Ilustrasi: Rumah ini dijual untuk dana pengobatanku, Bojonggede
(Satu)
Palu Hakim telah diketok
beberapa menit yang silam. Saatnya bangkit, meninggalkan ruang sidang yang
hanya dihadiri empat orang, tidak termasuk Hakim, Wakil Hakim dan dua
paniteranya.
“Ayo, Teh Astri,” ajak Ros, menyambanginya
dari bangku belakang.
“Ya, sebentar,” bisik Astri,
perempuan berumur 55 yang mengenakan gamis dan jilbab serba ungu itu.
Tanpa disadari matanya
melirik ke arah bangku depan yang sebaris dengan bangkunya, tetapi terhalang
beberapa ubin.
Lihatlah!
Begitu pongah dan jumawa
mereka, pasangan kasmaran itu, yang lelaki adalah mantan suaminya. Kini resmi
sudah ia bercerai dengan lelaki bertampang persegi, sebentuk bibir khas yang meleretkan
senyum sinis dan melecehkan selalu diarahkan kepada dirinya.
Setidaknya demikianlah
menurut perasaannya, sejak pagi tadi mereka jumpa di pekarangan Pengadilan Agama.
Astri takkan pernah lupa,
bagaimana lelaki itu mengendarai mobilnya dengan gagah bersama pasangannya
kini. Ya, mobil yang pernah dibelinya dengan susah payah, dicicil per bulan selama
empat tahun sampai lunas.
Mobil yang pernah nyaris menabrak dirinya dua bulan
yang lalu, saat ia hendak mengambil dokumen yang tertinggal di ruang kerjanya.
Saat itulah ia melihat sosok
centil untuk pertama kalinya begitu leluasa berada di rumah itu. Rumah mereka,
tempat lebih dari separuh hayatnya diabdikan demi keluarga kecilnya; dirinya,
lelaki itu dan dua buah hati mereka.
Sepanjang
perkawinan mereka, 32 tahun, seingatnya tak pernah tampak rasa bahagia dan
bangga lelaki itu terhadap dirinya. Sejak awal pernikahan mereka, hanya sesal
dan sumpah-serapah belaka yang mendesir di telinganya.
“Aku tidak akan pernah
menikahimu, andaikan kamu bukan seorang penulis!” Demikian terngiang kembali
pernyataannya, saat pertengkaran mula kalinya pada pekan pertama pernikahan
mereka.
Sesungguhnya bukan
pertengkaran, tepatnya, caci-maki lelaki itu terhadap dirinya jika hatinya
sedang tak berkenan.
Malangnya, untuk hari-hari selanjutnya pun hati lelaki itu
yang entah terbuat dari apakah gerangan, lebih banyak tidak berkenan daripada
sukacitanya.
“Kamu harus bantu aku untuk
menjadi seorang penulis terkenal, seperti drimu! Ingat itu!” dengusnya satu
kali dalam nada penuh ancaman.
Astri terpelongoh, sesaat
kemudian ia hanya bisa menyahut: “Aku akan mengusahakannya, tetapi semuanya
terserah kepadamu. Karena dirimulah yang melahirkan karya, bukan aku.”
Lelaki itu merasa dirinya
memiliki bakat untuk menjadi seorang sastrawan besar. Namun, kenyataannya tidak
demikian, karya-karya yang dilahirkannya tidak diminati masyarakat luas.
Seorang editor
mengatakan, bahasanya ketinggalan zaman, terlalu banyak bunga-bunga bahasa yang
susah dipahami masyarakat literasi. Lagipula, tema yang diangkatnya melulu
urusan syahwat.
Manakala obsesinya tak
terwujud, maka segalanya menjadi berubah drastis. Ada saja kesalahan yang akan
menyeret dirinya menjadi bulan-bulanan tinju, kepalan atau tendangan kuatnya.
Bahkan tak ada kesalahan
pun, lelaki itu selalu mencari-cari kelemahannya, agar dia bisa melampiaskan
angkara yang seolah tak mengenal istilah berakhir.
Seketika Astri merasa ada
yang menggamit lengannya, kemudian berbisik seperti mengingatkannya.”Sudahlah,
Teteh, ikhlaskan semuanya, ya…”
“Tapi rumah, tanah, dan mobil itu juga milikku!” desisnya
menahan kepedihan yang mendadak mencuat, menggelombang dan menggelegak dalam dadanya.”Seharusnya ada pembagian harta
gono-gini. Ya, ini tidak adil!”
“Pssst, Teteh, bukankah
sudah diserahkan urusannya kepada Butet? Biarlah Butet yang akan menyelesaikannya.”
“Tetap saja, sungguh tidak
adil!” geramnya tak tahan lagi.
Lelaki itu mulai beranjak
melangkah menuju pintu, Hakim beserta rekan-rekannya pun telah menghilang dari
ruang sidang. Tiba-tiba ia merandek dan bersikap menantangnya.
”Kita sudah bercerai resmi!
Apa mau kau itu, he, perempuan jelek!” sergah sosok jumawa itu, sungguh
terdengar bagaikan bom yang berdenyar di telinganya.
“Teteh, istighfar, ya, ayo,
kita pulang,” ajak Ros, adiknya yang telah lama menjanda, dan nyaris saja
diperkosa oleh lelaki itu.
Sesungguhnya sebab yang satu
itu pula yang membuat Astri akhirnya memutuskan untuk gugat cerai.
“Iya, apaan sih melototin
kita terus dari tadi?”
Astri terperangah. Perempuan
itu, entah siapa namanya, turut pula menghardik. Wajahnya yang penuh riasan,
dikombinasi dengan busananya yang seronok memperlihatkan sebagian belahan
dadanya yang seksi, nuansanya serba merah menyala.
Lengannya begitu erat dan
mesra menggelayut di lengan lelaki itu. Seakan-akan ingin menyatakan kepada
dunia:”Inilah cinta kami berdua. Kalian, seluruh dunia hanya numpang lewat
saja!”
“Hei, kami tak ada urusan
dengan kamu!” Ros pun tak tahan membalasnya.
“Apa katamu, hah? Kalian
berdua cocok sekali, ya! Dua nenek-nenek, janda tua, jelek pula!” ejek si merah
menyala menyengat.
“Kalian, bukan manusia!”
balas Ros semakin geram.
“Ya! Sudah kumpul kebo di
rumah yang juga masih milikku, di mobil yang jelas-jelas atas namaku!”
Akhirnya Astri meradang, gerakannya
pun tak tertahankan lagi oleh Ros. Sosoknya seketika melesat menyambangi pasangan
kasmaran itu.
Dalam sekejap ia telah berhadapan secara frontal. Jaraknya dengan
kedua manusia tak tahu diri itu sangat dekat. Begitu dekatnya, sehingga mereka
bisa mencium aroma yang meruap dari tubuhnya masing-masing.
Sekarang, bukan sekadar
rumor belaka tentang kejahiman itu. Ya, Astri merasa telah mencium bau busuk
itu, bau perzinahan yang ditebar keduanya.
“Tidak tahu malu! Tidak
ingat umur, ya, kakek-kakek sudah bau tanah kubur!” sergah Astri, tanpa sadar
telah melayangkan tangannya dan sekuat tenaga hendak menghajar wajah lelaki
itu.
Namun, lelaki itu dengan
tubuh tinggi tegap, sigap sekali menangkap tangannya, kemudian dipuntirnya
kuat-kuat hingga berbunyi; kreeeek!
Astri melolongkan rasa sakit
fisiknya, menyuarakan kepedihan hatinya yang terdalam. Puluhan tahun dirinya
berada dalam kezaliman lelaki dari seberang itu.
Gigi-gigi depan berlepasan di
usia 30-an, tulang kering kaki kirinya retak, kuping sobek, tepi mata kiri pun
robek.
Penganiayaan yang telah
diterimanya tidak sampai di situ, melainkan merembet kepada dua anaknya,
terutama saat mereka kanak-kanak. Lelaki itu memang sakit, dokter bilang
skizoprenia dan paranoid parah.
Jika sedang kumat, rumah
menjadi berdarah-darah, meninggalkan trauma jiwa kepada semua penghuninya
kecuali lelaki itu.
Sosoknya akan tenang-tenang
saja, setelah melakukan tindak kekerasan, duduk mencangkung di teras dan
menyedot sigaretnya dalam-dalam.
Sepasang matanya akan
dilayangkan kepada orang yang lalu-lalang, tak jarang terdengar sapaannya yang
santun dan lembut diarahkan kepada perempuan-perempuan muda.
Siapa yang mengira orang
sesantun itu, selembut dan manis begitu memiliki kelainan jiwa? Tidak ada yang
percaya. Bahkan pihak keluarga besar lelaki itu menuduh Astri sebagai perempuan
pendusta, istri durhaka karena telah menjelek-jelekkan suami sendiri.
“Dasar kamu ini perempuan
Sunda! Apa memang macam itu kelakuan kalian?” sergah salah satu iparnya, ketika
ia tak tahan mengadukan perihal tindak kekerasan yang dialaminya bersama
anak-anak.
“Maksud Kakak?” Astri tak
paham, mengapa kakak ipar harus melibatkan istilah perempuan Sunda segala?
Rasis nian!
“Jangan berlagak bodohlah
kau, Astri. Kau ini perempuan pintarlah, Kakak tahu itu. Seorang penulis hebat
yang sudah banyak menerbitkan karya. Jadi, pastinya pahamlah apa yang Kakak
bilang tadi,” ceracaunya terdengar sinis dan melukai.
“Kalau dalam adat kami, tak
adalah itu istri yang suka menjelek-jelekkan suaminya sendiri. Pantang!” tambah
iparnya yang lain.
Mereka, kedua ipar itu
sengaja menyambanginya ketika Abang melaporkan penganiayaan yang telah
dilakukan bapaknya. Abang dan Butet mengangkut ibu mereka yang matanya luka,
berdarah-darah karena hantaman tinju berkali-kali.
“Kakak, aku tidak
menjelek-jelekkan adik kalian. Tapi inilah kenyataannya. Adik kakak itu hobi
menganiaya istri dan anak-anaknya,” jelas Astri, mencoba mengungkap kenyataan.
“Baik, kalaupun memang iya,
pastilah ada penyebabnya. Kau pasti sudah melakukan kesalahan berat yang
membangkitkan angkara adik kami. Jangan hanya bisa menyalahkan melulu. Introspeksilah!”
sengat ipar perempuan yang umurnya sebaya mendiang ibunya itu, menceracau ngalor-ngidul. Tapi tak satu pun ada
kalimat yang bernada pembelaan.
Aduhai, lelah sudah!
@@@
gereget pengen mukul itu orang... na'udzubillah himindalikk...
BalasHapusHapunten, ngga sempet baca sampe tuntas yeuh teh..baru sampe melunasi cicilan mobil doang...perlu nyalse m'baca nya ya teh.
BalasHapussalam kenal dan segera sehat lagi ya teh
Desa Cilembu; mangga, kumaha saena wae atuh....haturnuhun keresa rurumpaheun
BalasHapusbeli buku; hehehe...memang....
BalasHapusSabar ya teh, pahala sabar tidak terbatas. Janji Allah.
BalasHapusuuhh... jsdi ngnes juga ya kalo ada orang yang seperti ini. hmm... semoga teteh diberikan kesabaran yang sangat besar.. :)
BalasHapus:( ngenes,,,,pengen nimpuk tu cwek ganjen pke broti,, ma tu kakek2 tak lindes mobil, wes tuwe' kok orah sadar ngono to :(
BalasHapus:( ngenes,,,,pengen nimpuk tu cwek ganjen pke broti,, ma tu kakek2 tak lindes mobil, wes tuwe' kok orah sadar ngono to :(
BalasHapusPosting Komentar