Ilustrasi: Ditransfusi secara berkala seumur hidup
Suatu kali kudapati Butet menangis sesenggukan di sudut teras.
“Kenapa, Nak, kok nangis gak ngajak-ngajak?” kataku mencoba
menggodanya.
“Sekarang Butet gak punya temen lagi, Ma…”
“Kenapa memangnya, teman-temanmu gak mau main ke sini?”
“Iya, tadi waktu Butet ke rumah Nenk, hm, ibunya bilang; jangan
maen di rumah Butet, itu mah sarang penyakit. Ibunya Butet itu kan punya
penyakit kutukan, katanya. Nanti menular, nanti ikutan dikutuk… Hikkksss!”
Ya Allah, mengapa ada orang seperti ibu si Nenk itu, ya? Dia
memang sudah terkenal tukang penyebar gosip, biang keributan antar ibu-ibu di
kampung Cikumpa. Apa salahku kepadanya sampai begitu tinggi kadar kebenciannya
terhadapku dan anakku?
“Ya sudah, sekarang Butet main di rumah saja dengan Mama, ya Nak?”
bujukku sambil menghampar tikar di lantai, mengangkut kotak buku bacaan dan
mainannya.
Sesungguhnya lebih banyak buku cerita yang dimilikinya daripada
boneka atau mainan lainnya. Lama kelamaan Butet pun lebih menyukai buku bacaan
daripada mainan, kecuali puzle-puzle favoritnya yang masih dikoleksi.
“Kita buktikan saja kepada mereka, ya Nak, bahwa kita bisa
berprestasi, meskipun kamu punya ibu penyakitan…”
“Iya Mama, tapi Mama bukan dikutuk kan?”
“Pssst, gak ada penyakit kutukan!”
Beberapa saat lamanya Butet nyaris tak peduli lagi apakah dirinya
punya teman atau tidak di sekitar rumahnya. Sampai teman-temannya, termasuk si
Nenk itu, bermain kembali ke rumah.
Mereka ingin ikut menikmati koleksi buku
bacaan Butet agaknya. Butet boleh bangga, hanya dialah yang memiliki koleksi
buku sekeren dan sebanyak itu di kampungnya.
Kutahu Butet disayang para guru dan disukai teman-temannya di
sekolah. Peringkatnya tak pernah bergeser dari tiga besar. Sejak kelas tiga SD,
Butet pun sudah kumasukkan les bahasa Inggris.
ga ada lanjutannya lagi mba?atau memang beresnya segini aja?
BalasHapusAh.. terharu
BalasHapusPosting Komentar