Sejak kecil aku sudah tahu, Mama punya
masalah dengan kesehatan. Pernah aku mengira, Mama itu punya penyakit kuning.
Sebab sering kulihat Mama menguning. Kulitnya, matanya sampai ke kuku-kukunya.
Untunglah, giginya tidak ikutan kuning.
Kasihan Mama, ya? Ops, jangan kasihani
Mama. Meskipun masih banyak yang bermasalah dalam hidupnya. Mama pantang dikasihani.
Kepinginnya sih disayangi dan dihargai.
Sejak
kecil aku kira wajar saja loh, kalau Mama ditransfusi tiap dua bulan sekali.
Aku kira semua anak juga ikutan nyokapnya kok ke rumah sakit. Melihat dia
diperiksa di laborat, terus antri darah di PMI. Besoknya baru ditransfusi, sama
ngantri dan belibetnya macam kemarinnya.
Dan
aku kira, semua anak juga nontonin ibunya dilemparin kaca oleh bapaknya. Sampai
berdarah-darah. Lengkap dengan tiap serpihannya yang menempel (sepertinya sih!)
sampai sekarang di sudut matanya.
Aku
kira, anak lain juga macam aku, meringkuk ketakutan setengah mati di belakang
lemari. Kadang sambil mencekik leher dengan sebuah selendang, berharap mati. Terus
bergumam sendiri: “Mati, mati, mati…”
Biar semua orang bisa bahagia tanpa
perlu bertengkar lagi karena aku. Aku sering merasa, keributan besar terjadi
karena kenakalanku.
Aku
kira, semua anak juga pernah merasa macam gini: terbuang. Tidak disayang. Semua
orang hidup dengan dunianya sendiri. Meninggalkanku yang sibuk mengejar mereka
dengan kaki-kaki kecil ini.
Pertama
kali aku kepingin sekali mati, ngilang dari muka bumi ini. Waktu aku lihat
dengan mata kepalaku sendiri. Mamaku berjongkok melindungi dirinya, sementara
Papa dengan liarnya menendangi tubuh Mama. Kala itu, Mama dengan susah payah
merangkak menuju keluar rumah.
“Pergi
sana Bang,
pergilah…jangan jadi jagoan… Nanti kita ketemu di mesjid, ya Nak, pergilah,”
usir Mama kepada abangku yang sempat memasang badan, menerima setiap pukulan
yang akan menimpa tubuh Mama.
Tapi yang terjadi malah semakin parah!
Aku
tidak terlalu ingat penyebab amuk bokapku ketika itu. Aku menyangka karena kenakalanku.
Tapi aku akan selalu ingat darahnya. Tiap tetesnya. Tiap rintihan mohon ampun
yang keluar dari bibir Mama di sela-sela takbirnya.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Allahu Akbaaar!”
Sejak
itu aku membenci diriku sendiri. Karena aku tidak bisa berbuat apapun. Bahkan
sekadar membela Mama yang kusayang, aduuuh, aku benciiii!
Papa
tidak menyentuhku. Tidak sesering dia memukul Abang atau Mama. Kecuali ketika
dia memaksaku untuk makan. Kadang dia membawa ranting bambu untuk menyabetku.
Kalau
aku tidak menghabiskan nasi plus sayur bayam (satu piring metung!) yang bikin
aku trauma banget sama bayam sampai sekarang!
Kadang,
dia juga menyabetku sambil membentakku kalau aku ngucapin kata-kata yang buat
dia pantang disebut oleh kami, satu rumah.
Seperti; ayam, burung, onta, gajah,
jerapah, unyil.
Woaaa! Aku tidak mengerti kenapa tidak
boleh diucapin!
Mama bilang, Papa sakit, ya, tapi
sakit apa? Kenapa Papa begitu gampang curiga? Gampang ngamuk? Sepertinya, semua
orang yang ngsajak bicara sama Mama… langsung dicurigai!
Pernah,
sekali waktu Mama melakukan satu kesalahan kecil. Gara-gara mengomeliku dengan
kalimat; “Iiih, nih anak, dasar kucriiit!”
Tiba-tiba Papa membanting sebuah kaca
besar ke kepala Mama. Aku masih SD dan berbadan kecil. Abang selalu berpesan
sebelum pergi sekolah.
“Butet harus lindungin Mama. Apapun
yang terjadi, oke Dek?”
Seketika
dengan tubuh cekingku merangsek maju, menghadang Papa dengan satu cara: aku
menggigit kakinya yang besar. Tahu tidak sih? Aku seketika melayang ke udara;
puuuung, serius terbang, meeen!
Yeah, tidak benar-benar terbang sih.
Dia cuma menendangku jauh-jauh, sampai aku menghantam ujung tembok. Seluruh
tubuhku (kalau rambut bisa patah, gue yakin, dia bakal ikutan) serasa patah.
Untunglah,
gigitanku membuahkan hasil. Papa sibuk selama beberapa detik. Saat itulah Abang
pulang sekolah, tanpa babibu lagi langsung mengambil alih. Untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku melihat wajah Abang yang jail, lucu dan baik itu
berubah. Geram, marah dan penuh benci!
“Jangan
pernah sentuh Mama, kriminaaal!”
Abang
pun menggunakan jurus taekwondonya; hiaaaaat!
Sampai sekarang aku masih belum mengerti,
kenapa Abang bisa sekeren itu, ya? Terus, Abang ‘mengunci’ Papa. Sampai Papa tidak
bisa bergerak. Sebagai catatan; badan Papa tuh gede banget dan kuaaaat!
Lalu satu hal superkeren yang bikin
aku langsung bertekad untuk memuja Abang selamanya: Dia melempar Papa hingga
terbang.
Sumpah mati!
Papa terbang dengan sekali lempar ke
ruangan lain. Pokoknya jauh banget!
Kemudian,
Abang mengangkut Mama yang bersimbah darah. Suer, ini bukan buku silat, men! Tapi
kenyataan yang sama sekali tidak dihiperbola. Sementara aku buru-buru mengintil
dengan kaki pincang-pincang.
Tahu
tidak, apa yang Mama katakan beberapa jam kemudian di kamarnya?
“Ini salah Mama barangkali, ya
anak-anak. Papa kalian bermasalah, lagi sakit parah, semacam depresi, paranoid.
Mungkin skizoprenia? Tolong ya, anak-anak yang saleh dan salehah. Kita harus
memaklumi kelakuan Papa kalian.”
Mama,
Mama, ibuku tercinta; aaargggghhh! (Adzimattinur Siregar, ditulis saat umur 14 tahun)
@@@
Astaghfirullah T.T
BalasHapusAndai ini hanya fiksi... :(
subhanallah.... disaat dianiaya pun masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri terhadap suaminya, setiap pasangan itu pakaian satu sama lain, saling melindungi, istri yg shalihah, luar biasa!
BalasHapusIni tulisan non-fiksi mbak Butet umur 14 tahun? super sekali, mbak.. sangat bertenaga!
BalasHapusPosting Komentar