Ilustrasi: Butet dengan Firman, suaminya
Ini ditulis oleh putriku, Adzimattinur Siregar, kelas satu SMP.
Waktu aku
kecil, kehidupan sosialku tidak bagus.
Meski sekarang juga kalau dipikir-pikir tidak berubah banyak.
Misalnya tidak punya kendaraan pribadi seperti tetangga-tetanggaku,.
Saban hari keluyuran ke Mal. Bisa weekend bolak-balik ke Singapura.
Umrohan dan hajian tiada jemunya, tapi maksiat tiada pula setopannya, eng ing eng!
Meski sekarang juga kalau dipikir-pikir tidak berubah banyak.
Misalnya tidak punya kendaraan pribadi seperti tetangga-tetanggaku,.
Saban hari keluyuran ke Mal. Bisa weekend bolak-balik ke Singapura.
Umrohan dan hajian tiada jemunya, tapi maksiat tiada pula setopannya, eng ing eng!
Ada satu
hal yang aku ingat dengan jelas waktu aku kecil itu.
Bahwa aku benci anak-anak kampung, ini serius loh bukan basa-basi.
Tapi mau bagaimana lagi.
Bahwa aku benci anak-anak kampung, ini serius loh bukan basa-basi.
Tapi mau bagaimana lagi.
Takdirku jadi
anak kampung. Tepatnya aku tinggal di kampung bernama Cikumpa. Sampai detik
ini, aku tak tahu asbabunuzul-nya, keluargaku bisa nyasar di tengah kebon
bambu, banyak kuburan kuno begitu.
Nah, itu
berarti satu hal lagi: mungkin aku dikutuk hidup, percayalah!
Aku selalu dikelilingi segerombolan anak kampung.
Lengkap dengan aksesoris abadi mereka yang tak lain dan tak bukan adalah:
seperangkat ingus andalan.
Aku selalu dikelilingi segerombolan anak kampung.
Lengkap dengan aksesoris abadi mereka yang tak lain dan tak bukan adalah:
seperangkat ingus andalan.
Percaya deh, aku benci banget situasi begitu!
Apalagi, waktu aku berumur sekitar tujuh tahunan.
Aku ingat jelas, mereka senang sekali mencelakaiku.
Begitu dari jauh dilihatnya sosokku berjalan menghampiri mereka.
Begitu dari jauh dilihatnya sosokku berjalan menghampiri mereka.
Breeeg!
Anak-anak
kampung itu langsung mengerumuniku sambil mengejekku habis-habisan.
Biasanya sambil ada plusnya; jenggutan di rambutku, geplakan di kepalaku.
Tak lupa sepakan di kaki-kakiku.
Biasanya sambil ada plusnya; jenggutan di rambutku, geplakan di kepalaku.
Tak lupa sepakan di kaki-kakiku.
Pokoknya
menyakitkan dan horooor!
Lihat,
mereka berjingkrak-jingkrak macam anak-anak setan main gasing.
Dari mulut mereka berloncatan kata-kata model begini:
Dari mulut mereka berloncatan kata-kata model begini:
“Ibu loe
sakit kuning! Ibu loe sakit kuning!”
“Iiih,
jangan deket-deket!”
“Setan
‘kali tuh nyokapnya!”
“Kuning-kuning, tahiii… macam tahi, kecipiriiit!”
“Hiiiy, mandinya pake tahi di kaliii!”
“Bauuu!”
“Awas…
awaaaassss… ada anak setan kuning lewaaat!”
Aku tak begitu ngerti apa itu tahi. Maklumlah, aku kan
hidup dipingit sejak bayi.
Jadi, walau sudah tujuh tahun, belum paham benar makna ejekan tahi itu.
Aku terkesima dengan perbendaharaan anak-anak kampungku.
Jadi, walau sudah tujuh tahun, belum paham benar makna ejekan tahi itu.
Aku terkesima dengan perbendaharaan anak-anak kampungku.
Namun
yang jelas, aku paham kalau itu sama sekali tidak bagus.
Karena mereka terus-menerus mendorongku, sampai aku nyungsep di pinggir empang,.
Tak jauh dari kali yang airnya masihlah bening dan jernih.
Karena mereka terus-menerus mendorongku, sampai aku nyungsep di pinggir empang,.
Tak jauh dari kali yang airnya masihlah bening dan jernih.
“Waaa… bibir gw jontoooor!” erangku tertahan.
Ajaibnya,
Sodara!
Satu pun
tak ada yang kasihan kepada diriku yang malang ini.
Anak-anak itu makin heboh meneriakiku.
Seakan-akan aku ini memang pantasnya disebut; anak kuntilanak yang belum beranak-pinak.
Beuh!
Anak-anak itu makin heboh meneriakiku.
Seakan-akan aku ini memang pantasnya disebut; anak kuntilanak yang belum beranak-pinak.
Beuh!
“Penyakit kutukan!”
“Iiiih…
anak kuntilanaaak!”
Naaah,
dengar sendiri?
Tapi
kurasa aku anak pintar, malah mauku sih dibilang jenius.
Aku tahu kalau mereka lagi mengejek mamaku.
Satu sosok yang paling dekat, paling kukenal, paling melindungiku kala itu selain abangku.
Aku tahu kalau mereka lagi mengejek mamaku.
Satu sosok yang paling dekat, paling kukenal, paling melindungiku kala itu selain abangku.
Cukup
satu alasan itu saja, membuat diriku untuk pertama kalinya punya keberanian
melawan. Aku merangsek maju.
Dan dengan gagahnya, aku mendorong seorang anak sejenisku, berbadan bongsor, hingga di mataku seperti anak gajah duduk.
Dan dengan gagahnya, aku mendorong seorang anak sejenisku, berbadan bongsor, hingga di mataku seperti anak gajah duduk.
Kutahu
namanya Nenk (tulisan gaulnya sih gini, meski disebutnya si Eneng!), anak
paling ndableg yang pernah kukenal.
Soalnya, tiap tahun, tiap kelas, dia selalu ngendog alias tidak bisa naik kecuali gurunya disogok. Yup, anak pegawai PLN yang superidiot inilah bos geng kampungku dulu!
Soalnya, tiap tahun, tiap kelas, dia selalu ngendog alias tidak bisa naik kecuali gurunya disogok. Yup, anak pegawai PLN yang superidiot inilah bos geng kampungku dulu!
Tanpa
babibu lagi, aku membungkuk, menyambar sebongkah batu paling dekat dengan
tanganku.
Pssst, kalau dipikir-pikir, detik itulah kutemukan satu bakat terpendam dalam diriku; bakat preman.
Pssst, kalau dipikir-pikir, detik itulah kutemukan satu bakat terpendam dalam diriku; bakat preman.
Yaaah, ternyata, Sodara!
Aku salah
ambil batu. Niatnya ambil yang ukuran S.
Eh, bagaimana ya, namanya juga lagi panik kan?
So, tanpa sengaja kuambil batu ukuran XL!
Eh, bagaimana ya, namanya juga lagi panik kan?
So, tanpa sengaja kuambil batu ukuran XL!
Maka,
sebruuut, bletaaak, jegheeeerrr!
“Ngheeeekkk!”
Hening sejenak. Aku rasa otaknya yang lemah itu lagi
menelaah apa yang sedang terjadi. Mataku melotot belo ke arah si anak gajah
duduk itu.
Dasar oon, anak itu lama sekali menyadarinya.
Padahal, jidatnya sudah jelas-jelas berleleran darah. Ini bikin anak-anak lain berteriak histeris, malah langsung ngacir alias lari tunggang-langgang.
Dasar oon, anak itu lama sekali menyadarinya.
Padahal, jidatnya sudah jelas-jelas berleleran darah. Ini bikin anak-anak lain berteriak histeris, malah langsung ngacir alias lari tunggang-langgang.
Dasar
gerombolan pecundang!
Nah,
giliran aku dengan si Nenk berhadapan frontal. Berduaan!
“Gheeeerrrr….”
Aku
menggeram-geram sambil makin menyadari, sudah kudapat seutuhnya yang namanya
keberanian.
Kulihat
perlahan jari-jarinya yang buntet merabai jidat jenongnya.
Syaaap,
terus, dia tatap cairan merah kental, lantas, jritannya pun mengguncang kampung
Cikumpa pada tengah hari bolong itu!
“Woaaaa… Bilangin Mamaaa! Huweeee!”
Giliranku bengong habis, melototi si Nenk yang
meraung-raung sambil guling-gulingan di pinggir kali. Mungkin anak lain bakal
ikutan mewek jika berada di posisiku.
Tapi kehidupanku (yang cuma tujuh tahun,
eniwei) mengajarkan; jangan pernah nangis di depan seorang anak yang lagi
mewek. Bisa kacau-balau urusannya.
Lagipula, aku jadi bingung.
Lagipula, aku jadi bingung.
“Kenapa
sih loe sedih banget, heh, anak gajah duduk?”
Tapi cuma
dalam hati saja.
“Cuma
berdarah doang, kok!” tambah hati kecilku.
“Heei,
tahuk kagak loe! Mama gw sering loh, berdarah-darah lebih hebat dari loe.
Gara-gara dihantemin Papa gw!”
“Mama gw
juga suka nenggak darah orang… Woi, keren kaaan!”
Tiba-tiba
aku menyadari sesuatu.
Bagaimana kalau jeritannya terdengar oleh Emak si anak gajah duduk ini?
Ops… benar saja!
Bagaimana kalau jeritannya terdengar oleh Emak si anak gajah duduk ini?
Ops… benar saja!
Dalam
hitungan sekon mendadak saja; jleeeegh!
Di mataku
itu makhluk berjenis emak-emak, pakai daster batik yang memperlihatkan bulu
keteknya ke mana-mana.
Dan gelang keroncongan di pergelangan tangannya, plus sepasang mata melotot, menyala, meraaah. Persiiiis, genderewo cerita versi Mama!
Dan gelang keroncongan di pergelangan tangannya, plus sepasang mata melotot, menyala, meraaah. Persiiiis, genderewo cerita versi Mama!
“Diapain, Sayang?” tanyanya sambil meraih si gembrot Nenk
yang makin gelosotan, sampai nyaris kecebur kali.
“Ogaaah…
suakiiit… berdarah niiiih!” lengking si Nenk.
“Yeee… nih anak, siniiii!” teriak biangnya jadi geram ke
sana ke mari.
Beberapa saat, makhluk yang mirip genderewo itu berjibaku
menarik tubuh anaknya yang sudah tidak karuan bentuknya.
Perpaduan antara berdarah jenongnya dengan belepotan lumpur sekujur badannya.
Perpaduan antara berdarah jenongnya dengan belepotan lumpur sekujur badannya.
Nah,
barulah kemudian, dia menghampiriku dengan sorot mata penuh angkara.
“Dasar
anak si penyakitan! Disajarin sopan santun tidak sih sama ibu loe?!
Berani-beraninya anak miskin lawan orang kaya, yah, bla, bla!” Cerocosnya
sampai termehek-mehek, air lsudahnya muncrat-muncrat dengan bau got empang.
Aku memang tak tahu-menahu apa arti istilah tahi, dan
bahasa kampung lainnya. Tapi jujur saja, aku sudah bisa baca sejak umur dua
tahun. Camkan itu, dua tahun, Gan!
Aku sudah
tahu banyak, menyimpan jutaan kata bijak dari bacaan serabutan yang pernah
kulahap. Belum lagi ditambah dari perikehidupan yang meski cuma seupil begini,
tapi plus keluarga yang kisuh-misuh.
Banyak urusan gampar-menggampar, raung-meraung. Jelas saja, aku jadi terlalu cepat dewasa, kurasa.
Banyak urusan gampar-menggampar, raung-meraung. Jelas saja, aku jadi terlalu cepat dewasa, kurasa.
“Hei,
anak kuntilanaaak!” geramnya lagi menegaskan keangkuhannya, ehm, atau
sebaliknya kedunguannya yah?
“Maaf-maaf,
dengarkan dulu perkataanku, ibunda Nenk!”
Kali ini
kusahut dengan gaya ngomong orang dewasa, lengkap dengan tolak pinggang segala.
Dia sampai terperangah.
“Aku rasa
Anda salah pengertian,” lanjutku makin merasa dewasa. Hihi.
“He,
ngomong apa?”
“Anda
yang seyogyanya mengajari anak tatakrama. Anda tahu, sejak tadi anak Anda
terus-menerus mengompori anak-anak untuk mengejek Mama aku. Dan itu dengan
kata-kata yang tidak sopan. Jujur saja, aku tidak bisa terima hal ini lagi!
Sungguh, aku tidak sudi kompromi lagi… Jadi kupilih untuk… Merdekaaa!”
Dia makin
bengong, sama bengongnya dengan anaknya yang kini makin kelihatan superduper
idiotnya.
Sempat-sempatnya aku mengacung-acungkan kedua kepalan tinju mungilku di atas kepalaku. Mirip tukang demo yang turun ke jalanan atau gerombolan di depan gerbang bangunan MPR/DPR di Senayan sana.
Sempat-sempatnya aku mengacung-acungkan kedua kepalan tinju mungilku di atas kepalaku. Mirip tukang demo yang turun ke jalanan atau gerombolan di depan gerbang bangunan MPR/DPR di Senayan sana.
Ops,
sekilas kulihat bayangan ibuku di belakang pohon bambu sana. Tapi seperti
kebiasaannya, ibuku tak pernah mau ikut campur urusan anaknya, kalau sampai
berhantam dengan anak-anak kampung.
Harus diurus oleh anak itu sendiri, demikian dalihnya.
Harus diurus oleh anak itu sendiri, demikian dalihnya.
Lagipula
buang-buang enerji, mendingan ngederekdek nulis dengan mesin ketik bututnya.
Baik, aku pun tersemangati untuk menuntaskannya!
“Jadi,
tolong, demi kenyamanan bersama,” cerocosku kembali menghadapi biangnya si
Nenk.
“Yeeeh, nih bocah….”
“Yeeeh, nih bocah….”
“Lakukan
sesuatu agar anak Anda tidak melakukan hal yang sama lagi. Karena mungkin,
apabila terjadi lagi, saya tidak bisa menjamin. Anak Anda ini akan pulang
dengan tubuh yang utuh. Nah, mohon direnungkan pidatoku yang panjang-lebar ini,
ya. Terima kasih!”
Aku membalikkan tubuh dengan gaya kerenku yang habis
manis kodeng dibanting itu.
Dan aku seketika menyadari bahwa bagaimana hebatnya pengaruh lautan kata-kata.
Ops, padahal aku salah arah, maksudku jalan yang kuambil keliru.
Dan aku seketika menyadari bahwa bagaimana hebatnya pengaruh lautan kata-kata.
Ops, padahal aku salah arah, maksudku jalan yang kuambil keliru.
Bukannya ke arah rumah malah menuju kali.
Terbukti lamat-lamat kudengar teriakan ibuku, memanggil namaku.
Terbukti lamat-lamat kudengar teriakan ibuku, memanggil namaku.
“Teeet… Siniii! Buteeet, pulaaang, Nak, Cintaaa!”
“Ah, masa
bodoh amat salah arah juga,” gumamku sambil berlalu dengan gaya si Sin Chan
habis menginjak hidung musuhnya.
Fheew,
kurasa aku merasa puas, melihat bagaimana tampang emak si Nenk.
Begitu kaget, begitu cengo-blonse.
Begitu kaget, begitu cengo-blonse.
Intinya,
aku yakin; bahwa itu menandakan semua perkataanku terlalu keren untuk dibantah.
Wuuuakakaka…
indahnya masa kecilku sejak saat itu.
@@@
manteep nian ceritanya mbak Butet.. super berani, euy!
BalasHapusButeeet gitu loooh....pikiraneun, kata Teddy Snada...
BalasHapushahaha ada anak 7th ngomong bahasa pidato... Karen! btw lanjutannya gimana? :-D
BalasHapusIbu Rima: iya, efeknya banyak baca buku atau novel terjemahan dan karya sastra. Terimakasih telah mampir ya, salam manis.
BalasHapusSaya sangat terkesan. Berkali2 baca ini tak bosan2. Adzimatinur sirega, penulis kecil yg sejak dulu saya kagumi tulisan2nya. Kini sudah seumuran. Semoga Allah selalu berkahi kelihaiannya "bercerita" :)
BalasHapuskereen bangeeet Buteettt !! topp
BalasHapusPosting Komentar