku di atas meja ruang tamu. Ya,
ruang tamu tempatnya suka berkeluh-kesah, atau mengajak tetangga untuk
ngerumpi-ria. Intinya sih, membicarakan menantu perempuannya ini yang sering
dikata-katainya.
“Orang
Sunda itu sundal!” Entah paham atau tidak dia dengan istilah sundal itu.
Dia
langsung melontarkan protesnya, merepet tak tahan, seperti biasanya. Sehingga
kupingku sudah kebal, hatiku pun kebas dibuatnya.
“Bah!
Baru pulang kau, Pipiet? Kelaparan aku ini, tak ada makanan di meja itu, bah!
Macam mana kau ini mau mengurus aku yang sudah tua-tua ini? Apa kau tak senang
aku tinggal di sini? Kalau tak senang bilang sajalah itu. Orang Sunda itu
memang suka munafik, ya!”
“Ompung
tuh suka gitu, ya,” Haekal bergumam. “Makanan yang Mama masak tadi pagi sudah
dihabisin sendiri. Ekal tak kebagian apa-apa, eh, masih bilang kelaparan lagi.
Pake bawa-bawa orang Sunda segala?”
“Pssst,
diamlah, Nak.”
Aku
mengingatkan anak yang sudah kebal juga mendapat perlakuan kasar, baik dari
ompungnya maupun ayah kandungnya.
“Bicara
apa kau?” sergah ompungnya dalam nada meninggi, sepasang matanya melotot.
Haekal tampak mengkeret dan bergeser ke belakangku.
Sosoknya
yang tinggi di atas rata-rata perempuan tua Indonesia, tampak menjulang di
hadapan kami berdua. Acapkali otakku buntu, tak habis mengerti, mengapa
perempuan tua ini sangat membenciku dan anakku?
Baiklah,
kalau dia membenciku, karena bukan menantu pilihannya. Tapi terhadap anakku,
bukankah Haekal cucunya, darah dagingnya juga?
“Gak apa-apa, Bou7, sebentar ya. Saya akan
masak lagi buat Bou,” buru-buru kugaet tangan anakku, agar mengikutiku ke
dapur.
“Bah!
Kalian itu, ibu dan anak memang tak suka aku tinggal di sini, ya? Biar nanti
kubilang sama anakku!” cerocosnya dalam nada yang sarat iri-dengki dan intrik.
Hiiih, persis di sinetron-sinetron kita sekarang!
Benar
saja, dia memang mengadu dan tentu dibumbui dengan laporan macam-macam,
sehingga berbentuk; sebuah testimoni tentang menantu yang selalu berbuat keji,
menganiaya ibu mertuanya. Astaghfirullahal adhim.
“Kau
ini kan seorang ibu, mana pantas berbuat begitu kepada ibuku yang sudah lansia,
dan sakit-sakitan,” gugat suami tak tertahankan lagi meletupkan penyesalan dan
kekesalan hatinya. “Sekarang kau bisa bertingkah dan menyakiti orang tuaku yang
sudah tua itu. Apa kau tak takut kelak diperlakukan begitu oleh anak-anak atau
menantu kau?”
Aku
tak bisa membela diri, tak pernah bisa. Bahkan ketika suami memutuskan untuk
pisah kamar, aku hanya bisa pasrah.
Saat
itu aku sedang semangat-semangatnya belajar mengaji kepada Ustazah Saanah dan
guru kami berdua, Kyai Harun. Aku telah memutuskan untuk berbusana muslimah dan
berjilbab apik.
Aku
berusaha untuk larut dan teguh lagi bermunajat. Sering kulakukan semacam
berdialog dengan Sang Pencipta, memohon kemudahan dan Kemahakasihan-Nya dalam
melakoni hari-hari.
Jika
aku ke rumah sakit selalu timbul keributan, terutama protes dan tumpahan
kemarahan ibu mertua. Semuanya akan berujung dan dieksekusi mutlak di tangan
suami. Aku tak ingin melukiskan bagaimana warna muram, nuansa kekerasan dalam
rumah tanggaku saat itu.
Biarlah
semua yang melukai itu kusimpan rapat di memori otakku sendiri.
Dalam
situasi demikianlah, aku berjuang keras demi kelangsungan hidup janin dalam
kandunganku.
Aku
lebih sering pergi seorang diri ke RSCM. Adakalanya Haekal memaksa ingin
mengawalku, meskipun untuk itu harus bolos sekolah. Dan berujung dipukuli
ayahnya jika dia mengetahuinya.
Memasuki
pekan ke-28 saat Dokter menyatakan jantungku bermasalah, membengkak, asma
bronchiale plus penyakit abadiku tentunya. Mau tak mau aku harus patuh untuk
dirawat.
“Mohon
diizinkan pulang dulu, Dokter,” pintaku. “Orang rumah gak ada yang tahu. Hari
ini kan niatnya juga hanya berobat rutin.”
“Tidak
bisa, Bu, kami tak mau disalahkan kalau terjadi apa-apa. Tenang saja, nanti
kita suruh orang untuk mengabari keluarga Ibu,” tegas Dokter Andri, sungguh tak
bisa diganggu gugat lagi.
Dengan
berat hati kupasrahkan juga nasibku, terutama demi bayi dalam kandunganku, ke
tangan tim gabungan yang selama itu merawatku. Sejak diantar oleh petugas ke
ruang perawatan, IRNA B di lantai enam, perasaan sedih karena seorang diri itu,
segera kutepiskan jauh-jauh.
Aku
tidak pernah seorang diri, bisikku melabuh senyap dalam hati dengan semangat
optimisme dan kemurahan Sang Pengasih. Ya, tentu saja ada Dia Sang Penggenggam
yang menemani senantiasa, senantiasa.
“Saya
sudah menyampaikan pesan Ibu,” lapor petugas rumah sakit yang diminta bantuan
untuk mengabari suami, keesokan paginya.
“Ya,
bagaimana?” aku menatapnya heran.
Kalau
sudah diberi tahu, mengapa dia tidak segera datang menengokku? Tapi aku menelan
kembali pertanyaan konyol itu. Tentu saja konyol, petugas itu bukan
siapa-siapaku. Hanya karena sama warga Depok, dia mau membantu, mendatangi
rumah kami di sudut kampung Cikumpa.
“Bapak
itu, maaf, suami Ibu, ya?”
“Yang
di rumah itu, iyalah! Memangnya kenapa?”
“Waktu
saya sampaikan pesan Ibu, kelihatannya beliau marah sekali.”
“Marah
bagaimana?” aku jadi penasaran.
“Yah,
dia menanyai saya macam-macam. Apa hubungan saya dengan Ibu, begitulah…”
Ya
Allah! Penyakit ajaibnya itu, paranoid parah!
Dengan
keyakinan bahwa aku telah mengkhianatinya, dia pun memutuskan untuk menghukum
diriku. Demikianlah yang terjadi. Sehari, dua hari, tiga hari, waktu terus
berlalu. Life must go on!
Uang
yang ada di tanganku sudah habis, bahkan aku tak mampu beli sabun mandi.
Acapkali dengan malu-malu, kuminta dari pasien sebelah. Tapi kalau mulai
kulihat permintaanku itu mengganggunya, aku pun akan mandi tanpa sabun. Kalau
tidak, kupunguti sisa-sisa sabun colek bekas mereka mencuci, dan dengan itulah
aku membersihkan badanku.
Karena
tak ada baju untuk salin, aku pun menyiasatinya dengan mencuci baju
satu-satunya milikku yang melekat di tubuhku itu malam hari. Sepanjang malam
aku akan menyembunyikan seluruh tubuhku di balik selimut. Hingga subuh tiba,
aku akan buru-buru mengambil baju gamis yang telah kering, dan kujemur di teras
balkon.
Seminggu
sudah dan tak ada seorang pun yang mengunjungiku di ruang perawatan. Aku tak
ingin membebani orang tua yang sudah sepuh di Cimahi. Sedapat mungkin aku harus
menanggulangi kesulitan hidupku, dengan atau tanpa pasangan hidupku sekalipun.
Maka,
hari ketujuh itu, kuputuskan untuk bertindak. Aku sudah ditransfusi dan asmaku
mulai membaik. Entahlah dengan kondisi jantung yang konon membengkak. Selama
ini pun aku tak pernah mau memikirkan segala penyakit yang menggerogoti tubuh
ringkihku ini. Aku sehat, sama seperti lainnya, sehat dan kuat. Demikianlah
yang selalu kutanamkan dalam hati dan pikiranku.
Hari
itu kebetulan aku dikonsultasikan ke bagian Perinatologi dan Radiologi. Siswa
perawat yang mengantarku dengan kursi roda berpamitan, karena dia akan
mengambil pasien lain.
Begitu
selesai diperiksa Dokter, sesungguhnya di-USG untuk kesekian kalinya. Inilah
saatnya!
Kutinggalkan
kursi roda itu begitu saja di depan poliklinik Radiologi. Aku mulai menyusuri
koridor demi koridor rumah sakit, hingga sampailah di pintu keluar. Kumantapkan
hatiku untuk pergi ke kantor majalah Amanah yang tak jauh dari kawasan Salemba.
Beberapa
saat lamanya aku menyusuri kakilima di depan RSCM. Kira-kira kepada siapa aku
bisa minta tolong, untuk ongkos ke kantor redaksi itu? Sungguh, tak ada uang sepeser pun din
tanganku!
Mataku
bersirobok dengan pedagang kue basah di depan kampus YAI. Kucermati pemiliknya,
firasatku membisikkan sosok itu seorang ibu yang baik. Maka, ke situlah
kaki-kaki kuayunkan.
“Tolong,
ya Bu, mohon Ibu mau pinjami aku uang seribu saja. Jaminannya KTP ini, ya Bu.
Aku akan ke kantor ambil uang,” kataku sekuat daya kutenggelamkan perasaan
sedih dan malu tak teperi.
Ibu
itu, seorang perempuan paro baya, menatapku dengan sorot iba. Ia
menanyaiku;”Memangnya adik tinggal di mana?
Kujawab
bahwa aku pasien yang akan mengambil uang di kantor untuk menebus obat. Dia
memberiku selembar lima ribu, tanpa mau menerima KTP yang sedianya akan
kujaminkan.
Dengan
mikrolet aku pun meluncur ke kantor redaksi majalah Amanah. Di sini, kuyakinkan
itu dalam hatiku, pasti ada yang berkenan membantuku. Ada rekan-rekanku sesama
penulis yang telah lama kukenal.
Benar
saja, ada Ahmad Tohari, Emha Ainun Majid yang tengah dikerumuni rekan-rekan
wartawan di ruang tamu. Aku hanya melintasi mereka, tidak sempat sekadar say
hello. Toh yang kubutuhkan adalah uang, tidak perlu banyak, melimpah ruah. Cukuplah
seharga satu cerpen saja.
Ada
teman di bagian redaksi yang mengenalku dengan baik. Karena belum lama juga
cerita bersambungku dimuat. Saat kukatakan kesulitanku, intinya, aku
membutuhkan sejumlah uang.
Sebagai
pinjaman atau apalah istilahnya, dan yang bisa kubayar nanti dengan naskah, dia
pun segera mengusahakannya.
“Ini
Mbak Pipiet, silakan ditanda tangani di sini,” selang beberapa menit, seorang
wanita muda menyodorkan secarik kuitansi. “Kebetulan ada dua cerpen anak-anak
Mbak Pipiet yang sudah dimuat edisi bulan lalu.”
“Oya?
Yang mana tuh, Dek?”
“Ini
loh cerpen berjudul Rumah Besar di Sudut Gang dan Jenderal Kancil. Jadi, Mbak
Pipiet hanya ngebon satu cerpen saja. Kapan-kapan sajalah dikirimkannya,” paparnya
sungguh membuatku terperangah.
Kulihat
sekilas angka 100 ribu itu dengan dada berdebar. Sempat terlintas di benakku,
apakah aku ini penulis abnormal yang tak tahu malu? Naskah belum ada,
berani-beraninya minta honornya? Tukang nulis pengijon!
Ah,
masa bodohlah, jeritku mengawang langit.
“Terima
kasih, ya Dek. Ini sungguh kejutan yang menyenangkan,” kataku dalam nada sangat
bersyukur.
Bayangkan
saja, awalnya hanya berharap honor satu cerpen, ini malah diberikan tiga kali
lipatnya. Sungguh Sang Maha Pemberi Rezeki itu memang lebih luas dalam
memberikan kasih sayang-Nya, teutama kepada hamba yang sedang membutuhkan.
Setelah
berbasa-basi sebentar dengan sang sekretaris redaksi yang ramah itu, aku pun
pamitan. Ketika melintasi kembali di ruang tamu, tinggal Cak Nun yang masih
berbincang heboh dengan dua orang wartawan. Dia sempat melihat ke arahku,
sekejap, entahlah.
Seketika
aku berdoa dalam hati, semoga dia tak pernah mengenaliku!
Dengan
uang itulah aku bisa membeli perlengkapan mandi, susu ibu hamil, vitamin,
kue-kue kering bahkan dua potong daster murahan di kakilima.
“Loh,
sebentar saja, ya Dek? Kantornya gak jauh toh?” tanya ibu pedagang kue basah di
depan kampus YAI, saat kukembalikan selembar lima ribuan yang kupinjam.
“Iya,
Bu, dekat di Kramat Kwitang,” jawabku, sekali lagi kuucapkan rasa terimakasih
yang dalam kepadanya.
Sesampai
di ruang perawatan kembali, agaknya sempat terjadi kehebohan; seorang pasien
diduga telah melarikan diri!
“Saya
hanya beli daster saja dan peralatan mandi, Suster, maafkan tidak bilang dulu.
Soalnya, kalau bilang pasti tidak diizinkan,” kilahku berlagak tidak bersalah.
“Ibu,
mohon jangan membuat kami ketakutan. Pokoknya lain kali Ibu mending minta
tolong si Mamang saja, ya.”
Minta
tolong seorang janitor? Mana mungkinlah. Lah wong ini urusan ijon-mengijon,
utang-mengutan naskah di kantor redaksi!
Ketika
sore harinya, akhirnya, kepala keluarga itu, khalifah kami yang selalu merasa
suci, bijak bestari itu datang juga.
Pertama-tama
yang diucapkannya adalah; “Enak kau tinggal di sini, ya! Banyak Dokter ganteng
yang bisa memegang-megang tubuh kau!”
Airmata
itu akhirnya tumpah jua, bukan di hadapannya, melainkan manakala sendirian
berdiri di teras balkon lantai enam IRNA B.
Malam
yang hening, pukul sepuluh, langit biru bening. Cakrawala bertabur selaksa
bintang nun di atas kepalaku sana. Bintang-bintang itu, di mataku sedang sangat
ramah, mengajakku tersenyum, tersenyum, dan senantiasa tersenyum.
Persis
seperti sering kubisikkan kepada putraku, Haekal, apabila kami baru mengalami
kekerasan. Biasanya kuajak dia menatap bintang-bintang di langit dari jendela
kamar kami, di rumah kami yang mepet sawah dan mepet kuburan itu.
“Lihatlah,
Nak, Cinta, lihatlah! Bagaimanapun pedihnya hati kita, bintang-bintang itu
tampak selalu indah dan tersenyum.”
“Artinya
apa, Ma?” tanya Haekal, suatu kali.
“Kalau
bintang-bintang itu masih tersenyum, pertanda masih ada banyak harapan.
Yakinlah. Jangan jadi anak yang cengeng, ya Nak, Cinta, Buah Hati Mama. Raihlah
harapan itu!”
Demikian
pulalah yang kubisikkan saat itu kepada bayi dalam kandunganku, seorang anak
perempuan.
“Jangan
pernah menjadi anak perempuan cengeng, Cintaku, Buah Hatiku. Lihatlah ke langit
ciptaan-Nya itu. Bertebar harapan dan cinta untuk kita. Maka, jadilah pejuang
tangguh bersama ibumu sampai kamu kulahirkan, besar, dewasa, yah, hingga
jantung Mama henti berdetak.”
Biar
bagaimana pun pedihnya kehidupan, ndilalah, bibirku masihlah bisa tersenyum.
Bintang di hatiku pun mulai tersenyum melalui sepasang belahan jiwaku; Muhammad
Karibun Haekal Siregar dan Adzimattinur Karibun Nuraini Siregar.
Maka,
lihatlah di bening mataku ini, Saudaraku!
Bintang
pun tersenyum, ini kupinjam dari judul salah satu cerpen karya Butet yang
dimuat pada antologi kumcer cantik; persembahan penulis lintas generasi,
terbitan Gema Insani Press, 2006.
7
singkatan dari inangboru, sebutan untuk
ibu mertua
Ceritanya sungguh menginspirasi, salam ukhuwah Bunda Pipiet Senja...
BalasHapusterima kasih nanda poetry b ning telah mampir, maafkan baru buka buka lagi nig, salam kasih sayang nanda
BalasHapusPosting Komentar