Bersama Nyai Lirboyo dan tiga putrinya
Pontren
Putri Lirboyo, Kediri, 2 Juli 2014
Dari
Bondowoso kami kembali ke Surabaya, menginap lagi di kantor Zikrul Hakim di
Palm Spring Regency. Bukanya di Mall dengan menu serba mie yang gurih dan
pedas. Usai makan sahut kami jalan lagi, kali ini menuju pondok pesantren putri
Lirboyo, Kediri.
Tiba
di Lirboyo, kami disambut Neng Najwa, putrinya Kyai, dua adik perempuan dan
uminya yang cantik. Di rumah singgah untuk para ustadah, kami ngobrol sejenak,
merunut silsilah, dalam bahasa Sunda pancakaki.
Sang ibu ternyata keturunan Pakistan yang menikah dengan menak alias bangsawan
Kasepuhan, Cirebon.
“Sama
atuh, ya, kita keturunan Kasepuhan,” kataku tertawa, mengenang nenek dari pihak
ibuku yang berasal dari Kasepuhan Cirebon.
“Iya,
ya, jangan-jangan kita masih bersaudara,” sambut Nyai juga tertawa riang.
Kemudian
kami, saya dan Evi dibawa ke lantai atas, para santriwati sudah siap menerima
guyuran teror virus menulis. Meskipun tanpa LCD, infocus dan pengeras suara
yang kadang putus nyambung, mereka antusias sekali menyimak.
Tiba
saatnya diberi tugas menulis, semangat para santriwati yang masih imut-imut dan
unyu-unyu (istilah gaul) itupun semakin jelas. Terbukti dari puluhan tulisan
yang terkumpul dalam tempo hitungan menit.
Santri putri yang cantik dan solehah; Hafidzoh!
Pondok
pesantren Lirboyo, suasananya pagi dan siang itu sungguh heboh dengan celotehan
seputar dunia literasi. Para santri semaiin semangat bertanya, kadang diseling
tawa riang.
Tanpa
terasa sama sekali, tiada gap antara Neng Najwa dengan para santriwati,
meskipun ini pesantren salafiyah; mengkaji kitab-kitab kuning dan hadis. Kyai
memperkenankan santrinya untuk terbuka, menyerap ilmu selain ilmu keislaman.
Alhamdulillah, semoga segera berlahiran para sastrawari mumpuni dari Lirboyo.
Usai
acara share kepenulisan, kami diantar
menuju kediaman keluarga Kyai di bagian belakang pesantren. Melintasi
pondok-pondok para santri putrid, mereka sedang sibuk macam-macam kegiatan;
mencuci, memasak, belajar dan mengkaji kitab.
Sebuah
gedung megah di kaki sebuah gunung (kalau tak salah) namanya gunung Banyak.
Pesawahan membentang luas sekali, ada peternakan sapi sekaligus tempat memerah
susu.
Selain
dikonsumsi penghuni pondok juga diproduksi keluar,” jelas seorang santri yang
begitu santun, ramah mengantar kami ke kediaman Kyai.
Saya
banyak terdiam, termenung lama, dari balkon kamar tempat kami rehat, rasa
takjub dan bangga, entah mengapa deras ikut membalun hati ini.
Kalau
dilukiskan perasaan saya mungkin sbb; selama ada basis-basis Islam, para santri
dan Kyai mumpuni seperti ini, maka tidak perlu gentar menghadapi ancaman
komunis atau liberal dan agitasi asing sekalipun.
Lihatlah, mereka para kader Islam itu akan
menjadi garda terdepan, kekuatan maha dahsyat untuk melawan mereka yang hendak
menghancurkan agamanya. Allahu Akbar!
Santri putri membacakan karyanya
Menikmati
keberhasilan sebuah pondok pesantren besar seperti Lirboyo ini, sungguh rasa
syukur pun tiada henti terucap selain gumam takjub dan bangga saya sebagai
seorang seniman Muslim.
Sampai
jumpa, anak-anak solehah, telah kudengar sejak lama kebesaran nama pondok
kalian. Baru sekarang Allah Swt menuntun kaki-kaki ini menjejak di kawasan
Lirboyo yang tekenal itu. (Lirboyo, Kediri, 2 Juli 2014)
@@@
Dulu saya pernah mengaji di sini, sekarang saya belajar teknologi dan agama di Pondok pesantren Fatihul Ulum
BalasHapuspondok pesantrennya bagus ya,pasti bangga jadi santri di lirboyo kediri ini
BalasHapusPosting Komentar