Dari jembatan Causeway Bay
Siang yang terik itu di Kota Wisata,
tiba-tiba diingatkan kembali oleh sahabat yang baik, Mahfudin-Luxima, demikian
aku biasa menyebutnya, perihal janjiku membuatkan prolog untuk kumpulan
inspirasi bertema guru. Astaghfirullahal adzim, seruku membatin, mengapa sampai
lalai dan nyaris terlupakan, ya?
Tidak etis juga kalau harus ada
pembenaran, disebabkan super sibuk wara-wiri
menyebar virus menulis, meneror para penulis pemula hingga keliling Timur
Tengah, baru kembali dari Mesir dan Qatar. Tidak layak juga kalau sekadar
pembenaran bahwa bulan-bulan terakhir disibukkan oleh urusan rumah sakit,
komplikasi dengan segala jadwal terapinya yang membuat tubuh ringkihku malah
semakin rusuh.
Jadi, baiklah begini, Saudara!
Jujur
saja waktu kecil cita-citaku utama adalah ingin menjadi seorang prajurit
perempuan yang berjuluk Kowad. Hanya mimpi dan ditertawakan seluruh dunia,
mengingat kondisi kesehatanku. Ketika tiba pada tes kesehatan, diketahuilah
takaran darahku alias HB hanya 5,1 % gram.
Alih-alih
menjadi prajurit perempuan pada tahun yang sama, era 75-an, aku malah terkapar
di ruangan isolasi. Bahkan sempat 21 hari mengalami kondisi yang disebut mati
suri atau in-coma, bahasa medisnya.
“Kalau
begitu, Teteh jadi guru saja, ya,” ujar ayahku, seorang prajurit, tetapi
berhati Ajengan, terdengar serius di kupingku. Saat itu aku baru menyabet Juara
Umum pelajar SMPN 28 Filial dengan nilai rata-rata 9.
“Guru,
ya, Pak, sekolahnya di mana?” tanyaku dengan harapan bisa kembali ke dunia pendidikan,
menjadi pelajar dan bukan sekadar Camat, Calon Mayat, sebagaimana prognosa
dokter ketika itu.
“Sekolah
Pendidikan Guru yang bagus di Jakarta lokasinya di Setiabudi. Apa Teteh berani
pulang-pergi dari Utan Kayu ke Setiabudi?” kata ayahku seraya menatapku tajam.
Aku tidak keliru, ada seleret gamang di mata elangnya itu.
Apalagi
jika kuperhatikan reaksi ibuku yang terkesan nyaris tidak setuju dengan gagasan
ayah kami. Hanya karena pembawaannya yang lebih banyak memendam pemikiran
daripada diumbar, ibuku tidak berkomentar apapun. Diam-diam ada kegamangan pula
di lubuk hatiku, bahkan sampai resmi menjadi pelajar SPGN I Setiabudi.
“Mengapa
matamu kuning dan wajahmu selalu pucat?” tanya Bu Meinar, guru musik kami pada
satu kesempatan di ruang kesenian.
Aku
tidak mengenalnya saat itu, karena kami belum memiliki kotak ajaib bernama
televisi. Padahal, sosok ini setiap hari selalu muncul di layar TVRI,
mengiringi paduan suara dan penyanyi remaja dengan piano besarnya.
“Ya,
tidak tahulah, Bu,” elakku berusaha menyembunyikan penyakit kelainan darah
bawaan, thallasemia.
“Iya,
kamu memang pucat. Apa kamu punya penyakit kuning?” cecar rekan guru lainnya,
seketika ikut mengerumuniku.
“Tidak,
ah, aku sehat-sehat saja,” sanggahku mulai merasa tak nyaman. Bagaimana tidak, lah wong diperlakuan demikian bukan
secara pribadi, melainkan di hadapan teman sekelas
“Dia
sakit, kurasa, coba diperiksa dokter Prie,” entah siapa yang punya ide
menyebalkan ini.
Saat
itu juga aku digiring ke ruang kesehatan, tempat seorang dokter secara rutin
jaga untuk para siswa calon guru. Sekolah yang sangat keren memang, berbagai
fasilitas tersedia di sini. Pendidikan calon guru yang sangat banyak
peminatnya, sehingga siapapun seolah rela melakukan apa saja agar bisa diterima
di sekolah ini.
Sementara dengan berbekal nilai NEM tertinggi aku tidak
diharuskan melalui tes lagi, sebagaimana teman-temanku lainnya.
“Waduh,
tes darah lagi, gila!” gumamku membatin, begitu diminta dokter agar mengulurkan
tangan untuk diambil darah.
“Untuk
apa diambil darah segala?” protesku.
“Demi
kebaikanmu, Nak,” pinta dokter tanpa bisa terbantahkan siapapun.
Bisa
ditebak, ya, Saudara. Hasilnya, HB-ku tinggal, 4,1!
Tentu
saja, disebabkan kelelahan dalam dua pekan itu harus melewati masa-masa orientasi,
plonco. Aktivitas yang hanya mengandalkan fisik semata, sama sekali tak ada
unsur nilai ilmiahnya. Jelas saja untuk kondisi pasien abadi seperti diriku,
ya, ke laut!
Mereka
masih membiarkanku mengikuti pelajaran selama beberapa pekan. Barangkali karena
memandang profesi ayahku. Maklum, zaman itu militer sangat ditakuti. Apalagi
kedudukan ayahku ketika itu sebagai ajudan Panglima. Wooow, siapa berani?
Tuhan
ternyata menghendaki lain untuk lakon hidupku. Hanya dua bulan aku mampu
melakoni masa pendidikan di sekolah keren itu. Satu hari, ketika upacara Senin
pagi, tiba-tiba mataku berkunang-kunang, dan aku semaput!
Urusannya
menjadi heboh, diantarkan langsung ke RSPAD, diharuskan ditransfusi untuk ke sekian
kalinya. Maka, buyarlah cita-citaku sebagai seorang guru. Nyaris Madesu alias
masa depan suram, aku sempat mengalami stress dan depresi berat.
Bayangkan
saja, sejak itu aku menjadi pasien rawat inap selama berbulan-bulan. Kurasa
mereka, para dokter itu, diam-diam menjadikanku sebagai kelinci percobaan.
Ketika itu belum ada sebuah Yayasan yang menangani para penderita thallasemia.
Semuanya masihlah serba coba-coba, pengobatannya pun baru dikira-kira.
Ketika
bapak memutuskan memindahkan keluarganya ke Cimahi, pengobatan terus
berlangsung. Secara berkala aku tetap mengkonsumsi darah orang, istilah
adik-adikku; ngedrakula, karena aku perempuan
jadi ngedrakuli.
Dari
kebiasaan yang berujung kecanduan membaca, timbul hasrat untuk menulis. Aku
mulai mengawali menulis di ranjang rumah sakit tentara di Cimahi, RS. Dustira.
Seiring waktu di balik keterbatasan, Allah Swt menganugerahiku talenta, menulis
dan kebebalan untuk bertahan.
Cita-citaku
untuk menjadi guru ternyata secara tidak sadar terwujud jua, yakni melalui
tulisan-tulisan, kuselipkan beragam opini, pemikiran, edukasi. Aku bisa menggurui
diriku sendiri, orang-orang di sekitarku, masyarakat luas, melalui karya yang
diterbitkan berupa novel, cerpen, skenario, reportase, artikel dlsbnya.
Pendidikan
formalku hanya sampai kelas dua SMA, jadi sama sekali tak pernah memiliki
selembar ijazah tingkat SLTA. Acapkali jika kebetulan diundang oleh
kampus-kampus ternama, baik di dalam maupun di luar negeri, disandingkan dengan
para ilmuwan bergelar panjang; Profesor, DR. Hj, Fulan bin Fulan.
Hmm, ngomong-ngomong, itu Hj. mengapa
harus disandingkan dengan segala macam gelar akademik, ya Jeng?
Nah,
biasanya untuk mencegah tidak adanya dusta di antara kita, ops! Aku akan bilang
begini:”Saudara-saudara yang saya hormati, jujur saja ijazah SMA pun saya tidak
punya, loh. Jadi, jika tidak berkenan silakan Anda keluar dari ruangan ini.
Namun, jika masih berkenan berbagi ilmu dengan saya, silakan bergabung.”
Hmm,
gelar akademik itu, ya, sungguh selalu menggiurkan hatiku. Berbagai upaya
pernah kulakukan demi bisa kembali ke lingkungan dunia pendidikan. Pernah coba
mendaftar sebagai peserta SMA Terbuka. Sedang enak-enaknya dan semangat penuh
mendadak ambruk. Panggilan takdir; ngedrakuli,
Brow!
Kalau
sekarang sudah serba canggih penatalaksanaan pasien kelainan darah bawaan
begini. Zaman aku remaja untuk ditransfusi membutuhkan waktu minimal pun
seminggu diopname. Alamak, lama-lama ya bosan juga itu para guru.
Bukan
di-DO sebenarnya, melainkan dikeluarkan secara diam-diam oleh ibuku dengan
alasan:”Kasihan, ah, Teteh jadi sering pingsan di sekolah. Kecapean.”
Berdamai
dengan takdir, demikian akhirnya yang kulakukan. Aku terus menulis, menulis dan
menulis nyaris tanpa henti. Menyebarkan virus menulis keliling Tanah Air, mulai
dari kampung Cikumpa, Cibubur hingga Aceh dan Papua.
Dilanjutkan ke mancanegara
mulai dari Negeri Jiran yang sering sweeping
asykarnya dan menanyaiku dengan tampang menakutkan:”Pendatang haram tak?”
Hingga
menjelajah Singapura, Hong Kong, Macau, Shenzhen, Guangzhou, Mesir, Qatar,
Dubai dan Saudi Arabia. Semua berkat buku, sebagian dinyatakan laris-manis,
sebagian lagi diakui inspiratif, edukatif.
Alhamdulillah,
akhirnya cita-citaku mewujud jua. Guru, ya, seniman pun boleh dibilang seorang
guru, setidaknya untuk dirinya, lingkungannya dan zamannya.
Terima
kasih kepada Ibu Zaidar, guru bahasa Indonesia di SMPN 28 Filial Utan Kayu. Dialah
yang pertama kali membuka mata batinku.”Menjadi pengarang pun bisa menafakahi
dirimu. Jadilah pengarang hebat, jangan setengah-setengah,” ujarnya
terngiang-ngiang hingga malam ini, saat kuakhiri tulisan ini sebagai kenangan
nan indah.
Salam
Kreatif
Pipiet
Senja
Posting Komentar