Ilustrasi: Butet dengan suami
Saat
duduk di bangku kelas satu SMP, Butet diminta ikut bermain sinetron oleh Asma
Nadia. Bukan sinetron berat, ini hanyalah serial kisah teladan berdurasi 15
menit, tapi pengantarnya Aa Gym. Kalau tak salah, skenarionya dibuat oleh Asma
Nadia dan seorang temannya.
“Kalau
merasa terpaksa, jangan ikutan, ya,” kataku sejak awal mewanti-wanti Butet.
“Butet
mau karena keinginan sendiri kok, Ma,” ujarnya semangat sekali.
Ketika
itu aku belum tahu kalau Butet diam-diam telah mengirimkan tulisan-tulisannya
ke majalah Annida, dan penerbit Gema Insani. Dia melakukannya karena tak ingin
mendompleng namaku di dunia kepenulisan.
Sementara karya-karyaku sudah banyak diterbitkan di berbagai penerbit Islam. Namaku kembali berkibar setelah sepuluh tahun vakum dari dunia penerbitan. Ini pun tak lepas berkat ngelink dengan Forum Lingkar Pena.
Sementara karya-karyaku sudah banyak diterbitkan di berbagai penerbit Islam. Namaku kembali berkibar setelah sepuluh tahun vakum dari dunia penerbitan. Ini pun tak lepas berkat ngelink dengan Forum Lingkar Pena.
Bila
teman-temannya diantar oleh orang tua, tidak demikian Butet. Kukatakan kepada
Asma Nadia bahwa aku sangat sibuk menulis, dikejar tenggat. Ketika itu aku
membantunya menjadi editor untuk penerbitan FBA yang dipegangnya.
“Iya
Mbak, tidak apa-apa, biar Asma saja yang mengawasi,” janji penulis fenomenal,
peraih Adikarya dari Forum Lingkar Pena yang sangat produktif itu.
Aku
takkan melupakan kebaikan Asma Nadia yang sering memberiku dukungan di kala
diriku dalam kesulitan. Hubungan kami saat itu sangat dekat, sebab sering
jumpa, mendiskusikan penyuntingan.
Acapkali kami pun saling curhatan sebagai sesama ibu, sesama perempuan. Tidak heranlah jika Asma Nadia tahu pula, bagaimana situasi dan kondisi rumah tangga yang harus kuhadapi.
Acapkali kami pun saling curhatan sebagai sesama ibu, sesama perempuan. Tidak heranlah jika Asma Nadia tahu pula, bagaimana situasi dan kondisi rumah tangga yang harus kuhadapi.
“Hhhh…
duuh, Mbak, aku jadi gemes nih dengerinnya!”
“Ternyata
ada lelaki model begitu, ya Mbak. Kirain cuma ada di sinetron-sinetron saja.”
“Tidak
kebayang! Kalau aku harus melakoni kehidupan rumah tangga macam Mbak, aduuuh,
sori saja!”
Kukatakan
kepadanya bahwa bila aku masih mampu bertahan sejauh itu, semuanya demi
anak-anak.
Asma akan
membantahnya, berusaha meluruskan jalan pikiranku dan melontarkan pertanyaan;
“Apa anak-anak suka diperlakukan begitu?”
Aku hanya
tersenyum kecut, memilih untuk mengakhiri percakapan yang menjadi panas itu.
Sebelum jumpa dengan Asma Nadia atau Helvy Tiana Rosa, dengan segala
kenaifanku, aku berpikir bahwa para suami kebanyakan seperti bapaknya
anak-anak.
Maka, aku
pun terperangah tatkala melihat Mas Tomi, suami HTR, begitu santun, begitu
rendah hati dan setianya, sepanjang hari menanti sang istri memimpin rapat
pengurus Forum Lingkar Pena.
Aku
menanti dengan gelisah di ruang tamu. Haekal sudah sejak tadi pulang kuliah,
dan pamitan untuk menjemput Seli. Saat itu mereka belum sepenuhnya serumah.
Haekal masih tinggal bersama kami. Seli pun tinggal bersama keluarganya di
Kukusan.
Kulirik
jam dinding, ini sudah lewat isya, padahal janjinya hanya sampai pukul dua
siang. Sebelumnya Butet sudah dijemput pagi sekali, kebetulan ini hari Minggu.
Asma Nadia tiba-tiba meneleponku, minta maaf dan mengabarkan kepulangan Butet
telat dari jadwal.
“Apa sih
yang membuat kamu begitu bersikeras membiarkan si Butet kerja pada teman kamu
itu?” tegur bapaknya anak-anak, terdengar sinis dan menikam hati.
Aku
memilih tidak menyahutinya dan bergegas masuk kamar. Kami sedang saling
mendiamkan. Kemarin telah terjadi lagi kekerasan yang mengakibatkan lutut
kakiku terdengar berderak, mungkin ada yang patah, entahlah. Yang jelas aku tak
bisa sholat dengan benar, sebelah kakiku terpaksa harus diselunjurkan. Intinya
aku tak bisa sujud dengan tumaninah, dan itu ternyata harus kulakoni selama
enam bulan.
“Kaki
Mama kenapa?” selidik Haekal saat kembali bersama Seli, melihat aku jalan
terpincang-pincang.
“Tidak
apa-apa, Bang, tidak apa-apa,” sahutku menghindar.
“Katanya,
Butet syuting, ya Bu?” tanya Seli.
“Iya
Neng, disajak Mbak Asma.”
“Sudah
jam delapan nih, Ma, apa mau Abang jemput?” Haekal pun mulai tampak gelisah.
“Tidak
usah, Bang, barusan Mbak Asma bilang lagi di jalan.”
Ini
pertama kalinya kami membiarkan Butet pergi sendirian. Tapi aku percaya,
putriku akan baik-baik saja. Bukankah ada saudariku yang mengawasinya?
Akhirnya,
pukul sepuluh malam!
Pintu
digedor dengan hebohnya dari luar. Begitu pintu dibukakan Butet langsung
menghambur ke arahku, memelukku erat-erat dan meracau heboh sekali.
“Mama,
dengar ya Ma! Butet sayang Mama, sayaaang banget. Jadi Mama jangan menyiksa
diri lagi, ya Ma sayang. Mama harus bahagia, haruuus!
Butet bisa kerja kok buat Mama. Kita bisa hidup mandiri. Bener ya Ma, jangan siksa lahir dan batin Mama lagi. Jangan bilang semuanya demi anak-anak, jangaaan….”
Butet bisa kerja kok buat Mama. Kita bisa hidup mandiri. Bener ya Ma, jangan siksa lahir dan batin Mama lagi. Jangan bilang semuanya demi anak-anak, jangaaan….”
Haekal
dan Seli bergabung, kami berkumpul di ruang tamu, mengerumuni Butet yang
membongkar kantong belanjaannya. Itulah pertama kalinya Butet punya uang
sendiri, langsung dibelanjakan makanan dan minuman di Indomaret untuk kami
sekeluarga.
“Seratus
ribu, Bang, jadi pemeran pembantu tuh,” celoteh Butet dengan sukacita dan
bangga, meskipun kelelahan sangat menggurat di wajahnya. “Kata Mbak Asma,
minggu depan Butet dapat peran tokoh utama. Ini skenarionya biar dihafalin sama
Butet. Nah, katanya, honornya bisa dua kali lipat, doain ya, Mama. Butet serius
sayang banget sama Mama, mmmuuuaaa!”
Malam
itu, sebelum tidur, aku dan Butet sekamar, kudengar omongannya yang Asma Nadia
sekali. Bersemangat, enerjik, menginspirasi, presentatif dan Tianshi banget.
Hehe.
Nah,
simak saja omongannya kali ini, Sodara.
“Mari
kita bicara sebagai sesama wanita…”
“Mama
itu sosok yang hebat, mandiri dan perkasa…”
“Jangan
biarkan diri Mama menghamba terus kepada orang yang tak pernah menghargai
pengabdian Mama…”
“Kata
Mama demi anak-anak? Jangan pernah bilang begitu, jangan pernah mengatasnamakan
anak-anak lagi…”
“Butet
lebih suka Mama bahagia demi diri Mama sendiri…”
“Coba
bayangkan, berapa lama kita diberi waktu oleh Tuhan? Sebentar saja, jadi
nikmati saja waktu yang sedikit itu…”
“Sebagai
seorang pengarang Mama ini sudah punya nama. Mama bisa melakukan apapun demi
kebahagiaan sendiri…”
“Mama
bisa keliling dunia dengan buku…”
“Tinggalkan
segala penderitaan ini dan raih kebahagiaan Mama sendiri!”
Aku
hanya mengaminkannya di dalam hati. Kubiarkan Butet terus mengoceh dengan
semangat gendernya. Luar biasa, pikirku, hanya beberapa jam bersama Asma Nadia.
Dan putriku, usianya baru sebelas tahun, gadis kecilku yang suka menggigiti kuku-kuku jarinya, telah berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Dia tampak seperti orang dewasa, penuh percaya diri, tapi ada kesan sinis di dalamnya.
Dan putriku, usianya baru sebelas tahun, gadis kecilku yang suka menggigiti kuku-kuku jarinya, telah berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Dia tampak seperti orang dewasa, penuh percaya diri, tapi ada kesan sinis di dalamnya.
Duhai,
Cintaku!
Tidak,
untuk sementara aku merasa tidak terganggu. Sebaliknya aku harus bersyukur
memiliki saudari seperti Asma Nadia. Melalui dia putriku bisa memandang sosok
ibunya lebih jelas lagi, seperti dari kacamata sesama wanita.
Beberapa
saat lamanya Butet seperti menghindari ayahnya. Bahkan terkesan menjadi
antipati. Ini yang membuatku merasa tak nyaman. Jadi, begitu aku merasa sudah
waktunya untuk bicara serius, kusajak Butet jalan bareng. Kebetulan aku baru
mendapat royalti yang lumayan besar nominalnya.
Kami menikmati keberduaan ini sambil belanja di Mal, berujung di Pizza Hut dan kubiarkan putriku melepaskan semua uneg-unegnya.
Kami menikmati keberduaan ini sambil belanja di Mal, berujung di Pizza Hut dan kubiarkan putriku melepaskan semua uneg-unegnya.
Sambil
menanti kedatangan Haekal dan Seli untuk bergabung, kami pun mulai membahas ini
dan itu.
“Mama
senang Butet merasa bahagia hari ini,” ujarku seraya mengelus pipi-pipinya yang
chubby alias tembam seperti pipi bayi.
“Mama
juga bahagia kan hari ini?”
“Tentu
saja, tapi lebih bahagia lagi kalau tidak ada benci di hati kita.”
“Memangnya
Mama tidak pernah punya rasa benci sama Papa?”
“Pernah
sih, namanya juga manusia. Tiba-tiba dipukuli, tanpa tahu apa salah Mama,
diperlakukan tak senonoh, dilecehkan. Siapa sih yang tidak jadi benci?”
“Makanya!”
seru Butet. “Kenapa Mama masih bertahan saja?”
“Ada
yang harus diperbaiki,” tukasku memintas omongannya. “Iya, Mama tahu, sekarang
bukan demi anak-anak lagi. Kalau dijelaskan sekarang Butet pasti tidak mau
terima. Tapi kelak, percayalah, Butet akan berterima kasih kepada Mama atas
keputusan ini.”
“Butet
tidak ngerti pikiran Mama. Sekarang apa mau Mama?”
“Kelak,
kamu akan paham, tak mengapa semuanya memang berproses. Satu hal yang Mama
minta darimu, jangan pernah ada benci di hatimu, itu sungguh neraka, Nak.
Urusan Mama dengan Papa biarlah kami yang selesaikan, oke?”
“Ah,
sudahlah, Butet tidak mau denger lagi,” tukasnya dengan bibir merengut.
“Terserah bagaimana maunya Mama sajalah.”
Beberapa
jenak tak ada yang berkata-kata lagi.
“Nah,
itu Abang sama Teh Seli, wooooi! Siniii!” seru Butet memecah hening yang
merejam di antara kami.
Sejak
saat itu Butet lebih banyak menarik diri, bersikap tak peduli, jika terdengar
pertengkaran di rumah. Aku pun berusaha keras menjauhkannya dari situasi macam
neraka. Hingga Haekal memutuskan mengajak Seli tinggal di rumah kami.
“Abang
berusaha terus melindungi Mama, tapi sampai kapan, Ma?” cetusnya suatu ketika.
Tidak
kujawab sebab memang tak tahu harus bagaimana menjawabnya.
@@@
Posting Komentar