Trio Nenek Meneror BMI Taiwan
Taipei, 28 Maret 2014
Setelah
celingukan dengan perasaan bimbang
dan cemas telantar di negeri orang, akhirnya kami menemukan penjemput yang
dimaksud Kuan Ami. Dua sosok berjilbab itu menyembul di antara kerumunan penjemput,
sungguh tampak manis dan terutama melegakan hati kami.
“Mejeng
dulu, ayo, jepreeet!” pintaku sebelum lupa.
“Jangan
sampai kepeleset seperti tadilah, Teteh,” kata Sastri Bakry, nyengir. Ketika di
eskalator dari pesawat menuju Imigrasi, saking kebelet narcisan, nyaris saja
beliau terpeleset. Hihi.
Ini masih belum lengkap dengan Fanny Poyk
Sastri
Bakry, single parent setiap kali
diambil fotonya senantiasa penuh gaya. Tangan diangkat, kaki ditarik bak
seorang penari, alamaaak, pokoknya bergayalah. Maklum, ketika muda Sastri Bakry
adalah penari, penyanyi, seniman multitalenta.
“Teteh,
matanya jangan merem melulu,” pintanya mengingatkanku.
Aku
hanya terkekeh geli.”Memang sudah mengantuklah ini, Uni sayang,” sahutku.
Fairus
dan Kiswah bergantian mengambil foto kami. Puas jeprat-jepret, aku memberi tahu
mereka bahwa satu lagi pembicaranya yang harus dijemput.
“Mengapa
bisa beda pesawat, Bun?” tanya Kiswah.
“Kami
berdua dapat tiket Garuda dengan harga masih terjangkau karena jauh hari
belinya. Sedangkan Fanny baru belakangan menyatakan ingin bergabung. Harganya
sudah melambung. Jadi, ya, semampunya, dapat tiket Air Asia dan baliknya Tiger
Air,” jelasku jadi panjang kali lebar.
Sebenarnya
perutku mulai menagih isi, tapi kami sama tidak tahu tempat makanan halal di
areal Thoyuan. Setelah bolak-balik mencari resto, akhirnya kami memutuskan
menuju Terminal 2, tempat kedatangan Fanny.
“Fheeewww!”
Terasa jantungku senut-senut. “Ternyata
jauh juga, ya, pake kereta segala,” gumamku sambil mengatur napas.
Samar-samar
kudengar Sastri Bakry menjelaskan tentang kondisi kesehatanku kepada dua
mahasiswi University National of Technolog and Sains Taiwan.
“Tahu
gak kalian, adik-adik. Teteh Pipiet Senja ini luar biasa loh tangguhnya.
Kemarin malam dia masih ditransfusi di RSCM. Mendengarnya pun aku selalu merasa
cemas sekali. Eh, lihatlah, sekarang sudah keluyuran di Taipei. Jalannya lebih
cepat dari kita pula.”
“Weeei,
Uni, kalau ngomongin jangan di depan hidung orangnya,” gerutuku berlagak kesal
malah membuat mereka tertawa geli. Pasti gayaku mirip turunan Sule.
Sambil
berbincang dan senda gurau diseling narcisan, tibalah kami di Terminal 2.
Pesawat yang ditumpangi Fanny Jonathans Poyk belum mendarat. Kami menunggu
dengan tertib di areal yang disediakan khusus penjemput. Ada beberapa layar LCD
ukuran raksasa, sehingga kami bisa melihat mereka yang sedang berjalan kea rah
pintu kedatangan.
Aku
membuka Tab dan mencoba koneksi dengan Wifi, berulang kali dicoba, minta
password terus. Bosan dan capek sendiri, akhirnya kupakai jeprat-jepret sajalah itu Tab pemberian Butet.
Kutengok
ke arah bangku Sastri Bakry, masya Allah, beliau tidur dengan lelapnya,
Saudara. Bisa kubayangkan bagaimana lelahnya dia, sehari sebelum pergi dia baru
keliling dari Aceh dan Malaysia. Sempat terbersit untuk mengambil pose tidur
yang bukan di ruang sidang itu, ah, mana tega!
“Mana,
ya, Bun? Eh, seperti apa Bunda Fanny itu?” tanya Kiswah untuk ke sekian
kalianya mencermati orang yang baru keluar di pintu kedatangan.
“Orangnya
cantik asli perempuan NTT,” sahutku sambil serius memelototi layar LCD tepat di
depan mata.
“Apa
ada masalah di Imigrasi, ya Bun?” entah kata siapa, kurang jelas.
“Jangan
kuatirlah, Fanny ini jurnalis senior sudah keliling Amerika, pintar bahasa
Inggris,” bantahku menenangkan diriku sendiri.
Hingga
orang terakhir penumpang Air Asia alias kru pesawat; pilot berikut pramugara
dan pramugarinya. Belum juga kunampak sosok yan kami cari.
“Sudah
habis sepertinya penumpang Air Asia….”
“Iya,
apa dia langsung ke arah kiri sana?”
“Itu
dia, heeei, Fanny!” seruku melambai-lambai girang, sudah seperti bocah yang
baru menemukan mainan barunya saja. Hihi.
Fanny
tertawa melihatku, gegas mempercepat langkahnya. Begitu sudah dekat kurangkul
dia, memeluknya erat-erat.”Aduhai, apa yang terjadi di dalam sana, Fanny?”
tanyaku penasaran.
”Tadi
sempat ditahan di Imigrasi. Gara-gara aku tidak bisa jawab alamat selama di
Taiwan. Petugasnya minta aku menghubungi temanku di sini. Lah, ini hapeku mati.
Ada setengah jam kali hebohan ngotot sama petugas,” lapor Fanny tak kalah
hebohnya.
Bersambung
Posting Komentar