Ilustrasi: Mama dan Aku
Judul Asli: Lagi-Lagi Tentang Dia
Ia datang ke rumah siang tadi. Dengan gaya bicaranya yang khas dan kaku, ia tanya kabarku. Jauh-jauh dari Depok, dari rumah luasnya yang hanya berisikan dirinya sendiri itu.
Ketika pulang, berkali-kali ia meyakinkanku untuk
kembali bersamanya.
“Kamarmu masih belum aku tempati, Tet.”
Aku tahu kita sama-sama sesak oleh airmata. Aku diam
termangu. Tahu bila kubuka mulut, bisa
bobol sudah airmataku.
“Aku terus tunggu. Tunggu kau pulang,” ujarnya.
Ah, Papa. Rumah luas yang semakin kau perluas dengan seluruh dana pensiunmu demi aku itu muncul di bayangan. Siksaan rasa bersalah lagi-lagi datang mendera. Maafkan aku yang dulu sempat janjikan akan menjagamu di masa tua.
Mana aku tahu kau akan pergi tinggalkan wanita tua yang kupanggil Mama?
Mana terbesit di bayanganku, kita akan sejauh ini,
padahal biasanya tiap Sabtu-Minggu, sejak punya mobil, kita berkelana entah
kemana buang penat dan harta.
Mana aku tahu, kini kau justru memandangiku dengan mata
merah kesepian, tubuh yang dulu tegap kini mulai merunduk ringkih dan terbatuk.
Mana aku tahu skizophreniamu akan semakin menjadi-jadi
menunggangi kewarasanmu?
Kulirik sekilas tubuh tipismu yang dulu gagah, kerap memanggul aku di bahu.
Seketika aku aku rindu memasakkanmu sesuatu. Masakan
sederhanaku yang seringkali asin dan tak karuan, selalu kau makan dengan lahap
penuh terima kasih.
Aku rindu komunikasi terbata-batamu, karena memang kau
seperti aku, serba salah kalau harus buka mulut.
Aku rindu padamu, Papa.
Maaf, hanya mampu menulis dengan uraian airmata sehabis
mengantarmu ke pintu dengan gagahnya. Kadang aku merasa sungguh seperti dirimu,
berwatak batu, berwajah Batak namun berhati tahu.
Ingin kupeluk kau sambil menangis. Tapi bersentuhan saja
kita cuma setahun sekali kala kucium tanganmu setiap Lebaran. Ingin kuungkapkan
betapa kusayang padamu, tapi ragu aku akan pedulimu.
Tercekat. Sesak dengan gumpalan perasaan yang terlalu membanjiri tenggorokan dan mataku. Ingin kubuncahkan dengan bicara tapi kita sama-sama tahu, acapkali mulutku selalu pedas dan tajam di hadapanmu.
Tercekat. Sesak dengan gumpalan perasaan yang terlalu membanjiri tenggorokan dan mataku. Ingin kubuncahkan dengan bicara tapi kita sama-sama tahu, acapkali mulutku selalu pedas dan tajam di hadapanmu.
Maka kutulis. di tempat yang kau tak mengerti: dunia maya. Kuceritakan pada mereka yang tak mengenal dan peduli padamu. Ah, apa gunanya. Tetapi setidaknya ada asa; semoga kau bisa tahu kelak sebelum terlambat. (Adzimattinur Siregar, Desember 2012)
Posting Komentar