Setelah
operasi pengangkatan kista di rahim, kuputuskan membebaskan diriku dari IUD
yang memang sering bermasalah. Kalau bukan rasa nyeri di dinding rahim, tentu
menstruasiku berlebihan, tak jarang sampai dua kali dalam sebulan.
Sebulan
setelah terbebas dari kontrasepsi mendadak tanda-tanda kehamilan itu muncul.
Ya, aku dinyatakan positif hamil!
Umurku 36
tahun saat itu, limpaku membengkak dengan penyakit bawaan yang mengharuskanku
ditransfusi secara berkala. Ketika melahirkan dua anak sebelumnya, aku harus
melalui perjuangan luar biasa yang nyaris membawaku ke tangan-tangan sang maut.
“Menurut Dokter apa aku akan sanggup?” kesahku
sambil memandangnya, harap-harap cemas.
Dokter
wanita yang pernah dinas di klinik departemen suamiku itu balik memandangiku. Sorot
mata cerdas yang telah kukenal sekitar empat tahun lalu. Sepanjang hamil anak
kedua, si Butet, Dokter Laila menjadi konsulenku.
“Kita
akan melakukan rawat gabung seperti dulu…”
Tapi
sayang sekali, sejak hari itu sampai kandunganku berumur 20 minggu, kami tak
pernah bertemu kembali. Kabarnya Dokter cantik itu mengambil spesialisasi di
mancanegara. Jadi, aku harus menerima apa saja, dan bagaimana saja perlakuan
para Dokter muda lainnya. Nyaris tak ada keakraban, hanya berlalu secara
profesional dan kaku.
Minggu
demi minggu terus berlalu. Seperti empat kehamilan sebelumnya (dua keguguran)
aku menjalaninya nyaris sendirian, tak bisa mengandalkan suami yang memang
berperangai acuh tak acuh terhadap istri.
Seharusnya
aku ditransfusi secara rutin per dua minggu, demi mempertahankan takaran darah
(HB) 10 persen gram. Namun, hal itu tak bisa kulakukan, banyak kesibukan yang
menyita perhatianku. Tak punya pembantu, banting tulang sebagai ibu rumah
tangga sekaligus mencari nafkah, dan terutama harus mengurus ibu mertua.
“Kalau
bukan kita lantas siapa lagi? Bagaimana perasaanmu kalau sudah tua nanti, dan
diperlakukan buruk oleh anak-menantu?” berkata suamiku dalam nada memojokkan,
apabila aku mengeluh kelelahan.
Dari tiga
anaknya hanya suamiku yang tinggal berdekatan dengan ibu mertua. Abang tertua
sedang dinas di Jerman, adik bungsunya tinggal di kampung. Ibu mertuaku lebih
suka menempati rumah abang iparku, sekitar satu kilometer dari tempat
tinggalku. Makanannya setiap hari aku masakkan, dan diantarkan oleh Haekal
pagi, siang dan petang.
Keputusan
pisah rumah itu sendiri kuanggap bijak, daripada tinggal serumah, sangat rentan
dengan keributan, mengingat sikap antipatinya terhadap menantu Sunda.
Ibu
mertuaku 70-an, sering merasa sakit, segala macam dikeluhkan. Jadwal berobatnya
sangat ketat; Senin ke klinik jantung, Selasa ke penyakit dalam, Rabu ke saraf,
Kamis ke rematik, Jumat ke laboratorium. Bahkan tak jarang dalam satu hari
berobat ke dua-tiga klinik sekaligus.
Biasanya
hanya Sabtu dan Minggu, hari-hari tanpa aroma rumah sakit. Kalau ada hasilnya,
tentu akan menyenangkan, dan tak sia-sia harus melakoni hari-hari yang sarat
aroma obat-obatan. Kenyataannya sering membuatku gundah-gulana, nyaris putus
asa.
“Bagaimana
kalau diopname saja, ya Bou?” tawarku suatu hari, merasa sangat lelah,
terutama karena tak bisa memerhatikan kesehatan diriku sendiri.
“Apa maksud
kamu itu?”
“Kalau
diopname kan Bou bisa dirawat dengan baik. Tidak harus capek bolak-balik
ke rumah sakit tiap hari.”
“Hah!
Kalau kamu tak mau mengurusi aku yang sudah tua dan penyakitan ini, pergilah
sana!” sergahnya geram sekali, membuatku terperangah.
“Maaf,
bukan maksudku begitu…,” kucoba menjernihkan masalah.
“Biarkan
aku mati saja!” tukasnya pula sengit. “Percuma berobat terus, tak ada hasilnya
itu. Kamu juga tak pernah ikhlas mengurusi aku! Sudah, biarkan aku matiii!”
ceracaunya marah sekali, bercucuran airmata, memukuli dadanya, memelototiku
dengan sorot mata penuh kebencian.
Ya Robb,
ada yang runtuh di relung hatiku!
“Hari ini
aku harus berobat dulu, Bou. Izinkan, ya, tolong,” gumamku memelas,
meminta pengertiannya.
“Ya,
sudah, aku bilang pergi sanaaa, pergi!”
Perasaan
terpuruk, pedih dan tak berdaya membalun langkahku sepanjang hari itu. Tapi
kukuatkan juga hatiku untuk pergi ke rumah sakit, memeriksakan kandungan. Dokter
Indra terheran-heran, menatapku seolah melihat hantu di siang bolong.
“Kehamilan
lima bulan baru tiga kali datang ke sini? Lihat, Hb-nya hanya lima persen gram.
Ibu ini maunya bagaimana sih? Rawat gabung itu bukan begini caranya. Bukankah
Ibu sudah pernah melakukannya dalam dua kehamilan sebelumnya?”
Sebelumnya
aku sudah dari klinik Hematologi, Dokter memutuskan secepatnya harus
ditransfusi.
“Ibu
dirawat saja, ya,” ujar Dokter Indra selang kemudian.
Aku
terdiam di bawah tatapan pasien lain dan gugatan para koas. Tak mungkin aku
menyodorkan berbagai dalih; tak bisa berobat karena sibuk cari duit, urus rumah
tangga, antar ibu mertua bolak-balik ke rumah sakit. Nonsens!
“Maaf,
Dok, tak bisa. Aku harus pulang dulu,” kataku pelan memutuskan. Kulihat sekilas
Dokter Indra, pengganti Dokter Laila itu, hanya geleng-geleng kepala.
Rasanya
pedih hatiku setiap kali melihat ibu hamil didampingi suaminya. Diriku bagaikan
terpuruk ke jurang yang tak berbatas dan tak bertepi. Semakin terpuruk lagi,
ketika malam harinya, begitu pulang mengajar, suamiku langsung marah-marah.
Dikatakannya bahwa aku sudah berdosa besar, menantu durhaka, tak mau mengurus
mertua sakit, tak punya perasaan, egois.
“Kau ini
memang pantas dibilang si Raja Tega!”
Dia bahkan
sama sekali tak menanyakan kondisiku. Mungkin tahu pun tidak, kalau hari itu
istrinya pergi ke rumah sakit. Aku tahu, dia akan selalu menyalahkanku, apapun
yang pernah kulakukan, kelihatannya tak ada gunanya membela diri. Aku hanya
bisa berurai airmata, menangis diam-diam di atas perantian shalat, sampai
anakku Haekal menghampiri. Aku buru-buru menyusut airmata.
“Mending
Mama tetirah aja ke Cimahi, ya Ma, ya?” saran Haekal sambil memijiti
kaki-kakiku yang membengkak. “Bawa aja si Butet, Ma, gak usah sekolah dulu deh.”
“Kasihan atuh,
Bang, masa iya bolos melulu. Baru juga masuk,” sanggahku, kutatap kedua buah
hatiku dengan mata membasah.
Aku tak
ingin memerlihatkan kesedihan di depan anak-anak. Sekuat daya kutahan agar airmataku
tak jatuh. Meski hati terasa tersayat sembilu.
“Butet
gak apa-apa kok. Mau Butet antar lagi ke rumah sakit, ya Ma?”
Butet
yang semula asyik membaca buku favoritnya, cepat-cepat menghampiri, ikut sibuk
memijiti kakiku. Dia baru diterima di kelas Nol Besar. Karena sudah lancar membaca
dan menulis dalam usia tiga tahun setengah.
Butet
sering bolos, karena mengantarku ke rumah sakit. Lucu dan sangat mengharukan
memang. Kalau aku ditransfusi, Butet akan berlagak sibuk menghibur, membacakan
buku cerita, mengelus-elus tanganku, memijiti kakiku.
Dokter
dan para perawat sering terheran-heran, mengira Butetlah pasien kelainan
darah.”Soalnya di poli anak-anak sana, sekarang makin banyak saja anak-anak
yang ditransfusi,” kata dokter Made.
“Di sini
terbalik, Dok,” kata sahabatku suster Bimbingan.”Bukan anaknya yang sakit, tapi
ibunya yang ditungguin anaknya.”
Ah,
Cintaku!
Keduanya
masih kecil, tapi bagiku sudah terasakan betul bagaimana kasih sayang mereka.
Seandainya tak ada mereka, entahlah. Mungkin sejak lama aku sudah lewat. Buah hatiku itulah yang
senantiasa mengalirkan semangat, sehingga aku mampu bertahan dan berjibaku
untuk meraih ketegaran.
“Gimana,
Ma, ke Cimahi ya? Ekal telepon Oma di wartel dulu, ya Ma? Minta Oma jemput
Mama.”
“Jangan,
Nak, kasihan Oma,” bantahku cepat. “Lagian Mama harus ditransfusi. Kalau di
Bandung, kita harus bayar mahal, Nak.”
Di rumah
sakit pemerintah di Bandung, Askes buat transfusi memang harus bayar lebih
dulu, baru akan diganti sebagian beberapa bulan kemudian. Itupun tidak diganti
dengan utuh, hanya 75 persen. Sumber pencarianku saat ini, mengandalkan
honorarium cerita anak-anak. Kadang buku anak-anak karyaku dibeli juga oleh
Inpres. Ya, dari situlah sebagian besar biaya berobatku tertutupi, termasuk
keperluan pribadi lainnya.
Sementara
suami, ayah anak-anakku yang dosen itu, sibuk membangun rumah kontrakan. Takkan
sudi berbagi, karena selalu dikatakannya semuanya demi masa depan, demi masa
depan. Entah masa depan siapa. Bukankah secara logika, tak ada masa depan tanpa
pembangunan hari ini?
“Masih
bisa tahan, Mama?” Haekal mulai menangis terisak-isak diikuti adiknya.
Aku tak
menyahut, kugigit bibirku kuat-kuat agar tak menangis. Kurangkul keduanya
erat-erat, dari bibirku kualirkan semangat, cerita-cerita yang menginspirasi,
dan doa-doa yang kutemukan di benakku. Sehingga mereka tertidur bergeletakan di
sebelah-menyebelahku.
Aku masih
terus berusaha keras membendung lautan kepedihan yang setiap saat nyaris jebol,
menghancur-leburkan seluruh benteng pertahanan yang sanggup kubangun. Kadang
aku terisak perlahan sambil taktiktok menulis dengan si Denok, mesin
ketik manual yang telah menemaniku dalam semesta kata sejak muda.
Manakala
kelelahan dan kepedihan itu tak tertahankan lagi, biasanya aku segera mengambil
air wudhu dan mendirikan shalat lail. Allah, Alah, hanya Allah, kusebut nama-Mu
dalam lautan nestapaku.
Siang
itu, aku baru memesan tempat untuk ibu mertua, yang bersikeras ingin diopname
di RSUD Pasar Rebo. Sesungguhnya abang ipar dan istrinya sedang pulang ke
Indonesia. Namun, ajaibnya, Namboru lebih suka diurusi oleh menantunya yang
Sunda; suka dipelesetkannya secara sengaja sebagai si Sundal.
Aneh bin
ajaib memang, betapa sering aku dibenci, dimarahi, dilecehkan dan
disumpah-serapahi. Namun, tampaknya dia begitu tergantung kepadaku, terutama
untuk urusan rumah sakit ini.
“Kamu
lebih tahu banyak urusan rumah sakit daripada siapapun,” kilahnya.
Untuk
menghemat aku harus menggunakan bis umum. Tubuhku yang kecil berperut buncit,
terhimpit di antara para penumpang. Beberapa pelajar STM dengan pongah duduk dengan
kaki diangkat, riuh-rendah bergosip dan merokok. Banyak penumpang lelaki muda
dan kuat pun sama bersikap tak peduli, berlagak tertidur, sampai yang sungguhan
mengorok.
Inilah
warga kota Metropolitan!
Memasuki
kawasan Lenteng Agung, para penumpang mulai lengang, tapi aku masih belum
mendapatkan bangku. Sepanjang perjalanan kubalun senantisa dadaku dengan
zikrullah.
Allah,
Allah, Allah…
Sampai
sekonyong-konyong; cekiiiiit!
Mobil
mendadak direm sekuat-kuatnya.
“Allahu
Akbar!” seruku tertahan.
Dari arah
belakang tubuhku dalam sedetik oleng dan tersungkur, perutku menghantam
sandaran bangku di deretan tengah. Beeegh!
Detik
itupun ada yang bergemuruh dalam dadaku, menimbulkan rasa lemas tak teperi dari
ujung-ujung kaki hingga ujung rambut. Bahkan ketika aku sudah menggeloso, tak
satu pun penumpang yang berkenan mengulurkan tangannya.
Allah,
inikah Jakarta dan ujian-Mu!
Sesampai
di rumah, rasanya kepingin buang air kecil. Seeerrrr,
serrrr!
Tampaklah
warna memerah darah!
“Maaf,
Bu, saya gak bisa bantu, lagi demam juga nih,” kata Mpok Onah, tetangga
terdekatku saat kusambangi meminta bantuannya, menemaniku ke rumah sakit.
Rumahku
terpencil dan jauh dari tetangga lain. Haekal sudah berusaha keras menghubungi
Pak RT, Pak RW dan tokoh masyarakat sekitar rumah. Nihil!
Aku bisa memaklumi
hal ini, mungkin sekali disebabkan kepala keluarganya yang tak pernah bergaul
dengan para tetangga. Suami lebih banyak mengurung diri di kamarnya, sibuk
dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
“Bang,
cobalah pergi ke rumah Uwak,” pintaku kepada anakku Haekal.
“Maaf,
Ma, tidak ada siapa-siapa, Mama,” lapor Haekal dengan cucuran keringat dan
kecemasan mengental, sepulang dari rumah uwaknya.
“Memangnya
ke mana mereka?”
“Kata
tetangganya sih, Uwak ajak Ompung jalan-jalan.”
“Apa? Ompungmu
kan sakit? Mau diopname besok?”
“Mama
kayak gak tahu aja! Mama sih terlalu ngebela-belain. Gak inget kesehatan Mama
sendiri,” sesal anak kelas tiga SMP itu.
“Pssst,
diamlah, Nak. Kita shalat dan berdoa saja. Mari, Cinta, anak-anak Mama yang
saleh dan salehah,” tukasku yang segera dituruti oleh kedua buah hatiku.
Suamiku
baru muncul menjelang maghrib. Dia santai saja, ketika diberi tahu kemungkinan
aku akan mengalami keguguran. Dia memang tidak mengharapkannya sejak awal.
Kalau bisa dilahirkan terserah, tidak bisa pun terserah. Bila mengingat
ketakpeduliannya, adakalanya semalaman airmataku terkuras.
Allah,
hanya kepada-Mu jua hamba yang lemah ini mengadu.
“Sini,
Ma, Ekal gendong saja, ya,” Haekal lagi-lagi menawari kemudahan. Tubuhnya mulai
berbentuk, berperawakan sedang dan kekar. Dia rajin olah raga dan ikut
taekwondo.
Haekal
pasti paham betul kebiasaan ayahnya, kalau jalan bareng kami sering tertinggal
jauh di belakang. Sosok tinggi besar itu akan melenggang gagah terpisah dari
anak-anak dan istrinya. Seakan-akan dia tak suka kalau ada yang mengaitkan
dirinya denganku dan anak-anak, entahlah.
Namun
begitulah kenyataannya, entah berapa kali aku dan anakku, ketika mereka masih
kugendong, nyaris tertabrak saking repotnya aku dengan beban bawaan. Menggendong
anak, menenteng tas besar dan menjinjing mesin ketik, saat akan pulang kampung
musim lebaran.
Biasanya
bukan penghiburan yang kudapatkan bila aku nyaris celaka. makian, sumpah
serapah dan kata-kata melukai akan berhamburan dari mulutnya. Demi Tuhan,
langit dan bumi menjadi saksiku!
“Sering
aku berpikir luar biasa kamu itu, ya, Pipiet! Hebat ‘kali kau!” tentu saja
bukan pujian, melainkan ejekan dan kesinisan.
“Bisa-bisanya
kamu sebodoh itu!”
“Bagaimana
mungkin kamu menjadi seorang pengarang? Padahal begitu bodohnya kamu!”
Atau:
“Dasar gobloook!”
Dan
banyak lagi perkataan melecehkan yang hanya bisa kutelan dalam-dalam ke lubuk
jiwaku. Biarlah segala kejahiman itu terpendam dan lebur di sana , pikirku.
“Sudahlah,
naik becak saja ke depan. Sana ,
panggilkan becaknya!” perintah suami yang kurasai sangat lamban bertindak.
Sehingga aku harus menunggu, menunggu, terus menunggu. Sementara darah yang
keluar semakin banyak!
“Kenapa
gak langsung ke Cipto saja?” protesku saat kami sampai di rumah sakit Bhakti
Yudha, Sawangan.
“Terlalu
repot! Kalau bisa di sini ngapain jauh-jauh pula?” kilahnya dengan segala
kepongahan, sekaligus kikir dan sangat perhitungan.
Tentu dia
tak sudi mengeluarkan banyak uang, demi nyawa istri dan anaknya sekalipun.
Seperti sudah kuduga, mereka tak sanggup menanganiku karena pasien kronis
kelainan darah. Dokter menyarankan untuk menyewa ambulans. Bisa berakibat fatal
kalau terlalu banyak bergerak.
“Ambulans,
berapa?” otakku langsung menghitung-hitung rupiah yang harus dikeluarkan.
Demi
Tuhan, tak ada uang di tanganku lagi, karena belum sempat mengambil honor.
Kulirik gelang 10 gram yang masih membelit pergelangan tanganku. Hanya tinggal
benda ini yang berharga, semua perhiasanku telah terjual demi pembangunan rumah
di awal kepindahan kami ke Depok dulu.
“Ini
gelangku, tak mengapa kita jual saja,” kataku kepada suami yang masih termangu,
memikirkan dana pengobatan yang tak bisa ditanggulangi Askes.
“Ah,
sudahlah, itu nanti saja! Seharusnya kamu siapkan uang kalau memang mau ke
rumah sakit,” ketusnya malah menyalahkanku.
“Kan
uangku kemarin sudah habis buat ke rumah sakit juga.”
“Sudahlah!
Kita naik angkot saja!” tukasnya kaku, tanpa ekspresi sama sekali.
Wajah
perseginya di mataku telah semakin dingin, membeku. Entah ke mana larinya rasa
cinta, iba. Oh, bodohnya aku! Tehntu saja tak pernah ada istilah cinta atau iba
sekalipun di hatinya untuk diriku, ibu anak-anaknya ini!
“Naik
angkot bagaimana, Pa? Kasihan dong Mama,” Haekal sempat mencoba protes keras, airmatanya
mulai bercucuran, kentara sekali dia mencemaskan diriku.
“Jangan
banyak omong! Anak kecil tahu apa!” sergahnya memelototi Haekal.
“Sudahlah,
sudah, angkot ya angkot,” tukasku menengahi sebelum ada yang berubah pikiran.
Bagaimana
kalau lelaki itu, ayah anak-anakku itu, tiba-tiba kumat dan meninggalkan kami
begitu saja? Bulu romaku merinding hebat mengingat kekejian macam itu!
Entah
berapa kali ganti angkutan, kami berempat, Butet pun ikut, menuju RSCM. Pukul
delapan, akhirnya sampailah kami di Unit Gawat Darurat. Perasaan dan pikiranku
sudah melayang-layang tak karuan, sementara darah terus juga mengocor. Hanya
karena kasih-Nya jualah kalau aku masih bisa bertahan sejauh itu.
“Tolong,
jaga adikmu, ya Nak. Telepon Oma, ya,” pesanku wanti-wanti, sebelum memasuki
ruang perawatan.
Haekal
mengangguk, airmatanya sudah bercampur dengan ingus, tapi ditahannya sedemikian
rupa. Dia pasti lebih menakutkan kemarahan ayahnya dari apapun. Aku melengos,
tak tahan melihat nestapanya. Kuraih putriku, kupeluk tubuhnya yang kecil dan
kuciumi pipi-pipinya yang halus bak sutra.
“Butet,
Cinta, jangan rewel ya Nak. Harus mau Makan yang banyak, Cinta.”
“Iya, Ma.
Butet janji gak bakal nyusahin Abang,” sahutnya sambil bercucuran airmata.
“Doakan
Mama, ya anak-anak. Doa seorang anak akan dimakbulkan Allah.”
“Iya Ma,
didoakan!” jawab keduanya serempak.
Kupandangi
terus kedua belahan jiwaku itu, hingga brankarku didorong masuk ruang tindakan,
sosok mereka pun lenyap dari pandanganku. Dunia luar telah tertinggal di
belakangku, giliranku berhadapan dengan segala keputusan medis.
Demi
nama-Mu, ya Allah, jeritku hanya mengawang dalam hati. Aku lebih memikirkan
anak-anak daripada kondisiku sendiri.
Sekitar
pukul sebelas malam, setelah melalui pemeriksaan ini dan itu; rahim diperiksa,
diubek-ubek, di-USG dan memang janin tak tertolong lagi.
“Kami pasang
transfusi dan infus, ya Bu….”
“Kami
pasang selang di rahimnya, ya Bu….”
“Biar
janinnya mengecil dan mudah dikeluarkan….”
“Operasinya
bisa ditunda, lusa, hari Senin!”
Begitu
sibuk perawat dan Dokter di sekitarku. Suara-suara berseliweran, mengambil
pilihan dan memutuskan, mengapa mereka nyaris tak melibatkan diriku? Sementara
itu, suami memilih pulang dengan dalih kasihan Butet, dan Haekal akan ulangan.
Bagaimana
kalau aku mati? Siapa yang akan mengabari kematianku kepada keluargaku? Ya
Robb, jauhkan segala pikiran pesimis itu, jeritku mengambah langit dan bumi
yang selama ini senantiasa menjadi saksi lakon dan takdirku.
“Siapa
yang akan mengambil darah ke PMI Pusat?” tanyaku kepadanya, saat dia diizinkan
menemuiku di ruang ICU sebelum berlalu.
“Aku
sudah mengupah orang untuk mengambilnya jam satu nanti,” jawabnya dingin
sekali. Seperti biasanya dia tak pernah berani membalas tatapan mataku, malah
terkesan lebih suka dilayangkan ke segala sudut dengan liarnya.
Aku tak
berkomentar lagi. Sepanjang malam itu mataku nyaris tak terpicing. Pendarahan
memang telah berhenti, tapi ada yang terus berdarah, berdarah, berdarah, dan
luka itu tak kunjung sembuh, jauh di lubuk hatiku.
Senin
pagi aku didorong ke ruang operasi untuk dikuret. Sosok itu ternyata sudah ada
di lorong, dan ikut mengantarku sampai OK, demikian istilahnya untuk ruang
bedah di RSCM.
“Terima
kasih sudah datang,” kataku dengan rasa bersyukur.”Di mana anak-anak?”
“Si
Haekal mulai ujian semester. Butet ditemani Oma dia. Nanti mereka akan ke sini
juga, besuk kamu,” jelasnya terdengar agak ramah.
Belakangan
baru kutahu, hatta, dia dimarahi oleh abangnya. Bahkan diingatkan, kondisi
istrinya ini akibat kelalaiannya kurang memerhatikan. Mungkin ada juga rasa
bersalah abang ipar atas kondisi yang harus kulakoni ini. Intinya, mereka takut
disalahkan jika terjadi sesuatu atas diriku. Mati di ruang operasi, umpamanya.
“Ibu
sudah selesai dikuret, sudah bersih, ya. Bahkan myoma Ibu juga sudah ikut
dibersihkan,” berkata seorang dokter muda ketika aku siuman.
“Oya,
kista itu, ya, Dokter, syukurlah,” ujarku agak terkejut. Baru kuingat kembali
dokter kandungan beberapa bulan lalu mengatakan bahwa ada kista yang telah
berubah menjadi myoma di rahimku.
Setelah
semuanya berlalu, kupandangi langit dari balkon lantai tiga tempatku dirawat.
Bintang-bintang masih kemerlip di langitku. Seribu, selaksa, niscaya lebih
lagi. Namun bagiku, ada dua bintang cemerlang di langitku, yakni dua buah
hatiku. Di bahu anak-anakku, di dalam sorot bening mata buah hatiku, kutemukan
kekuatan yang maha dahsyat.
Nun di
atas sana ,
masih ada kerlip lain dengan nuansa dan binar-binar kasih-Nya yang selalu
menerangi kalbuku. Aku yakin dengan sepenuh jiwa-raga dan imanku.
Ya Allah,
hamba masih ingin bertawakal, menjadi hamba-Mu yang tegar dan istiqomah.
Dua bulan
kemudian aku kembali ke bagian kandungan karena tidak mengalami haid seperti
biasanya. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium, termasuk
papsmear. Diberikannya pula beberapa obat dan vitamin. Sebulan, dua, bulan,
hingga akhir tahun itu, aku tak jua mendapatkan haid.
“Apakah
ada kaitannya dengan penyakit kelainan darahku, ya Dok?” pancingku.
“Hmm,
sepertinya demikian.”
“Maksud
Anda, saya sudah, ehm….”
“Ya,
kemungkinan sekali Ibu sudah mengalami menopause dini.”
Umur 36
menginjak 37, dan aku telah memasuki masa menopause. Apakah harus dirisaukan,
sebagaimana wanita-wanita Barat begitu heboh, seperti yang kubaca di buku-buku?
Tidak,
aku harus berdamai, menerima kondisi ini apa adanya, legawa saja. Bagaimana
tidak, dua kali diriku pernah mengalami kondisi incoma, umur 17 dan 25, para dokter seakan mengisyaratkan diriku
tidak punya harapan hidup.
Kenyataannya
aku masih mampu melahirkan secara normal. Bukankah itu keajaiban? Ya, aku
menganggapnya demikian. Sesuatu yang harus aku terima dan lebih banyak lagi
bersyukur.
@@@
Posting Komentar