Bandara Thoyuan, Taipei Internasional
Taipei, 28 Maret 2014
Setelah
lima jam perjalanan dengan pesawat Garuda ditambah empat jam diantar putriku Butet
dari Cibubur ke Bandara Cengkareng, akhirnya tibalah kami di Negeri Formosa.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam waktu Taiwan.
Sastri
Bakry yang duduk di bangku depanku sudah bangkit lebih dahulu, kulihat dengan
lincah tangannya menarik tasku dari kabin.
“Wah,
terima kasih, Uni,” kataku sangat bersyukur. Kaki-kakiku terasa kaku dan
tanganku kebas kedinginan.
Jangankan
untuk menarik tas dari tempat yang sulit kujangkau karena tubuhkiu pendek. Untuk
bergeser dari kursi dekat jendela ke lorong itu saja lumayan kesulitan. Jadi,
tak habis pikir dan sangat kagum kepada Sastri Bakry, sastrawati Sumbar yang
Irjensus Kemendagri ini. Tiap hari terbang terus ke pelosok negeri untuk
memeriksa keuangan para petinggi NKRI.
Sungguh, kekuatan seorang perempuan
Minang yang patut diacungi jempol, Saudara!
Bagiku
ini adalah kunjungan kedua kalinya ke negeri di mana novel-novel karyaku telah
kutambatkan di hati para BMI, Buruh Migran Indonesia. Kami punya grup Whats-App
yang bisa setiap saat kuintip, berbincang akrab, senda-gurau. Kadang sangat
serius mereka mengungkapkan berbagai kesulitan; baik saat menulis maupun dalam
memenuhi tugas mereka sebagai pekerja informal.
Berdiskusi,
berdebat panjang lebar saling sahut-menyahut tentang kepenulisan. Hingga
tiba-tiba ada satu orang melemparkan kasus temannya yang sedang kaburan, karena
dianiaya majikan. Lantas hebohlah saling menanggapi, intinya berniat ikut
mencarikan solusi.
Grup
yang sangat unik yang takkan kutemukan di mana pun, pikirku. Setiap kali melongok;
ada saja bahan diskusi yang membuat semua anggota bangkit dari tidur leyeh-leyehnya,
lantas tergerak untuk ikut menyatakan pendapat atau sekadar komentar iseng.
Seperti
sudah menjadi satu keluarga besar laiknya, hingga masing-masing mendapat
julukan atau panggilan tersendiri seperti; Bu Te untuk Kuan Ami, Ketua FLp
Taiwan, Bude Ndut untuk Radytha, Ombot untuk duo botak, Ryan Ferdian Darsudi
dan Justto Lasso. Padahal gak botak-botak amat tuh duo bocah, serius.
Belakangan
Ryan pundung alias menarik diri dari grup, entah apa alasannya, belum lapor
kepada Manini, ini panggilan kesayangan mereka untukku.
“Sejak
sekarang kami pantau Manini, ya,” kata Kuan Ami via WA, itulah pesan terakhir
yang kuterima sebelum kumatikan ponsel di atas pesawat. Menurutnya, ada dua
mahasiswi dari FORMMIT yang akan menjemput kami di Bandara Taipei, Thoyuan.
“Teteh,”
cetus Sastri Bakry tiba-tiba, bikin jantungku seketika terkesiap. “Seperti yang
Teteh bilang; ngapain bawa duit? Jadi aku gak bawa duit loh, Teteh,” sambung Sastri
Bakry setiba kami di areal Bandara Thoyuan yang terasa sepi, lengang.
Sungguh
jauh berbeda dengan suasana Bandara Cengkareng, selalu hiruk-pikuk dengan kuli
serta para penumpangnya yang tidak peduli budaya antri.
Sosok
tinggi ramping dan sintal itu berdiri sejenak di depan konter Money Changer,
matanya menyapu daftar kurs asing.”Kan kita bawa buku, semoga saja laku buku
kita, ya Teteh. Kalau dibawa balik lagi, waduuuh, cape deh.”
Aku
mengangguk dan sama berpengharapan. Jadi membayangkan 200 eksplar buku yang
kami bawa pada kunjungan pertama, 2013, laris bak kacang goreng. Saat itu aku
memboyong dua petinggi RRI, Dewan Pengawas dan DirKeuangan serta kru Bilik
Sastra VOI RRI, Siaran Luar Negeri. Kami meluncurkan buku antologi cerpen karya
peserta dan pemenang program Bilik Sastra yang aku asuh.
“Kita
dijemputnya sama siapa nih, Teteh?” tanya Sastri, kami sudah berada di
Imigrasi, antri tertib dengan orang yang tidak seberapa banyak itu.
“Anak-anak
FORMMIT Forum Mahasiswa Muslim Taiwan, Uni. Semoga saja mereka bisa mengenali
kita,” sahutku santai saja, menyilakannya lebih dahulu berhadapan dengan
petugas Imigrasi Taiwan.
“Nah
loh! Teteh belum pernah ketemu mereka?” Sastri tampak agak terkejut,
terheran-heran.
“Jangankan
ketemu, lah wong kenal saja belum. Hihi.”
Jika
seorang Sastri Bakry sebagai petinggi diundang ke suatu negara, niscaya ada
rombongan panitia khusus, sesuai protokoler. Sedangkan setiap kali Sastri ikut
bersamaku, takkan pernah ada yang namanya protokoler dan panitia khusus.
Sastri
pernah kuajak blusukan di Hong Kong dan Macau, syukurlah tampaknya baik-baik
dan bahagia saja. Meskipun kami tinggal di ruang sempit, bahkan di shelter
penampungan BMI bermasalah.
Sastri
Bakry ikut berkontribusi besar membersamai kami dalam menyebar Virus Menulis di
kalangan BMI/TKI. Kebersamaan kami di Negeri Beton itu melahirkan dua buku,
satu karyaku satu lagi karya BMI Hong Kong; Kepada
YTH Presiden RI, Surat Berdarah Untuk Presiden, Penerbit Zikrul Hakim, 2012.
Dalam
tempo tak kurang dari 10 menit kami berdua sudah beres urusan Imigrasi. Tak ada
yang menanyakan; “Mau apa ke Taiwan, berapa lama dan tinggal di mana?” Apalagi
diminta memperlihatkan Dollar di dompet kami, sebagaimana sering terjadi di
Imigrasi Hong Kong yang urusannya paciweuh
pisan alias njelimet.
“Bagusnya
kinerja mereka, ya Teteh,” komentar Sastri saat kami sudah selesai pula urusan
bagasi. Tak ada rebutan troli dengan kuli segala, seperti yang sering kualami
di Bandara Cengkareng.
Mejeng dululah, Sodara, dibelain nyaris jatuh hihi
Sebentar lag dia terpeleset nih, eeh!
“Iya,
malah ribetan waktu bikin Visa di Teto Jakarta,” gumamku.”Waktu diharuskan
memperlihatkan rekening terakhir minimal 30 juta, Fanny kebingungan. Kalau
Teteh waktu itu kebetulan masih ada hasil jual tanah punya Haekal. Kuprint dulu
sebelum ditransfer ke rekeningnya.”
“Akhirnya
bagaimana tuh Fanny?” Sastri Bakry penasaran.
“Kata
Fanny diakalin, rekening lama yang tanggalnya tidak jelas itulah yang
diprintkan.”
Kami
dorong troli keluar pintu kedatangan dengan langkah percaya diri bahwa ada yang
menjemput. Mata kami mendadak jelalatan, merayapi wajah-wajah asing para
penjemput.
“Waduh,
bagaimana kalau mereka gak mengenali kita, ya?” gumamku mulai bimbang. Tak
kulihat tampang Indonesia di antara mata-mata sipit dan kulit kuning langsat itu.
“Mana
kita gak punya duit Dollar atau NT pula, ya?” komentar Sastri menambah kadar
bimbangku meningkat.
“Sudah
dicoba WI-FI gak aktif nih. Simcard Indosat gak laku di sini.” Pikiranku melayang pula ke Fanny yang naik pesawat Air Asia, transit dua jam di Kuala Lumpur. Aduh, bagaimana keadaannya di sana? Kelaparankah dia, sama pula DM, bahkan sudah menahun lama dan kadar gulanya sering 300-an.
Beberapa
jenak berdua celingukan di pintu kedatangan yang ditulis dengan huruf dan
bahasa Mandarin itu. Tiba-tiba sekilas ada dua jilbaber menyelip di antara para
penjemput.
Aku
yakin, pasti mereka! (Thoyuan-Taipei, 28 Maret 2015)
Bersambung
Posting Komentar