Novelet:
Pipiet Senja
Inilah
Rumah Kita, Cinta
Palu Hakim telah
diketok beberapa menit yang silam. Saatnya bangkit, meninggalkan ruang sidang
yang hanya dihadiri empat orang, tidak termasuk Hakim, Wakil Hakim dan dua
paniteranya.
“Ayo, Teh Astri,” ajak
Ros menyambanginya dari bangku belakang.
“Ya, sebentar,” bisik
Astri, perempuan berumur 55 yang mengenakan gamis dan jilbab serba ungu itu.
Tanpa disadari matanya
melirik ke arah bangku depan yang sebaris dengan bangkunya, tetapi terhalang
beberapa ubin.
Lihatlah!
Begitu pongah dan
jumawa mereka, pasangan kasmaran itu, yang lelaki adalah mantan suaminya. Kini
resmi sudah ia bercerai dengan lelaki bertampang persegi, sebentuk bibir khas
yang meleretkan senyum sinis dan melecehkan selalu diarahkan kepada dirinya.
Setidaknya demikianlah
menurut perasaannya, sejak pagi tadi mereka jumpa di pekarangan Pengadilan Agama.
Astri takkan pernah
lupa, bagaimana lelaki itu mengendarai mobilnya dengan gagah bersama
pasangannya kini. Ya, mobil yang pernah dibelinya dengan susah payah, dicicil
per bulan selama empat tahun sampai lunas. Mobil yang pernah nyaris menabrak
dirinya dua bulan yang lalu, saat ia hendak mengambil dokumen yang tertinggal
di ruang kerjanya.
Saat itulah ia melihat
sosok centil untuk pertama kalinya begitu leluasa berada di rumah itu. Rumah
mereka, tempat lebih dari separuh hayatnya diabdikan demi keluarga kecilnya;
dirinya, lelaki itu dan dua buah hati mereka.
Sepanjang
perkawinan mereka, 32 tahun, seingatnya tak pernah tampak rasa bahagia dan bangga
lelaki itu terhadap dirinya. Sejak awal pernikahan mereka, hanya sesal dan
sumpah-serapah belaka yang mendesir di telinganya.
“Aku tidak akan pernah
menikahimu, andaikan kamu bukan seorang penulis!” Demikian terngiang kembali
pernyataannya, saat pertengkaran mula kalinya pada pekan pertama pernikahan
mereka.
Sesungguhnya bukan
pertengkaran, tepatnya, caci-maki lelaki itu terhadap dirinya jika hatinya
sedang tak berkenan. Malangnya, untuk hari-hari selanjutnya pun hati lelaki itu
yang entah terbuat dari apakah gerangan, lebih banyak tidak berkenan daripada
sukacitanya.
“Kamu harus bantu aku
untuk menjadi seorang penulis terkenal, seperti dirimu! Ingat itu!”
“Aku akan
mengusahakannya, tetapi semuanya terserah kepadamu. Karena dirimulah yang
melahirkan karya, bukan aku.”
Lelaki itu merasa
dirinya memiliki bakat untuk menjadi seorang sastrawan besar. Namun,
kenyataannya tidak demikian, karya-karya yang dilahirkannya tidak diminati
masyarakat luas.
Seorang rekan editor
mengatakan, bahasanya ketinggalan zaman, terlalu banyak bunga-bunga bahasa yang
susah dipahami masyarakat literasi. Lagipula, tema yang diangkatnya melulu
urusan syahwat.
Manakala obsesinya tak
terwujud, maka segalanya menjadi berubah drastis. Ada saja kesalahan yang akan
menyeret dirinya menjadi bulan-bulanan tinju, kepalan atau tendangan kuatnya.
Bahkan tak ada
kesalahan pun, lelaki itu selalu mencari-cari kelemahannya, agar dia bisa
melampiaskan angkara yang seolah tak mengenal istilah habis.
Seketika terasa ada
yang menggamit lengannya, kemudian berbisik seperti mengingatkannya.”Sudahlah,
Teteh, ikhlaskan semuanya, ya…”
“Tapi rumah, tanah, dan mobil itu juga milikku!” desisnya
menahan kepedihan yang mendadak mencuat, menggelombang dan menggelegak dalam dadanya.”Seharusnya ada pembagian harta
gono-gini. Ya, ini tidak adil!”
“Pssst, Teteh, bukankah
sudah diserahkan urusannya kepada Butet? Biarlah Butet yang akan
menyelesaikannya.”
“Tetap saja, sungguh
tidak adil!” geramnya tak tahan lagi.
Lelaki itu mulai
beranjak melangkah menuju pintu, Hakim beserta rekan-rekannya pun telah
menghilang dari ruang sidang. Tiba-tiba ia merandek dan bersikap menantangnya.
”Kita sudah bercerai
resmi! Apa mau kau itu, he, perempuan jelek!” sergahnya, sungguh terdengar
bagaikan bom yang berdenyar di telinganya.
“Teteh, istighfar, ya,
ayo, kita pulang,” ajak Ros, adiknya yang telah lama menjanda, dan nyaris saja
diperkosa oleh lelaki itu.
Sesungguhnya sebab yang
satu itu pula yang membuat Astri akhirnya memutuskan untuk gugat cerai.
“Iya, apaan sih
melototin kita terus dari tadi?”
Astri terperangah. Perempuan
itu, entah siapa namanya, turut pula menghardik. Wajahnya yang penuh riasan,
dikombinasi dengan busananya yang seronok memperlihatkan sebagian belahan
dadanya yang seksi, nuansanya serba merah menyala.
Lengannya begitu erat
dan mesra menggelayut di lengan lelaki itu. Seakan-akan ingin menyatakan kepada
dunia:”Inilah cinta kami berdua. Kalian, seluruh dunia hanya numpang lewat
saja!”
“Hei, kami tak ada
urusan dengan kamu!” Ros pun tak tahan membalasnya.
“Apa katamu, hah?
Kalian berdua cocok sekali, ya! Dua nenek-nenek, janda tua, jelek pula!” ejek
si merah menyala menyengat.
“Kalian, bukan manusia!”
balas Ros semakin geram.
“Ya! Sudah kumpul kebo
di rumah yang juga masih milikku, di mobil yang jelas-jelas atas namaku!”
Akhirnya Astri
meradang, tak tertahankan lagi oleh Ros. Sosoknya seketika melesat menyambangi
pasangan kasmaran itu. Dalam sekejap ia telah berhadapan secara frontal.
Jaraknya dengan kedua manusia tak tahu diri itu sangat dekat. Begitu dekatnya,
sehingga mereka bisa mencium aroma yang meruap dari tubuhnya masing-masing.
Sekarang, bukan sekadar
rumor belaka tentang kejahiman itu. Ya, Astri merasa telah mencium bau busuk
itu, bau perzinahan yang ditebar keduanya.
“Tidak tahu malu! Tidak
ingat umur, ya, kakek-kakek sudah bau tanah kubur!” sergah Astri, tanpa sadar
telah melayangkan tangannya dan sekuat tenaga hendak menghajar wajah lelaki
itu.
Namun, lelaki itu
dengan tubuh tinggi tegap, sigap sekali menangkap tangannya, kemudian
dipuntirnya kuat-kuat hingga berbunyi; kreeeek!
Astri melolongkan rasa
sakit fisiknya, menyuarakan kepedihan hatinya yang terdalam. Puluhan tahun
dirinya berada dalam kezaliman lelaki dari seberang itu. Gigi-gigi depan
berlepasan di usia 30-an, tulang kering kaki kirinya retak, kuping sobek, tepi
mata kiri pun robek.
Penganiayaan yang telah
diterimanya tidak sampai di situ, melainkan merembet kepada dua anaknya,
terutama saat mereka kanak-kanak. Lelaki itu memang sakit, dokter bilang
skizoprenia dan paranoid parah.
Jika sedang kumat,
rumah menjadi berdarah-darah, meninggalkan trauma jiwa kepada semua penghuninya
kecuali lelaki itu.
Sosoknya akan
tenang-tenang saja, setelah melakukan tindak kekerasan, duduk mencangkung di
teras dan menyedot sigaretnya dalam-dalam.
Sepasang matanya akan
dilayangkan kepada orang yang lalu-lalang, tak jarang terdengar sapaannya yang
santun dan lembut diarahkan kepada perempuan-perempuan muda.
Siapa yang mengira
orang sesantun itu, selembut dan manis begitu memiliki kelainan jiwa? Tidak ada
yang percaya. Bahkan pihak keluarga besar lelaki itu akan menuduh Astri sebagai
perempuan pendusta, istri durhaka karena telah menjelek-jelekkan suami sendiri.
“Dasar kamu ini
perempuan Sunda! Apa memang macam itu kelakuan kalian?” sergah salah satu
iparnya, ketika ia tak tahan mengadukan perihal tindak kekerasan yang
dialaminya bersama anak-anak.
“Maksud Kakak?” Astri
tak paham, mengapa kakak ipar harus melibatkan istilah perempuan Sunda segala?
Rasis nian!
“Jangan berlagak
bodohlah kau, Astri. Kau ini perempuan pintarlah, Kakak tahu itu. Seorang
penulis hebat yang sudah banyak menerbitkan karya. Jadi, pastinya pahamlah apa
yang Kakak bilang tadi,” ceracaunya terdengar sinis dan melukai.
“Kalau dalam adat kami,
tak adalah itu istri yang suka menjelek-jelekkan suaminya sendiri. Pantang!”
tambah iparnya yang lain.
Mereka, kedua ipar itu
sengaja menyambanginya ketika Abang melaporkan penganiayaan yang telah
dilakukan bapaknya. Abang dan Butet mengangkut ibu mereka yang matanya luka,
berdarah-darah karena hantaman tinju berkali-kali.
“Kakak, aku tidak
menjelek-jelekkan adik kalian. Tapi inilah kenyataannya. Adik kakak itu hobi
menganiaya istri dan anak-anaknya,” jelas Astri, mencoba mengungkap kenyataan.
“Baik, kalaupun memang
iya, pastinya ada penyebabnya. Kau pasti sudah melakukan kesalahan berat yang
membangkitkan angkara adik kami. Jangan hanya bisa menyalahkan melulu.
Introspeksilah!” sengat ipar perempuan yang umurnya sebaya mendiang ibunya itu,
menceracau ngalor-ngidul. Tapi tak satu pun ada kalimat yang bernada pembelaan.
Aduhai, lelah sudah!
@@@
(Dua)
Sejak itu Astri
mewanti-wanti kedua anaknya agar tidak lagi mengadukan apapun yang terjadi
dalam rumah mereka ke pihak keluarga besar yang terhormat itu. Percuma saja.
Bukan pembelaan yang diperoleh, sebaliknya malah menambah luka hati belaka.
Kelakuan kepala
keluarga dengan tanda kutip itu tentu saja sangat berimbas dalam kehidupan
istri dan anak. Astri tak boleh ikut bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Untuk mengaji saja harus minta izin berkali-kali. Manakala diizinkan juga dengan
terpaksa, sepulang mengaji Astri akan habis diinterogasi. Kemudian dituduhnya
macam-macam.
“Kamu bukan untuk
mengaji, tapi cari lelaki!”
“Kamu pasti selingkuh
dengan siapa itu, orang yang dipanggil Kyai itu, bah!
“Coba bilang, berapa
kali kamu main seks dengan lelaki jahanam itu?”
“Sebetulnya iblis apa
yang bersemayam dalam tubuh kamu yang tak pernah puas itu, hemm?”
Jika Astri tetap tidak
mengaku, maka tanpa ayal lagi lelaki itu akan menghajarnya. Jadi, jika orang
pergi mengaji untuk mendapatkan ketenangan, pulangnya membawa ilmu agama.
Sebaliknya yang terjadi terhadap dirinya.
Astri memang
mendapatkan ilmu agama dari kajian itu. Namun, sesampai di rumah dirinya akan
mendapatkan selain cercaan hinaan, makian, ditambah bonus special rasa jahim.
Berupa bibir jontor, wajah biru lebam, masih mujur kalau tidak ada retak atau
luka di bagian tubuh lainnya.
Untuk menyiasatinya
Astri terpaksa akan sembunyi-sembunyi pergi mengaji. Acapkali ia akan
menyisipkan waktu mengaji dengan saat dirinya harus mengambil honor di penerbit.
Saat itu belum musim transferan uang melalui rekening, paling wessel yang harus
diambilnya di kantor Pos.
Astri lebih memilih
mendatangi langsung kantor redaksi dan penerbit, menawarkan karya-karyanya, seraya
mengikat silaturahim dengan tim kreatif.
Tak ayal selain namanya
semakin populer di kalangan penerbit, dirinya pun dikenal sebagai seorang
penulis perempuan satu-satunya di Indonesia yang begitu gigih; wara-wiri
menjajakan naskah sambil menggendong anaknya yang masih bayi.
“Ada apa dengan
wajahmu?” selidik sahabatnya, Susi di penerbit Aksara, suatu siang yang terik.
“Tidak apa-apa, hanya
terpeleset di kamar mandi,” sahutnya tanpa sadar anaknya yang berumur empat
tahun menyimak obrolan mereka.
“Bukan begitu, Tante
Susi,” sela Abang tiba-tiba.”Tadi subuh Mama dipukuli sama….”
“Pssst, Abang, Cintaku,”
tukas Astri mencoba menghalangi celotehan Balita.
Namun, Abang dengan
polos terus melanjutkannya. “Mama bilang kan kita gak boleh bohong?”
Astri terkesiap.”Eh,
iya, tapi ini….”
“Ada apa, Abang
sayang?” desak Susi.
“Mama lagi di kamar
mandi, tahu-tahu Papa menyeret Mama, dipukuli deh. Tahu kenapa….”
Sepasang mata yang
bening itu seketika berembun, menangkupkan kedua telapak tangan ke mulutnya,
kemudian tersedu-sedu. Astri membungkuk di hadapan si kecil, direngkuhnya tubuh
mungil itu, kemudian didekapnya erat-erat.
Susi geleng-geleng
kepala melihat ibu dan anak mendadak berpelukan. Ia melihat ada sejuta nestapa
di mata sahabatnya. Namun, ia tak keliru, sama sekali tidak melihat air mata
yang terurai di sana.
“Seharusnya kamu paksa
dia berobat ke dokter jiwa,” saran Susi.
“Sudah, tapi dia keras
kepala, merasa dirinya waras-waras saja. Malah menudingku yang sudah sakit
jiwa.”
“Laporkan saja ke
polisi, Astri. Jangan biarkan kamu dan anak-anak menjadi bulan-bulanannya. Mana
tidak pernah beri nafkah pula. Aduuuh, apa sih yang membuatmu terus bertahan
begitu?”
Astri terdiam seribu
bahasa. Susi takkan bisa menerima alasan apapun yang akan diuraikannya. Tidak,
seperti halnya orang tua di Bandung yang tak bisa menerima putri mereka
diperlakukan kejam oleh sang menantu.
“Bapak tidak akan
pernah menginjak rumahmu lagi selagi suamimu itu masih main tangan,” demikian
ancam ayahnya, dan itu diwujudkannya sampai menutup mata.
Ibunya yang semula
tetap berkunjung karena rasa kangen kepada dua cucu, akhirnya memutuskan
mengikuti jejak sang suami di bulan-bulan terakhir hidupnya.
Tentu saja bukan tidak
menimbulkan dampak segala tindak kekerasan yang telah dilakukan lelaki itu.
Astri menjadi frigid total, tak mampu lagi merasai suatu kenikmatan dalam
hubungan suami-istri.
Betapa sering dirinya
hanya terdiam saja, manut, bagaikan mayat atau gedebong pisang. Sementara
lelaki itu dengan ganasnya menuntut berbagai macam pelayanan.
Jika Astri berani menolak,
maka tak pelak lagi akan terjadi kegaduhan luar biasa dari dalam kamar mereka.
Betapa sering pula pada
akhirnya hanya terjadi semacam pemerkosaan. Astri akan merasakan kesakitan luar
biasa setelah persenggamaan itu berlangsung.
Di kamar mandi, ia akan
diam-diam menangis, mencoba berjuang sekuat daya. Melebur segala pedih-perih
dengan semburan air dingin sebanyak-banyaknya, dan hanya dirinya sendiri yang
merasakannya.
Malam demi malam, bulan
demi bulan, dan tahun-tahun pun terus berlangsung dalam semesta lara.
“Cepatlah besar, buah
hatiku,” bisiknya setiap kali menengok sepasang cintanya, saat mereka menyulam mimpi kanak-kanak.
Apa sesungguhnya yang
dikhawatirkan dirinya selama itu? Anak-anaknya, benteng kehidupannya itu, tak
memiliki seorang ayah, kehilangan sosok yang selayaknya dipanggil; Papa.
Ya, biarlah ia tanggung
segala lara, segala nestapa dalam setiap detik hidupnya. Baginya yang penting
Abang dan Butet tetap memiliki seorang bapak.
Sesuatu yang di
kemudian hari, ketika anak-anak telah dewasa, justru mereka menyesalkan
keputusannya ini.
Butet kerap mengerang
dalam tidurnya, seketika terbangun dengan tubuh gemetar dan menggigil hebat.
“Maafkan Mama, ya,
Cintaku,” bisik Astri.
Anak perempuan malang
itu baru tenang jika ibunya telah mendekapnya erat-erat, membisikkan Ayat Kursi
berkali-kali, meyakinkannya di telinganya. Bahwa semua akan baik-baik saja.
Abang tak pernah bisa
dekat dan menghormati bapaknya. Acapkali Abang akan membalas perlakuan keji
ayahnya dengan caranya sendiri; membuang baju kesayangan bapaknya dan berlagak
tak tahu menahu, jika ditanyai perihal kehilangan baju itu.
Ajaibnya, Abang dan Butet
tumbuh menjadi anak yang berprestasi. Mereka menjawab tantangan sang
ibu:”Buktikan kepada dunia bahwa kalian hebat. Jadilah anak-anak Mama yang bisa
diandalkan.”
Betapa Astri akan
bersujud syukur setiap kali menerima raport anak-anak, dari tahun ke tahun
keduanya selalu memberinya satu hal: kebanggaan!
@@@
(3)
Penganiayaan itu baru
berhenti lima tahun yang silam, ketika terakhir si sulung melakukan pembelaan,
balik melemparkan badan bapaknya ke dinding ruang tamu mereka.
Astri takkan pernah
lupa setiap rinci peristiwa hari itu.
Ia bersama anak-anak
sedang santai di kamar Abang, menikmati penganan sambil senda-gurau. Mereka
bertiga tidak pernah memanfaatkan ruang keluarga, apalagi ruang tamu, jika
sedang ada kepala keluarga yang sakit itu.
Apabila kebetulan
sedang berkumpul di ruang keluarga, itupun hanya karena memenuhi keinginannya.
Biasanya dia manfaatkan untuk mengkritik, tepatnya memaki-maki Astri di depan
anak-anak, mengungkap segala kelemahan dan keburukannya.
Biasanya pula anak-anak
akan segera menyingkir, memberi dalih bahwa mereka akan pergi les atau ada
kegiatan ekstra di sekolah. Sehingga lelaki itu tak bisa melarang.
Setidaknya dalam hal
pendidikan anak, lelaki itu masih mau memberi toleransi kepada keluarganya.
Satu hal ini pulalah yang masih membuat Astri mampu bertahan.
Beberapa kali telah
terjadi insiden, tepatnya serangan mendadak, lontaran kata-kata menyakitkan
atau hal tak nyaman lainnya. Mereka bertiga sama trauma, jadi memutuskan jika
berada di dekat lelaki itu, sebaiknya segera menyingkir atau bungkam seribu
bahasa.
Tiba-tiba sang kepala
keluarga berjuluk suami itu muncul di ambang pintu kamar Abang.
“Kalian ini memang
orang-orang yang sangat kejam, ya!” hardiknya dengan suara khas lelaki
seberang.
Di tangannya ada
sepiring pisang goreng bertabur keju yang dibuat sendiri oleh Astri. Penganan sama
seperti yang sedang mereka nikmati petang itu.
Astri, Abang dan Butet
terdiam dan saling pandang. Mata mereka sama menyiratkan ketidakpahaman. Abang
yang duduk di belakang meja belajar, serentak menghentikan kegiatannya;
mengunyah pisang goreng keju sambil online.
“Apa maksud omongan
Papa?” akhirnya Abang melontar tanya.
“Kalian ini memang
keluarga yang sangat jahat!” katanya mengulang, dalam tekanan nada semakin
meninggi.
“Papa, sadar gak sih
ngaco?” Abang masih menahan rasa kesal.
“Kalian semua akan
dikutuk Tuhan! Kelak kalian semua akan dimasukkan ke neraka jahanam!” Ceracau lelaki
itu dengan wajah merah-padam, entah karena apa pula, semua belum memahami inti
kemarahannya kali ini.
“Papa, bisa gak ya
menyampaikan masalahnya dengan terus-terang saja. Gak perlu pake muter-muter
segala?” Butet pun tak tahan balik mendesaknya. Meskipun Astri telah
mengisyaratkan dengan gelengan kepalanya yang lemah.
“Kalian sejak tadi
ketawa-ketawa saja di sini. Pasti kalian sedang menertawaiku. Di luar sana,
kudengar dari kamarku tadi, ada pedagang burung yang berteriak-teriak: Burung!
Burung! Itu pasti Mama kalian yang menyuruhnya supaya lewat ke sini. Ya,
sengaja, demi memenuhi nafsunya untuk menghinaku! Jahat sekali kalian, terutama
kamu, istri durhaka!”
Semua terperangah dan
masih belum konek, sampai tiba-tiba piring di tangan lelaki itu melayang. Jelas
sekali diarahkan kepada Astri, terutama mengincar kepalanya yang berjarak tak
seberapa jauh.
Seperti
serangan-serangan sebelumnya yang tidak terduga, kali ini pun Astri tak sempat
mengelak. Namun, Butet yang telah duduk di
bangku SMA kelas satu, dan sama taekwondoin seperti abangnya, secara
refleks bergerak melindungi ibunya tersayang.
Beeekkkk, praaaang!
Dan piring itu akhirnya
menghantam punggung Butet, karena sebagian tubuhnya telah menghalangi piring
agar tidak menghantam kepala ibunya.
Demi melihat itu Abang
serentak bangkit, siapapun tak mengira jika kemudian mahasiswa Ilkom
Universitas Indonesia semester akhir itu kemudian menyeret bapaknya. Sehingga
kedua lelaki itu telah keluar dari kamar, lantas berhadapan secara frontal di
ruang tamu.
“Pengecut! Dasar
pecundang! Beraninya hanya sama perempuan saja, ya! Ini, lawan aku, kita
sama-sama lelaki! Lawan, ayo, lawan aku!” Teriakan Abang seolah menggema ke
seluruh ruangan yang ada di rumah itu, bahkan menggaung ke pelosok kampung
Cikumpa.
Astri berusaha
mencegah, tetapi Butet menghalanginya, malah memintanya agar segera menyingkir.
“Tidak, kalian
anak-anak yang soleh dan solehah. Jangan jadi anak durhaka, ya, anak-anak
sayang,” suaranya parau tertelan teriakan sulungnya.
“Butet, amankan Mama!
Cepat pergi kalian berdua dari rumah ini!” pinta aktivis kampus itu, sambil
mengunci tubuh bapaknya kuat-kuat dengan jurus entah apa namanya.
Maklum, Abang
taekswondoin tingkat Nasional, sudah setara dengan Sabam, sebutan gurunya.
Astri bersikeras tetap
bersama anak-anak, setapak pun tak mau bergeming. Meskipun dipegangi kuat-kuat
oleh Butet, ia bersikukuh berada di samping putranya.
Saat itulah, Abang
sempat buyar konsentrasi, kunci terhadap tubuh bapaknya sedikit mengendor.
Sedetik kemudian sebelah lengan lelaki itu terbebas, dimanfaatkannya untuk
melayangkan tinjunya ke wajah Abang.
“Jangan sakiti anakku!”
teriak Astri, berhasil menarik tubuh putranya.
Maka tak ayal lagi
tinju itu pun menghajar bagian mata kanannya sekuat-kuatnya.
Beberapa jenak Astri
merasai kegelapan menyelimuti pandangannya. Lantas terasa ada lelehan hangat
mengucur deras dari sudut kanan matanya. Tubuhnya melumbruk ke lantai, tetapi
ia tetap berusaha mencegah agar ayah dan anak tidak sampai baku hantam.
Abang begitu marah
melihat ibunya berlumuran darah segar. Ia loncat menerkam bapaknya, begitu
berhasil menguncinya kembali, seketika dihempaskannya sosok yang senantiasa
menyakiti dirinya, adiknya dan ibunya selama itu.
Hempasan itu begitu
kuat, terasa bergetaran di sekitar mereka. Belakangan Astri baru menyadari
betapa dahsyat kekuatan yang dimiliki putranya.
Dinding ruang tamu itu
jika bisa bicara, niscaya akan bersaksi, penyebab retak memanjang yang tak
pernah bisa dihilangkan itu.
“Dasar kamu ini, anak
durhaka!” teriak lelaki itu dengan mata penuh kebencian,
“Kalau ada anak
durhaka, lantas ayah macam apa Papa?” balas Abang, terdengar dingin membeku.
“Kamu memang bukan
anakku! Tanyakan sama ibu kamu, siapa bapak kamu yang sebenarnya!”
Abang tak peduli lagi,
tak sudi mendengar apapun lagi yang dilontarkan dari mulut lelaki itu. Ia lebih
mengkhawatirkan kondisi ibunya dan adiknya.
“Mama, kita tinggalkan
rumah ini!” desis anak muda itu, terdengar sambil menahan kepedihan hatinya.
“Ya, Mama, kita pergi
saja sekarang juga!” Butet lebih menegaskan dukungan terhadap abangnya.
Astri mengangguk lemah.
Mereka hanya membawa seperangkat baju yang menempel di badan. Biarlah segala
perabotan akan diurus lain waktu, pikir Astri.
Sejak saat itu, selama
enam bulan mereka tinggal di rumah seorang sahabat Astri. Abang berhasil
menyelesaikan kuliahnya. Butet naik ke kelas dua. Pada saat Abang diwisuda,
lelaki itu tiba-tiba datang, menghampiri mereka di kampus.
“Mohon, maafkan aku,
ya. Kembalilah kalian ke rumah. Aku berjanji akan berubah, demi Allah,” janjinya
sambil berlinangan air mata.
Astri meminta pendapat
kedua buah hati. Abang dan Butet sama tak bisa menerimanya begitu saja. Mereka
masih trauma dengan peristiwa yang nyaris membuat mata Astri mengalami
kebutaan.
“Tahun ini aku akan
berhaji, sungguh, semuanya akan berubah. Aku akan berobat rutin ke psikiater,”
berkali-kali lelaki itu mengucapkan sumpahnya.
Ketika pada akhirnya
Astri menyerah, tidak melanjutkan gugat cerai yang sedang berproses, hanya
Butet yang mau ikut kembali ke rumah mereka di kampung Cikumpa.
Sementara Abang memilih
menikah, kemudian memboyong istrinya ke rumah kontrakan.
“Mama, dengar, ya,”
kata Butet menahan gundah-gulananya, saat mereka kembali memasuki rumah di
pinggir sawah dan kuburan itu.”Hanya demi Mama, Butet mau kembali tinggal di
rumah ini. Butet masih belum percaya sepenuhnya kalau Papa bisa berubah. Jadi,
Butet akan tetap menjaga Mama sampai kapan pun!”
@@@
(4)
Apakah sepulang berhaji
lelaki itu memang berubah dan taubatan nasuha? Tidak sepenuhnya ternyata. Memang
ia selalu sholat lima waktu, bahkan sering bolak-balik pergi ke mesjid
terdekat. Betul juga ia tak lagi melakukan tindak kekerasan secara fisik.
Namun, Astri masih jua
tak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri. Lelaki itu tetap tak
sudi berbagi rezeki, tak mau memberikan nafkah. Kebutuhan sehari-hari untuk
makan masih saja ditanggung sepenuhnya oleh Astri.
Secara fisik lelaki itu
memang tak pernah lagi menganiaya. Tetapi melalui sikap dan perkataan,
pelecehan dan penghinaan itu masih diterima Astri.
“Kamu ini memang
pengarang picisan! Karya-karyamu tak ada yang bisa digolongkan sastra!”
“Seharusnya kamu bisa
bantu suamimu, Astri Ayuningtias. Terbitkanlah naskah perjalanan hajiku ini.
Kalau tidak, lihat saja, aku akan menceraikan kamu!”
Ancaman dengan kata-kata
cerai, cerai, cerai itu tak terbilang lagi terlontar dari mulutnya. Astri tak
memedulikannya. Ia masih bertahan dan terus bertahan, setidaknya tak ingin
merusak perasaan Butet. Hingga putrinya berhasil lulus sebagai sarjana hukum.
Sementara Abang telah
mempersembahkan dua orang cucu yang sehat dan lucu-lucu. Ia pun berhasil
menyelesaikan S2, memantapkan kariernya sebagai pakar IT.
Tiba-tiba di dalam
keluarga besarnya di Bandung, terjadi musibah. Adik bungsunya, Ros yang sedang
hamil tua ditinggal kabur oleh suaminya.
“Tinggal sajalah di Jakarta,
Ros, mari kita sama-sama berjuang,” pinta Astri, iba sekali melihat Ros membawa
serta seorang anak perempuan yang baru duduk di bangku SD.
Astri kemudian minta bantuan
temannya untuk membantu Ros, agar mendapatkan pekerjaan, demi menghidupi kedua
anaknya.
Tiap akhir pekan Ros
bergabung ke rumahnya, bantu-bantu, terutama mengetikkan naskah-naskah lama
yang di-update, kemudian ikut
menawarkannya ke penerbit.
Bagi Astri, adik
bungsunya ini sudah seperti anak saja, usia mereka pun bertaut 15 tahun. Kedua
anak Ros menjadi anak-anak asuhnya, dibantunya biaya sekolah dan kebutuhan
sehari-hari mereka.
Ternyata tanpa
disadarinya, lelaki itu sering mengganggu Ros. Pernah memang Astri merasa
curiga. Tiba-tiba terdengar omelan adiknya dari dapur. Ia menghampirinya,
lelaki itu baru mengambil piring sambil cengengesan
tanpa sembala.
“Ada apa, Ros?”
tanyanya ingin tahu.
“Tahu tuh, bapak si
Butet iseng melulu,” tapi tidak dilanjutkan. Agaknya Ros merasa sungkan,
mungkin juga kasihan jika ia mengatakan hal yang sebenarnya. Pelecehan!
Demikian terus
berlangsung, tiap kali Ros ke rumah dan memasak di dapur, selalu terdengar omelan
tak senang. Hingga akhirnya rasa penasaran Astri terjawab sudah, tatkala satu
malam memergoki lelaki itu mencoba memasuki kamar belakang. Tempat Ros dan
kedua anak perempuannya menginap.
“Sebetulnya apa yang
hendak kamu lakukan di kamar adikku itu?” tanya Astri baik-baik.
“Baik, sekarang aku
harus terus terang kepadamu,” sahutnya tanpa perasaan sama sekali. “Aku sudah
tak punya rasa, tak punya cinta, hanya kasihan saja kepada kamu. Jadi, izin tak
izin, aku akan menikah lagi!”
“Hmm,” hanya itu yang
mampu keluar sebagai respon. Astri sudah mempunyai firasat bahwa satu hari hal
ini akan terjadi jua. Agaknya hatinya pun sudah lama menjadi kebas.
“Aku akan mengawini si
Ros!”
“Baiklah, tapi kita
harus cerai dulu.”
Sesungguhnya Astri
sempat minta waktu, agar proses perceraian mereka berlangsung dengan baik.
Namun, lelaki itu ternyata sudah kembali pada karakter aslinya. Tak sabar, tak
bisa dipegang omongan dan terutama hobi melecehkan perempuannya kumat kembali.
Ketika Ros mengadukan
ikhwal percobaan perkosaan terhadap dirinya oleh lelaki itu, dunia serasa
mendadak jungkir-balik. Astri masih bisa terima diperlakukan sadis, kejam,
diselingkuhi entah ke berapa kalinya.
Namun, menyadari bahwa
dirinya nyaris menjerumuskan adik kesayangan dalam permainan gila lelaki itu,
aduhai!
“Dasar perempuan tua!
Jelek! Tak berguna, cuiiih!” Lelaki itu melangkahi tubuh Astri yang terjajar di
lantai, meludah dan nyaris mengenai wajahnya.
Kalau saja Ros tidak
sigap menarik kakaknya, niscaya ludah busuk itu akan menyembur ke wajah
kakaknya.
“Awas, tunggu
pembalasan kami, durjana!” teriak Ros berang sekali.
Jika memperturutkan
nafsu, ingin saja dia pun mengikuti jejak kakaknya tersayang. Mungkin
melemparkan bangku ke punggungnya, biar remuk dan hancur sekalian!
Astri membalikkan
tubuhnya bermaksud menghalangi adiknya, agar mereka menghentikan bujukan para
setan dari dasar neraka, mengumbar angkara. Namun, tiba-tiba terasa ada yang
menghantam kepalanya, keras, keras sekali.
Astri merasakan dunia
begitu gelap.
Dua Satpam datang
sangat terlambat, niatan melerai tidak tersampaikan. Mereka bukannya menahan
pasangan itu, sebaliknya malah menggiring Astri dan Ros ke Pos Satpam.
“Sekalian saja, saya
akan melaporkan tindak kekerasan yang sudah dilakukan si jahanam itu,” desis
Ros.
“Mari, bapak-bapak,
antar kami ke Polsek dan ke dokter, dibuatkan visumnya. Lihatlah, tangan kakak
saya sampai biru begini, tulangnya pasti retak!”
Hari itu juga polisi
segera menangkap si jahim dan karena bukti serta saksi-saksi menguatkan, dia
langsung dijebloskan ke balik penjara. Tuduhan yang dijatuhkan sangat
mengerikan:”Penganiayaan, perampokan mobil dan pengambil-alihan kepemilikan dua
rumah.”
“Vonis sudah
dijatuhkan, Teteh. Dia akan meringkuk di penjara selama tujuh tahun,” lapor Ros
dalam nada puas.
Astri melengos,
memejamkan matanya dan melembayanglah dua anak serta dua cucu tersayang. Abang
sudah lama tak mau ambil pusing dengan segala kebijaksanaan dan tingkah-olah
ibu dan bapaknya.
Butet pernah
menyesalkan tindakannya, dan memilih tetap menyayangi ayahnya.
“Mama sudah kelewat
batas! Biar bagaimanapun dia itu ayah kandung Butet, Ma. Memang betul, waktu
kecil dia suka menganiaya kita. Tapi beberapa tahun terakhir, kita tahu persis,
dia sudah banyak berubah. Lagipula, dulu sering KDRT itu kan memang karena
sakit, Ma. Dokter bilang dia skizoprenia.”
“Berubah, tapi dengan
maksud tertentu!” bantah Astri, geram, tak paham dengan pilihan putrinya. “Dia memaksa Mama untuk menerbitkan naskahnya yang
jelek itu. Hingga Mama dijadikan bahan cemoohan teman-teman.”
“Lah, mengapa Mama
mau?”
“Dia mengancam….”
“Mengancam mau bunuh
Mama?”
“Bukan!”
“Mengancam apa, Ma?”
“Mau menceraikan
Mama….”
“Bukankah Mama memang
gak cinta dia juga sejak lama?”
Astri terdiam. Ia
semakin tak paham dengan putri kesayangannya. Mengapa Butet lebih membela
ayahnya daripada dirinya?
“Dia hanya mau beristri
lagi, sementara Mama tak sudi dipoligami. Ya, sudah, cerai saja, itu
kesepakatan kita. Karena dia tidak mau cerai, Mama yang gugat. Habis perkara!
Mengapa harus sekejam itu, Mama?”
Gugat Butet suatu malam,
sengaja menyambanginya ke rumah yang tak pernah diinjak anak-anak dan cucunya
lagi, sejak ia menjebloskan lelaki itu ke penjara.
Ya, dia memang hanya
mau beristri lagi, tetapi bersikeras tak ingin menceraikan dirinya. Perempuan
mana yang tahan dipoligami, bahkan sebelumnya pun tanpa pernah dinafakahi, dan
selalu dilecehkan dengan kalimat-kalimat melukai.
“Tak ada cinta, tak ada
rasa lagi! Kamu sudah tua, tak berguna!”
“Jangan dengarkan,
sudah, cukup, cukup sampai di sini, Mama. Lupakan dan buang tali kebencian itu.
Jangan sia-siakan sisa hidupmu dengan dendam kesumat. Semuanya permainan iblis
dari dasar neraka, Mama,” itulah wejangan putrinya yang terakhir, sebelum dia
memutuskan menikah dan diboyong ke Australia.
@@@
(5)
“Mama kangen, anakku,
demi Allah! Mama kangen Abang, Butet dan cucu-cucuku!” jeritnya mengawang
langit.
Jeritan hatinya kali ini
seakan menggelontorkan seluruh lautan kebencian, dendam dan segala penyakit
hati yang menyesatkan.
Dan dia tersentak dari
tidur panjang yang melenakan itu!
“Ros!” teriaknya
memanggil sang adik yang sangat terkejut.
“Ya, ya, Teteh, ada
apa? Adikmu selalu di sini.”
“Aku bingung,” kesah
Astri, sungguh merasa tak berdaya sekali.
“Teteh demam sejak
pulang dari pengadilan Agama kemarin. Semalaman Teteh terus-menerus mengigau.”
“Oh, begitukah?”
tayanya terdengar mengapung di udara.
“Iya, aduh, sehatlah,
Teteh, kuat, ya,” terdengar ratapan adiknya yang menyayat hati.”Teteh mau apa?
Minum?”
“Tidak, adikku, Ros
sayang. Bukan itu karakterku. Bukan di sini pula rumahku,” desis Astri dan
perlahan membuka matanya.
Kini tampaklah Rosi
duduk bersimpuh di sebelahnya, di samping kasur, tempatnya berbaring.
“Ada apa, Teteh?” Ros
tampak sangat mengkhawatirkan kakaknya.
Astri berusaha bangkit,
tetapi masih terasa lemas sekali. Susah-payah berusaha terus bergerak, akhirnya
bisa duduk, disangga oleh tubuh adiknya.
“Pelan-pelan saja,
Teteh. Jangan grasa-grusu, kondisi jantungmu kurang bagus,” kata Ros
mengingatkannya, seraya mengusap-usap wajahnya sepenuh sayang.
Di Ibukota mereka
memang hanya berdua saja, tanpa sanak-saudara. Lima saudara mereka tinggal
berjauhan.
“Terima kasih, Ros,”
ujar Astri sesaat meminum habis air putih yang disodorkan adiknya.
“Bagaimana kondisimu?
Sudah enakan?”
“Ya, Alhamdulillah….”
Astri memasukkan sebutir pil kecil di bawah lidahnya.
Dalam pemeriksaan
sebulan yang lalu, ada banyak cairan menggenang di bagian bawah jantungnya.
“Ibu harus beri jawaban
secepatnya. Agar kami segera melakukan penyedotan cairan di jantung Ibu,” kata
dokter Kristanto, spesialis kardiologi yang telah merawatnya selama ini.
“Kata dokter yang
kupanggil tadi malam, Teteh hanya kelelahan dan syok. Kita tidak mengira bapaknya
si Butet akan sekejam itu memperlakukan dirimu,” jelas Ros.
Astri menatap wajah
adiknya lekat-lekat.
“Sebenarnya apa yang
terjadi? Begitu kurasakan ada yang menghantam kepalaku dari belakang, aku tak
ingat apapun.”
“Teteh pingsan dan
kami, aku dibantu seorang petugas Pengadilan Agama mengangkutmu ke rumah ini.”
“Oya, sebenarnya ini
rumah siapa?” Astri baru menyadari keberadaan mereka di rumah yang asing
baginya.
“Rumah Mas Harji,
petugas itu. Sekarang dia sudah berangkat kerja….”
“Anak-anak bagaimana?”
“Abang dan Butet marah
besar. Apalagi Butet, namanya juga seorang pengacara. Sepertinya dia akan
memperkarakan bapaknya dan pasangan cintanya itu.”
“Aduh, jangan….”
“Perempuan itu yang
sudah menghantam kepalamu dengan payung, sekuat-kuatnya. Huh, dasar iblis….”
“Pssst, sudahlah!”
tukas Astri. “Jangan biarkan anak-anak menjadi durhaka, Ros. Tolong, cepat
telepon mereka,” pintanya gemetar.
“Terlambat, tadi
sebelum Teteh siuman, Butet mengabarkan, sebenarnya sudah membebaskan bapaknya
dari penjara.”
“Lantas?”
“Karena bukti dan
saksi-saksi yang melihat kejadian di ruang sidang itu, tetap saja, dia memang
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dua-duanya!”
Astri mengangguk lemah,
tapi masih mencecarnya.”Bagaimana, sudah dapatkah tempat tinggal untuk kita?”
“Ya, Teteh.”
“Barakallah, baguslah,
Ros.”
“Sudah kuatkah kalau
kita jalan sekarang?”
Astri kini menjawab
dengan penuh semangat.”Ya, aku harus sehat dan kuat. Meskipun sepanjang hidup
penyakitan, jantung bermasalah dan leverku error. Harus semangat dan terus
berjuang. Ayo, berangkat!”
Ros mengemasi barang
mereka, hanya sebuah tas gendong berukuran sedang. Ditambah dua kantong plastik
berisi makanan dan minuman.
“Anak-anakmu di mana?”
“Sudah sejak kemarin
mereka mendahului kita tinggal di panti.”
“Baik-baikkah mereka,
hmm, terutama Rahma?”
Seketika terbayang
seorang remaja putri yang bercucuran air mata, saat Ros mengadukan perihal
pelecehan itu. Jadi, selama itu Ros telah menyembunyikan kebusukan iparnya yang
suka meremas-remas bagian tertentu remaja putri itu.
Jangan pernah terulang
lagi, geramnya.
Ros tersenyum pahit. “Sekarang
tidak pernah menyendiri lagi. Mulai mau bergaul dengan teman-temannya kembali.
Ya, semoga saja Rahma bisa melupakan semuanya itu, Teteh.”
Astri tak tahan untuk
merengkuh bahu adiknya, berbisik penuh dengan rasa sesal.
”Maafkan Teteh, ya,
Ros. Teteh nyaris saja mencelakai kalian.”
“Bukan salah Teteh, ya,
sudahlah. Kita lupakan semua kepahitan masa lalu.”
Harji muncul di teras
rumah, tepat saat mereka hendak menyetop taksi. Astri merasa ada hubungan
khusus antara Ros dengan lelaki yang masih lajang itu.
Ia membawa kendaraan
milik Abang, agaknya diminta bantuannya untuk menjemput mereka pulang.
“Tapi aku tidak akan
pulang ke rumahmu dulu, Nak,” kata Astri melalui ponsel.
“Ya, Mama, terserah
saja. Bagaimana enak dan baiknya menurut Mama. Pakailah mobil Abang, ya, selama
Mama butuhkan,” balas Abang terdengar tulus.
“Terima kasih, Nak….”
“Besok kami, Abang,
Siti, Butet dan Ihsan akan menyusul Mama.”
Semesta cinta terasa
bertebaran di mana-mana, tatkala Harji mulai melajukan kendaraan menuju luar
kota.
Beberapa saat kemudian
sampailah mereka di sebuah panti lansia di kawasan Cisarua. Ya, inilah rumah
lansia yang dibangun di atas tanah wakaf hibahan seorang pengusaha perempuan.
Dananya terhimpun dari para donatur, simpatisan serta klub pembaca Astri
Ayuningtias.
Astri memasuki ruangan
yang diperuntukkan bagi dirinya, bekerja, berkarya dan mengabdi dalam mengisi
sisa-sisa hayatnya.
Ros menguakkan tirai jendela
dan menjelaskan samar-samar kepada kakaknya, bahwa sebentar lagi akan datang
rombongan lansia.
“Baiklah, akhirnya kita punya tempat tinggal
sendiri, Teteh,” ujar Ros yang segera diiyakan oleh kakaknya.
“Menurutmu, apa
anak-anak masih akan memaksaku kembali ke rumah mereka?”
“Tidak,” sahut Ros
terdengar yakin. “Abang dan Butet tidak akan memaksakan kehendak mereka lagi.
Anak-anak yang baik akan selalu mendukung pilihan ibu mereka.”
Ya, selamanya mereka
akan menjadi benteng pertahanannya, sandaran dirinya di kala dalam
ketakberdayaan. Lantas, mengapa dirinya masih meragukan hal itu? Astri
menggeleng dan tersenyum sendiri.
“Mengapa senyum-senyum,
Teteh?” usik Ros.
“Hmm, ya! Sepertinya aku
telah bermimpi yang aneh-aneh saja, Ros.”
“Tidak mengapa, kita selalu
butuh mimpi. Begitu selalu kata Teteh, waktu kita kecil dulu dan hidup dalam
serba kekurangan.”
Ya, benar sekali. Mimpi
dan angan itu akan senantiasa dibutuhkan, berapapun usia kita, gumamnya
membatin.
Ia merasa telah melawan
kezaliman itu, meskipun hanya di dalam angan, di dalam mimpi dan ketaksadarannya.
Astri berdiri dan
tercenung-cenung di balik tirai jendela ruang kerjanya, dipandangi Rahma,
adiknya dan ibu mereka. Demikian beberapa saat berlangsung, hingga terdengar
suara kendaraan memasuki pekarangan.
“Nah, itu mereka sudah
datang, Teteh!”
“Oma-oma, selamat datang!”
seru Rahma dan adiknya, berlarian menyambut rombongan lansia.
“Terima kasih, ya
Allah. Di sinilah hamba-Mu kini berada, dan inilah rumah cinta kita, saudari-saudariku
sesama lansia,” lirih Astri sesayup angin di rembang petang yang sejuk itu. (Citayam,
Desember 2012)
Selesai
Posting Komentar