Ilustrasi Serial Balita Muslim
Rumah singgah Karisma dua hari
kemudian.
Suasananya sangat hening. Di beranda
anak-anak berkumpul. Tampak juga Bang Mian dan Kong Timang.
Begitu Raja datang bareng Mino, Rido
dan Doan, mereka menyeruak memberi jalan.
Di atas dipan kayu itu tampaklah
Tuginah terbujur tak berdaya. Tiga, empat, entah berapa pastinya, mereka telah
‘memakan’ gadis itu habis-habisan!
Raja dan Mino menemukannya di tepi
pantai Anyer, setelah 24 jam mencarinya ke mana-mana.
Lubenah mendongak, matanya bersirobok
dengan mata Raja. Sarat duka dan keprihatinan yang mendalam.
“Tega sekali mereka melakukannya,”
bisik gadis itu menggeletar.
Raja mengangguk penuh penyesalan.
Mereka baru kembali dari Polres, mencari tahu perkembangan penyelidikan kasus
Tuginah.
“Maafkan aku, ini semua gara-garaku,
Mbak…”
Lubenah menggeleng tak setuju.
“Bukan, ini bukan salahmu. Nasibnya
saja yang memang kurang beruntung. Bagaimana, sudah ada kabar baru?”
“Masih seperti kemarin. Mereka lagi
berusaha keras menyelidiki.” Mino mendengus jengkel.
“Kenapa? Kita kan sudah tahu
pelakunya?” Lubenah membelalak, kecewa.
“Hanya karena ada SMS. Mereka bilang
itu bisa saja direkayasa kita,” jelas Doan.
“Aku tak tahan lagi! Biar akan kuseret
si Laloan ke sini!” Raja seketika menggeram.
Namun, sebelum ia bergerak, sekonyong-konyong
ada yang berteriak-teriak dari luar. Suara ketakutan anak-anak, berbaur dengan
jerit tangis, sumpah-serapah.
Heboh dan rusuh!
“Ada berandalan yang mau menyerbu ke
sini!”
“Siapa?”
“Tak tahu! Katanya mau cari anak yang
namanya Raja Siregar!”
“Teman Mbak Luluk tuh, gawaat! Mana
Bang Mian?”
“Sudah pergi dari tadi sama Kong
Timang!”
“Tenang, Mbak, biar kami hadapi
bersama,” Mino berusaha menenangkan Lubenah.
“Iya, Mbak, tenang saja. Bawa masuk
anak-anak!” Raja menyeruak keluar, mengatur anak-anak yang panik agar masuk
dengan tertib.
Sementara dari kejauhan,
teriakan-teriakan yang bernuansa perang semakin dekat. Lemparan batu pun mulai
beterbangan.
Aneh, Raja tak melihat warga Gang
Molek yang dikenalnya. Orang-orang yang menyerbu dari mulut gang itu, semuanya
wajah asing.
Beberapa saat, Raja, Mino, Doan dan
Rido berpandangan. Wajah mereka tegang, tapi sama berusaha menyembunyikan rasa
takut dan panik.
Tiba-tiba Raja menyodorkan kedua
tangannya. Mino, Rido dan Doan pun paham. Mereka mengikuti jejaknya, saling
menggenggam, menutup mata dan berdoa khusuk di dalam hati.
“Ya Rabb Yang Maha Menggenggam, kami tak ingin mencari
masalah, tak ingin mencari keributan. Namun, kami tak ingin membiarkan
kezaliman ini terjadi. Ya Rabb, tolong, limpahilah kami dengan kekuatan-Mu.”
Raja membuka matanya. Dilihatnya sosok
yang tak asing lagi. Josef, diikuti oleh Kevin, Brian dan Roni.
Di belakang mereka ada serombongan
anak muda berpenampilan kriminal. Mengingatkan Raja kepada para preman di
terminal-terminal.
“Kita tak punya senjata,” bisik Mino.
“Mereka bawa macam-macam,” rutuk Doan.
“Salah seorang di antara kita harus
ada yang keluar dari tempat ini. Langsung lapor polisi, cari bantuan!” kata
Raja.
Seakan-akan sudah sepakat dari awal,
Mino, Rido dan Doan malah balik menatapnya.
“Kamu!” seru mereka, kompak sekali
menudingnya.
Raja merasakan dadanya berdesir
kencang.
Sikap setia kawan, bahkan tutur kata
mereka sungguh membuat hatinya bergetar.
Tak sempat didebat lagi. Sebab
orang-orang itu, dikomandoi teriakan Kevin, dalam sekejap telah menyerbu.
Memukul, menendang, menghantam. Memporak-porandakan pertahanan yang tak
seberapa.
“Lari Raja, lari! Cari bantuan!”
teriak Mino histeris sambil menghadang Kevin yang hendak mengejar Raja dengan
rantai besinya.
Raja melihat semuanya memang sudah tak
terkendali lagi. Anak-anak, Lubenah dan Tuginah di dalam rumah itu sangat butuh
bantuan.
Ya, dia harus lari, lari!
Polisi, aduh, di mana mereka pada
saat-saat dibutuhkan begini?
Tuhan, tolong beri aku kesempatan
untuk beramal, berbuat baik, menemukan bantuan bagi anak-anak itu, jeritnya
dalam hati.
“Tunggu! Woi, pengecut!”
Raja memandang dengan ekor matanya. Si
Josef berusaha meloloskan diri dari hiruk-pikuk, kemudian mengacung-acungkan
pedang panjang ke arahnya.
Hanya seorang, aku tak takut, geram
Raja.
“Ayo, sini! Sini!” balas Raja
berteriak, mengacungkan tinju ke arah anak itu.
Ia berlari, berlari terus di antara
orang-orang yang mulai berdatangan ke Gang Molek. Mungkin para tukang pukul
Mami merasa terganggu, berhak mengamankan wilayah kekuasaan mereka.
Sebisa mungkin Raja menghindari
orang-orang bertubuh tinggi kekar itu, menyelinap di antara gemerincing senjata
tajam dengan nafsu saling membunuh.
Tahu-tahu sosok itu, si Haleluyah,
sudah dekat dari jangkauannya.
Aku akan melawannya, kenapa tidak?
“Awas, tunggu, pengecut!” teriakan itu
lagi.
Raja sempat membalikkan tubuhnya, ingin
membalas tantangannya, tatkala dirinya sudah mencapai jalan raya.
Sedetik ia berhenti di trotoar, detik
berikutnya mulai melangkah ke jalan raya dan tampaklah; Jaguar Tante Maria!
Mobil itu tiba-tiba melesat dengan
kecepatan tinggi, menerjang ke arahnya. Raja masih sempat melihat sosok Laloan,
berkacamata riben duduk di belakang kemudi.
“Raja! Awas, pinggir!”
Suara Lubenah, mengapa ada di sini?
Bukankah dia bareng Tuginah dan
anak-anak?
Ekor mata Raja seperti melihat sosok
yang disayanginya melebihi terhadap kakak sendiri itu. Ia melambai-lambaikan
tangannya, memperingatkan.
“Ada apa sih, Mbak Luluk, eh, Mbak
Lubenah?”
Zhiiieeeng, bruaaak!
Sedetik Raja merasakan tubuhnya
seolah-olah terlempar tinggi sekali melewati truk, becak, gerobak bakso bahkan
sosok Lubenah.
Ada rasa nyeri yang menghajar telak
bagian kepalanya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, masih ingin mengharap
restu bunda tercinta, kakak dan adik tersayang, duhai!
Mama, ini anakmu memanggil, Ma!
Dimanakah sembilan ribu bintang yang
sering dikisahkan Mama waktu aku kecil dulu?
Betulkah bintang-bintang itu masih ada
selagi kita punya harapan, Mama?
Ah, mengapa Mama selalu bicara tentang
bintang, bintang dan bintang?
Mengapa harus sembilan ribu, tidak
selaksa, selangit sekalian?
Seribu tanya hanya terpendam di dada.
Sebab langit di sekitarnya mendadak gelap gulita. Bumi pun bagai terbelah,
kemudian serasa menyeret tubuhnya, jazadnya jauh ke dalam sana.
Posting Komentar